Jayapura, Jubi TV –Misteri hilangnya Michael Rockefeler masih menjadi teka-teki. Putra jutawan dan Gubernur New York Nelson Rockefeler itu hilang di Afdeling Zuid Nieuw Guinea, terutama di daerah Asmat, ketika berburu benda-benda etnografis untuk Museum of Primitive Art di New York.
“Dalam ekspedisi pertama pada Juni-Juli 1961, ia ditemai S Putnam dan antropolog pemerintah Rene Wasing dan berjalan tanpa masalah. Salah satu kampung tempat Rockefeler membeli barang-barang seni primitif seperti perisai dan tiang bisy ialah Otsyanep, kampung di Pantai Casuarinen, yang beberapa waktu kemudian menjadi berita besar.” Demikian tulis Rudy de Longh, ‘Tourism Destroys What It Intends to Enjoy’.
Jubi mengutip dari tulisan berjudul ‘Kepariwisataan di Daerah Napi dan Asmat’ yang dimuat dalam buku ‘Belanda di Irian Jaya, Amtenar di Masa Penuh Gejolak, 1945-1962’ oleh Pim Schoorl.
Andre Liem, pemimpin tur dan pemandu wisata berpengalaman di Tanah Papua yang ditemui jubi.id di kediamannya di Kamp Key Abepura pada Rabu (24/4/2024) menuturkan bahwa kisah hilangnya putra jutawan Amerika Serikat itu selalu menjadi informasi yang menarik.
Menurut Andre, bagi masyarakat di Asmat, terutama di kampung tempat terjadinya peristiwa itu, selalu menjadi rahasia dan sulit untuk mencari jawabannya. “Hilangnya Michael Rockefeler sejak dulu sangat viral karena dia seorang anak miliuner dari Amerika Serikat,” katanya.
Kedatangan putra Rockefeler waktu itu, kisah Liem, bersamaan dengan situasi ketika kampung satu dengan kampung lainnya masih sering terjadi perang atau konflik antar kampung.
“Korbannya akan dilakukan human flesh atau memakan manusia dan itu juga akan menjadi bagian dari upacara-upacara untuk pembuatan patung Mbis. Dalam pesta Patung Mbis harus ada pengakuan. Orang-orang tua dulu mengaku kalau mereka membunuh orang di sini. Jadi ada pengakuan dari kepala-kepala adat di sana,” ujar Andre.
Ia mengatakan bisa diindikasikan bahwa zaman itu mereka masih melakukan human flesh atau memakan daging manusia.
“Nah, sampai sekarang masih misteri dan sekarang orang tua di Asmat makin lama makin habis karena tua dan meninggal. Patung-patung Mbis yang terkait dengan ‘human flesh’ itu juga sudah hilang,” katanya.
Menurut Andre kasus Michael Rockefeler bisa diperkirakan begitu dan menjadi salah satu yang bisa diduga demikian.
Human flesh juga ditulis oleh Hein van der Schoot dalam artikelnya berjudul ‘Antara Hutan Bakau dan Barisan Bukit’ yang dimuat dalam buku ‘Belanda di Irian Jaya, Amtenar di Masa Penuh Gejolak, 1945-162’ oleh Pim Schoorl. Schoot menyebutkan orang-orang Kamoro dari Mimika menyebut orang Asmat dengan nama Manowe, plesetan’ we mbamre-we ‘dari bahasa Mimika untuk orang-orang kanibal atau ‘the human flesh’.
Andre Liem menyampaikan, pada 1994 ada tim dari Amerika Serikat yang datang ke Asmat dan membuat film tentang hilangnya Michael Rockefeler di sana.
“Waktu itu ada seorang sutradara Amerika Serikat bernama Ben Loeterman, ia adalah penulis, sutradara, dan produser beserta timnya ke Asmat. Saya juga ikut terlibat dalam membantu mereka di Asmat,” kata Andre. “Sejak pembuatan film itu saya belum pernah menyaksikan ataupun mendapatkan film produksi sutradara Ben Loeterman itu.”
Ben Loeterman, kata Andre, waktu itu merekayasa film tentang hilangnya Michael Rockefler untuk menggambarkan misterinya saja. Tidak ada pengakuan dari masyarakat Asmat soal hilangnya Michael Rockefeler, termasuk beberapa orang yang sempat melihatnya.
“Mereka semua sangat tertutup dan menjaga rahasia sekali, termasuk Bapak angkat saya namanya Ambek,” ujarnya.
Menurt Andre, sesuai dengan cerita yang didengarnya waktu Rene Wasing berada di atas perahu, sedangkan Michael Rockefeler berenang ke daratan. “Saya masih ketemu orang Asmat yang ikut. Mereka kan dua orang dan satu sudah meninggal menceritakan saat itu ombak sangat besar. Mereka memakai dua perahu seperti katamaran dan memakai atap di atas dan barang,” ujarnya.
Waktu pembuatan film itu, sutradara Ben Loeterman merekayasa film sesuai dengan cerita kedua orang Asmat yang menemani Michael Rockefeler dan antropolog Rene Wasing itu.
“Dua perahu katamaran itu satu kita taruh atau berlabuh di Agast dan satunya di kampung,” katanya.
Katamaran, lanjut Andre Liem, adalah dua perahu lokal yang dibuat atap dan digerakkan satu motor saja. Motor itu bisa mendorong perahu sangat kuat dan cepat.
