Jayapura, Jubi TV– Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar, menyatakan penggunaan sistem noken yang dimasukan dalam politik praktis sudah tidak sesuai dengan nilai kearifan lokal yang ada di Tanah Papua. Sistem noken sebenarnya menunjukkan egaliter kalau prosesnya secara adat dan kebudayaan orang asli Papua.
Hal itu disampaikan Anum saat ditemui Jubi di kantor ALDP, Jalan Raya Sentani – Padang Bulan, Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Rabu (24/1/2024).
“Kita mau pilih si A. Si A itu begini, begini, dan begini. Si B begini, begini, dan begini. Oke, semuanya tahu track record A [dan] track record B, [dan] kalau begitu kita pilih [yang] mana? [Sesuai kesepakatan bersama] Oke, A kalau begitu kita pilih A, bungkus. Jadi, ada proses diskusi dulu. Proses untuk memverifikasi seseorang berdasarkan track record-nya. Dalam Honai itu kan semuanya harus bicara, habis itu baru ambil keputusan,” ujarnya.
Anum mengatakan dalam prakteknya hari ini secara politik modern, mekanisme itu ditinggalkan. Yang didekati langsung adalah seorang kepala suku. Jadi, mekanisme yang di dalam honai itu tidak dilakukan.
Selain itu, kata Anum, dalam penyelenggaraan pemilu menggunakan sistem noken, seharusnya setelah surat suara dimasukkan di dalam noken, proses penghitungan suara dan pencoblosan dilakukan secara terbuka, di tempat terbuka, dengan disaksikan semua orang.
“Oh, satu noken ini, nokennya A, dicoblos, [dengan perolehan suara sekian, dan seterusnya] [dengan perolehan suara sekian, dan seterusnya] itu.”
Namun proses yang sesuai pedoman KPU itu pun tidak dilakukan. Yang dilakukan adalah noken yang diisi surat suara dibawa masuk petugas, tanpa dihitung, dan dicoblos di tempat terbuka.
“Tapi kan yang terjadi tidak, tidak dicoblos to. Nanti kan dibawa masuk, baru dibarter [diperjualbelikan] lagi,” ujarnya.
Pemilu ’yang penting ‘aman’
Anum mengatakan penyelenggaraan pemilu di Tanah Papua selalu lebih mengedepankan pemilu ‘yang penting aman’ dibanding asas pemilu dan peraturan-peraturan penyelenggaraan pemilu lainnya. Menggunakan sistem noken pada sistem politik modern sebagai salah bentuk penyelenggaraan pemilu ‘yang penting aman’.
Lebih lanjut Anum mengatakan delapan kabupaten di Provinsi Papua Pegunungan dan Kabupaten Keerom di Provinsi Papua, akan menggunakan sistem noken dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Meskipun Kabupaten Yalimo dan Pegunungan Bintang di Provinsi Papua Pegunungan secara aturan tidak menggunakan sistem noken, namun dalam prakteknya akan menggunakan sistem noken.
“Pasti diakomodir [sebab] kalau tidak diakomodir [akan menimbulkan] konflik,” ujarnya.
“Makanya saya selalu bilang di Papua itu orang selalu diperhadapkan dengan mau penyelenggaraan pemilu yang jurdil [Jujur, Adil, Langsung, Umum, Bebas, Rahasia] atau aman. Mau ada kecurangan yang penting tidak ribut,” ujarnya.
Dalam pantauan ALDP, yang dalam dua pemilu terakhir menjadi pemantau pemilu independen, aparat keamanan maupun Bawaslu dinilai diam saat menyaksikan langsung proses penyelenggaraan sistem noken yang salah.
“Mau misalnya, yang pilih sepuluh orang tapi ada lima ratus surat suara, atau dua puluh orang [yang nantinya] satu [atau] dua orang pertama [masing-masing] satu-satu surat suara. Setelah itu ada yang pegang sepuluh [hingga] dua puluh [surat suara dan] selesai dengan secepatnya yang penting tidak rebut. Setelah itu bungkus [dan] bawa. Aparat keamanan nonton,” ujarnya.
Hal itu menyebabkan pelanggaran aturan pemilu yang akhirnya menjadi permasalahan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan berujung pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) hingga berujung pada penetapan bakal calon yang dianggap menang sesuai keputusan MK. Negara juga harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk menyelenggarakan PSU.
“Dari awal mula pemilihan [menggunakan sistem noken] itu sudah kacau. Jadi PSU tetap kacau. Mau berangkat dari kebenaran yang mana ini, karena prosesnya sudah salah memang, [dan] habis itu PSU lagi, tambah kacau lagi,” ujarnya.
Anum juga mengatakan permasalahan konflik antara pendukung para calon yang menang dan yang kalah sesuai putusan MK. ALDP juga menemukan adanya pembakaran rumah secara tiba-tiba hingga saling serang, bahkan perang antar pendukung, sehingga menurutnya perlu dilakukan rekonsiliasi.
“Ada tempat yang lakukan rekonsiliasi, tapi ada tempat yang tidak melakukan rekonsiliasi. Akhirnya konflik itu disimpan lagi untuk pemilu berikutnya. Kan itu yang terjadi,” ujarnya.
Pendidikan Politik
Anum mengatakan meskipun pemilu maupun pilkada menggunakan sistem noken telah menjadi polemik yang berkepanjangan di Tanah Papua, namun sayangnya belum pernah ada upaya-upaya secara jangka panjang untuk mengatasi polemik dalam sistem noken.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) seharusnya bekerja keras agar semua masyarakat di Tanah Papua memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Salah satu lasan yang sering digunakan untuk melakukan pemilihan dengan menggunakan sistem noken karena banyak warga masyarakat yang tidak memiliki KTP.
“Jadi Dukcapil harus kerja untuk e-KTP,” ujarnya.
Selain itu, Kesbangpol maupun partai politik harus bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik secara berkelanjutan. Lembaga-lembaga demokrasi dan LSM juga harus turut serta dalam memberikan pendidikan politik.
“Ini kan partai politik juga baru terdengar setahun sebelum pemilu. Empat tahunnya itu dia diam [dan] tidak ada pendidikan politik. Jadi, harus jalan,” ujarnya.
Anum mengatakan selain pendidikan politik, pemerintah, partai politik, dan lembaga demokrasi juga perlu memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat.
“Karena kalau tidak kita hanya mengulangi sejarah dimana praktek money politics itu menjadi pelanggaran terbesar, tapi sangat kecil diproses hukum,” ujarnya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id