“Kalau yang 10 orang itu orang tua saya yang meninggal,”
Muliaman, Jubi TV– Kini masuk tahun ke-empat sejak Desember 2018 dari warga Nduga mengungsi. Lebih dari 80 kepala keluarga warga Nduga hidup yang dipilih di pengungsian di Sekom, Muliama, Kabupaten Jayawijaya .
Permukiman yang dikelilingi kebun dan pepohonan itu berada di luar Kota Wamena, sekitar 1 jam berkendara mobil ke arah barat.
Bersama Pansus Kemanusiaan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan tim medis pada Sabtu (4/6/2022) dan Minggu (5/6/2022), Jubi berkesempatan mengunjungi dan menyaksikan langsung kondisi selama dua hari berturut-turut.
Kondisi kesehatan pengungsi yang kurang memadai terlihat melalui fasilitas dasar untuk mandi, cuci, dan buang air (MCK). Untuk mendapatkan air bersih baru bisa diperoleh setelah berjalan kaki beberapa kilometer, pun dengan jumlah terbatas dalam jerigen air. Tak ada bak penampungan air bersih.
Aktivitas malam hari pun terbatas karena cahaya penerangan. Tungku api yang menyala yang menyediakan dan membuat hangat pengungsi di dalam honai (rumah tradisional).
Kunjungan Pansus Kemanusiaan MRP bersama tim medis disambut antusias oleh para pengungsi yang sebagian besar terdiri dari anak-anak dan perempuan. Tak hanya pengungsi, warga Jayawijaya di sekitar lokasi Sekom juga mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan gratis. Pelayanan kesehatan secara rutin telah dinantikan sejak lama oleh para pengungsi.
Koordinator Pengungsi Nduga di Sekom, Pdt. Kones Kogoya mengatakan selama di pengungsian, dirinya bersama pengungsi menghadapi berbagai kendala untuk mendapatkan kesehatan di tempat umum, seperti rumah sakit maupun Puskesmas hingga toko obat karena administrasi hingga biaya yang tidak dapat dilayani.
Dalam rentang 3 tahun ini, setidaknya belasan orang meninggal dunia. Menurut Pdt. Kones, sebagian besar meninggal karena tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan.
“Di [distrik] Kimbim, 9 anak meninggal karena rumah sakit kan [jauh] di Wamena sana, dan di Kimbim. Setelah itu mereka, kalau satu hari itu mereka punya uang, berkat itu mereka pergi [ke rumah sakit] tapi tidak bisa [dilayani]. [karena] KTP Nduga itu [jadi] tidak bisa [dilayani], [kemudian] biaya obat[nya] itu besar [mahal]. Maka mereka tidak berobat. [Mereka hanya bisa] kembali lagi [sambil] menangis-nangis, akibat dari itu anak-anak 9 [orang] langsung meninggal di sini,” kata Pdt. Kones Kogoya, Minggu (5/6/2022).
“Kalau yang 10 orang itu orang tua saya yang meninggal,” imbuhnya.
Pdt. Kones mengatakan, sebelumnya pernah ada kunjungan tim medis dari Nduga ke tempat pengungsi pada tahun-tahun awal terjadi pengungsian. Namun, hingga memasuki tahun ketiga ini, tak ada lagi layanan yang diterima.
Upaya secara mandiri, kata Pdt. Kones, sudah dilakukan warganya dengan berkebun dan menjual hasilnya seperti ubi dan sayur mayur ke pasar. Namun, hasilnya tak seberapa karena harus digunakan untuk kebutuhan hari-hari selain obat.
Tempat berkebun para pengungsi pun terbatas hanya di dalam lokasi yang diberikan. Pengungsi Nduga tak dapat berkebun di luar lokasi karena berpotensi konflik horisontal antara warga pengungsi dan warga setempat.
“Maka pemerintah Nduga atau mantri-mantri semua lihat kondisi yang ada ini. Karena dari sini punya uang baru bisa berobat disana. Kalau tidak ada itu mereka pegang anak-anak sakit seperti hari ini, dokter dengan Bapa Luis Madai [Pansus Kemanusiaan MRP] sudah datang kunjungi disini beberapa kali. [Seperti] Ini yang saya mau,” kata Pdt. Kones.