Memilih jalur berbahaya
Sebenarnya hilangnya Michael Rockefeler di Asmat pada 19 November 1961 juga pernah ditulis Rudy de Longh yang pernah menjadi kontrolir Binnenland Bestuur (BB) di Kepi, Mindiptana (Muyu), Agats (Asmat) dari 1958 sampai 1962 dalam artikelnya yang dimuat dalam buku “Belanda di Irian Jaya, Amtenar di Masa Penuh Gejolak, 1945-1962’ oleh Pim Schoorl.
Michael Rockefeler berkunjung ke Afdeling Zuid Nieuw Guinea, terutama di daerah Asmat dimulai pada ekspedisi perdana pada Juni-Juli 1961. Ia ditemani S Putnam dan antropolog pemerintah Rene Wasing. Ekspedisi pertama ini berjalan lancar tanpa masalah. Salah satu kampung, tempat Rockefeler membeli barang-barang seni primitive, seperti perisai dan tiang bisy ialah, Otsyanep, kampung di Pantai Casuarinen, yang beberapa waktu kemudian menjadi berita besar.
“Rupanya belum puas dengan banyaknya barang etnografis yang telah dibelinya,” tulis Rudy de Longh, “Ia kembali lagi ke Asmat pada Oktober 1961 ditemani antropolog Rene Wasing.”
“Setelah menjelajahi kampung-kampung di sekitar dan sebelah utara ibukota Agats, rupanya Michael Rockefeler memutuskan melalui jalur Kampung Per lewat laut untuk pergi ke Kampung Atsy yang lebih terkenal dan lebih besar di tepi Sungai Eilanden dengan perahu katamaran.”
Padahal, menurut Rudy de Longh, masyarakat setempat jarang memakai jalur itu dan lebih memilih jalan aman dan jalur biasa yaitu dari Agats melalui Sungai Utumbuwe dan tembus ke hulu Sungai Eilanden, selanjutnya ke Atsy di tepi muara Sungai Eilanden.
Meski jalur yang biasa cukup panjang dan aman. “Michael Rockefeler justru memilih jalur pendek dan berbahaya lewat laut,” tulis Rudy de Longh.
Muara Sungai Eilanden pada saat pasang surut sangat berbahaya dan gelombang laut sangat tinggi, membutuhkan kemampuan motoris yang memiliki keberanian melintasi muara tersebut.
“Air yang bergumpal-gumpal, pusaran gelombang dari pantai, menuntut kecakapan jurumudi, perahu motor dan sekoci,” tulis Rudy de Longh.
Andre Liem juga mengakui kalau gelombang laut di muara sungai Eilanden di Asmat sangat berbahaya dan membutuhkan keahlian khusus.
Rudy de Iong heran mengapa Michael Rockefeler mengabaikan semua nasihat dan memilih jalur lain. “Terjadilah apa yang tidak dapat dihindari dan katamaran-nya mulai kemasukan air dan tenggelam karena beratnya penumpang. Ada Rockefeler, Wasing, dan kedua putra Asmat (Papua) bernama Simon dan Deo,” tulisnya
Ketika garis pantai mulai kelihatan, dua orang Papua (Simon dan Deo) memutuskan untuk berenang ke pantai. Kedunya berenang dengan bantuan jiriken kosong sebagai pelampung. Air pasang sangat membantu kedua anak Papua itu dan tiba di Agats mencari bantuan. Hanya Wasing dan Michael Rockefeler yang tetap tinggal di atas katamaran yang terendam air laut itu.
Rockefeler dan Wasing menghabiskan malam harinya dengan basah kuyup dan menggigil kedinginan. Menjelang pagi, katamaran hanyut dan kembali ke pantai, suasana pagi buram di cakrawala.
Michael sempat berdebat dengan Wasing karena ia ingin berenang ke pantai, namun akhirnya putra miliuner itu memilih berenang. Ia meninggalkan Wasing sendirian. Padahal antroplog Wasing sudah menasihatinya, toh putra miliuner itu lebih memilih berenang ke pantai. Michael berenang dengan bantuan kaleng-kaleng yang diikat sebagai pelampung.
Antropolog Wasing akhirnya berhasil ditolong oleh kapal patroli Tasman milik Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea waktu itu. Sedangkan Michael Rockefeler sampai ke pantai atau hilang? Tidak ada yang tahu. “Hanya saja kaleng-kaleng bensin sebagai pelampung yang ditemukan di pantai barat Pulau Kolepom (Frederik Hendrik) dan lainnya di muara Sungai Digoel,” tulis Rudy de Longh.
Ke mana perginya Michael Clark Rockefeler? Ia hilang secara misterius pada 19 November 1961. Hingga kini banyak pihak berspekulasi, bahkan Carl Hoffman menulis dalam bukunya yang berjudul ‘Savage Harvest a Tale of Cannibals Colonialism and Michael Rockefellers Tragic Quest for Primitive Art’.
”Penyebab resmi kematian putra Gubernur New York dalam usia ke-23 tahun itu memang tenggelam, namun sudah lama beredar banyak rumor. Dia telah diculik dan dijadikan tawanan. Dia menjadi penduduk asli dan bersembunyi di hutan. Dia telah dimakan oleh hiu. Dia berhasil mencapai pantai, hanya untuk dibunuh dan dimakan oleh pemburu kepala suku Asmat setempat. Ceritanya pun berkembang, menjadi mitos,” tulis Carl Hoffman. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id