Jayapura, Jubi TV– Pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM terhadap proses persidangan di Pengadilan Negeri Kota Timika menemukan adanya perlakuan berbeda atau diskriminasi terhadap keluarga korban kasus mutilasi Mimika di sana. Hal itu dinyatakan Ketua Komnas HAM, Atnike di Jakarta, pada 31 Mei 2023.
Pengadilan Negeri (PN) Kota Timika tengah memeriksa perkara empat warga sipil yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan dan mutilasi itu. Mereka adalah Roy Marten Howay (berkas perkaranya terdaftar dengan nomor perkara 8/Pid.B/2023/PN Kota Timika), Andre Pudjianto Lee alis Jainal alias Jack, Dul Umam alias Ustad alias Umam, dan Rafles Lakasa alis Rafles (berkas perkara ketiganya terdaftar dengan nomor perkara 7/Pid.B/2023/PN Kota Timika).
Kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Saat mengumumkan hasil pemantauan Komnas HAM terhadap jalannya persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi itu di PN Kota Timika, Atnike menyatakan terdapat perlakuan berbeda atau diskriminasi terhadap keluarga korban yang mengikuti proses persidangan. Diantaranya, pemeriksaan barang bawaan secara ketat terhadap keluarga korban sebanyak dua kali, yaitu saat memasuki gedung PN Kota Timika dan saat masuk ke ruang sidang.
Pemeriksaan itu dilakukan oleh aparat keamanan di Timika, Ibu Kota Kabupaten Mimika. Komnas HAM juga menyatakan keluarga korban yang diizinkan mengikuti persidangan dibatasi maksimal 20 orang, padahal secara visual ruang persidangan masih cukup luas.
“Temuan lainnya adalah adanya pengamanan aparat keamanan dengan atribut lengkap dengan senjata laras panjang. Serta selama proses persidangan berjalan, pengamanan dilakukan oleh anggota Polres Mimika, Babinsa TNI, dan Brimob,” ujar Atnike.
Atnike menyatakan Komnas HAM meminta PN Timika membuat aturan yang jelas mengenai akses persidangan yang menjamin secara sah kesempatan yang sama bagi setiap orang, dan menjamin tidak adanya pembatasan terhadap keluarga korban untuk memasuki ruang persidangan.
Aturan itu perlu menjamin tidak adanya pembedaan perlakuan terkait pemeriksaan barang bawaan bagi keluarga korban maupun terhadap pengunjung sidang lainnya.
Komnas HAM juga meminta Kepala Kepolisian Resor Mimika melakukan pengamanan sidang secara proporsional agar tidak menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran bagi para pengunjung sidang. Polisi juga diminta memberikan kesempatan secara luas kepada keluarga korban untuk mengikuti proses persidangan perkara mutilasi Timika secara langsung dalam persidangan selanjutnya, dan menjamin tidak adanya pembedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap pengunjung sidang.
Komnas HAM juga meminta Kejaksaan Negeri Timika melakukan evaluasi secara menyeluruh mekanisme koordinasi dalam perkara pembunuhan dan mutilasi itu, lantaran proses persidangan ditunda beberapa kali akibat kelalaian JPU. Komnas HAM mencatat Majelis Hakim PN Kota Timika telah delapan kali menunda sidang perkara pembunuhan dan mutilasi itu.
Komnas HAM juga meminta keluarga korban menghormati seluruh proses hukum, dan mendukung kelancaran proses persidangan agar berjalan baik dan tertib, serta menghormati putusan hakim. Keluarga diimbau tidak melibatkan anak di bawah umur untuk menghadiri persidangan.
Secara terpisah, anggota Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum keluarga korban, Helmi SH menyatakan terkait pemeriksaan barang bawaan ataupun adanya penggeledahan yang dialami keluarga korban mutilasi seharusnya mengacu pada ketentuan dalam tata tertib persidangan di PN Kota Timika. Menurut Helmi, pemeriksaan barang bawaan ataupun penggeledahan hanya bisa dilakukan oleh petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya.
“Selain Petugas Keamanan Pengadilan, tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan barang bawaan pengunjung sidang,” kata Helmi kepada Jubi, pada Kamis (1/6/2023).
Tuntutan di PN Kota Timika
Proses persidangan perkara pembunuhan dan mutilasi di PN Kota Timika itu memasuki tahapan akhir. Pada 8 Mei 2023, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutannya, dan menyatakan Andre Pudjianto Lee, Dul Umam, dan Rafles Lakasa telah terbukti melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama. JPU menyatakan pembunuhan berencana yang dilakukan Andre Pudjianto Lee dan kawan-kawan mengganggu stabilitas dan keamanan Kota Timika.
JPU menyatakan pembunuhan yang disertai mutilasi itu dilatarbelakangi sentimen negatif dan perlakuan diskriminatif berdasarkan perbedaan identitas, kesukuan atau golongan tertentu.
Selain menuntut agar ketiga terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup, JPU juga meminta Majelis Hakim menghukum Andre Pudjianto Lee dan kawan-kawan tetap ditahan di dalam tahanan, dan dihukum membayar biaya perkara.
Pada 4 Mei 2023, JPU juga telah membacakan tuntutan terhadap Roy Marten Howay, terdakwa lain kasus pembunuhan dan mutilasi itu. Seperti Andre Pudjianto Lee dan kawan-kawan, Roy Marten Howay juga dinyatakan JPU terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama, dan dituntut pidana penjara seumur hidup.
Putusan pengadilan militer
Kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika itu menyedot perhatian publik, karena melibatkan enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo. Mereka telah selesai diadili secara terpisah di diadili Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura.
Salah satu dari keenam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo itu adalah Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi, yang perkaranya diperiksa oleh majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Dalam persidangan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura, pada 24 Januari 2023, majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan bersama Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin dan Kolonel Chk Prastiti Siswayani menyatakan Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana, serta menjatuhkan vonis penjara seumur hidup dan pemecatan dari TNI AD kepadanya.
Sejumlah lima prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo lain yang juga menjadi terdakwa kasus pembunuhan dan mutilasi itu adalah adalah Kapten Inf Dominggus Kainama (telah meninggal dunia pada 24 Desember 2022 karena penyakit jantung), Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktaf Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman, dan Praka Pargo Rumbouw.
Pada 16 Februari 2023, Majelis Hakim Pengadilan Militer III-19 Jayapura menyatakan keempat terdakwa juga terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana. Majelis Hakim Pengadilan Militer III-19 Jayapura yang diketuai Kolonel Chk Rudy Dwi Prakamto itu menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Pratu Rahmat Amin Sese dan Pratu Risky Oktav Mukiawan, dengan tambahan hukuman dipecat dari dinas TNI AD. Pratu Robertus Putra Clinsman dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan dipecat dari dinas TNI AD. Sementara Praka Pargo Rumbouw 15 tahun penjara dan dipecat dari dinas TNI AD.
Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi mengajukan banding atas putusan itu. Pada 12 April 2023, Majelis Hakim Banding Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya membatalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya pada 24 Januari 2023.
Majelis Hakim Banding itu menyatakan Helmanto hanya terbukti bersalah melakukan pembunuhan secara bersama-sama yang diikuti, disertai, atau didahului perbuatan pidana dengan maksud mempermudah penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum. Hukuman Helmanto pun dikurangi dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 15 tahun, dan dipecat dari dinas TNI AD. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id dengan judul: Komnas HAM temukan diskriminasi terhadap keluarga korban mutilasi di PN Kota Timika