“Terus harus bikin Posyandu ka, supaya ada obat di sini baru mantri dorang datang, ada obat, kasih masyarakat obat. Jadi kami hamba Tuhan ini berdoa tapi harus ada obat lagi supaya dua-dua jalan supaya anak-anak sehat, sembuh, masyarakat yang sisa ini,” tambah Pdt. Kones.
Pdt. Kones mengungkapkan salah satu alasan pentingnya layanan kesehatan bagi anak-anak yang akan menjadi generasi penerus masyarakat Nduga, adalah untuk menggantikan mereka yang telah meninggal selama dalam masa pelarian untuk mengungsi.
Ia mengatakan, banyak ibu-ibu hamil yang melahirkan namun anaknya tidak bisa ditolong hingga meninggal dunia dalam masa pelarian di hutan.
“Yang lain itu sudah hanyut, kali bawa, yang lain meninggal, setelah di tangan ibu melahirkan tapi kasih buang [dibuang] baru datang [lari mengungsi] jadi sisa-sisa ada sedikit sekarang, hasil yang ada yang Tuhan kasih ini, harus [diperhatikan], mantri dan Hamba Tuhan harus jalan sama-sama supaya berkembang,” ujar Pdt. Kones.
Tidak ada fasilitas Pendidikan
Sebagian besar pengungsi terdiri dari anak-anak dan perempuan. Beberapa ibu membawa anak-anaknya pada hari kunjungan tim Pansus Kemanusiaan MRP yang membawa tim medis untuk memeriksa kondisi kesehatan mereka, pada Sabtu (4/6/2022).
Selain fasilitas kesehatan, pengungsi Nduga di Sikom juga berharap adanya fasilitas pendidikan terutama bagi anak-anak usia PAUD dan TK di dalam kompleks permukiman pengungsi.
Pdt. Kones Kogoya menjelaskan, saat ini terdapat puluhan anak usia PAUD dan TK hingga sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di pengungsian tersebut. Namun, anak-anak tersebut belum tersentuh oleh layanan pendidikan.
Peran orang tua di pengungsian pun, kata Pdt. Kones, belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut karena terbatasnya pendidikan masing-masing orang tua.
“Anak-anak ini yang sebagian sudah kasih masuk ke sekolah terdekat. Terus yang kecil ini mereka mau TK, mereka mau belajar tapi tidak ada [yang] perhatikan. Karena saya sebagai orang tua yang tinggal [belum bisa mendidik] jadi, kalau [bisa ada] siapa yang mendidik anak-anak. Kalau dari sini TK buka baru kirim ke sekolah SD bisa. Tapi tidak ada, kesusahan, maka anak-anak ini sudah umur-umur besar begini, setelah masuk sekolah lagi mereka tidak bisa baca, tidak bisa buka mata begitu,” kata Pdt. Kones.
Pendampingan
Demi memberikan layanan kesehatan dan pendidikan, Kepala Suku Sekom, Zakeus Lengka, yang memberikan sebagian lahan untuk ditempati pengungsi Nduga, mengaku siap mendukung melalui izin pembangunan pos pelayanan terpadu di atas lahannya bagi pengungsi dan warga Sekom.
Selain itu, Zakeus juga berharap adanya perhatian dari pihak manapun, untuk memberikan pendampingan dan pelatihan bagi pengungsi terutama dalam hal mengelola sanitasi dan pemahaman tentang kebutuhan gizi melalui pengelolaan makanan.
“Mungkin kita kurang pendampingan. Ya, mungkin anak-anak yang bisa atau ibu-ibu yang bisa, ya [dilatih] cara masaknya begini. [mereka] harap [makan] sayur itu kalau ada nasi saja, [kalau ada] beras saja. Beras ada baru mereka usahakan [masak] sayur. Tapi, kalau umburu, petatas ini, mereka [makan tanpa] tidak pakai sayur. [Petatasnya hanya] bakar saja dan makan. Jadi itu bagaimana, mungkin bisa ada pendampingan ka…kemudian, nanti setelah ada [bangun] posko itu baru bisa mengajar mereka ka, begitu,” pinta Zakeus. (*)
Artikel ini sudah diterbitkan di Jubi.id dengan Judul: Tiga tahun mengungsi, warga Nduga butuh fasilitas MCK serta PAUD dan TK