Jayapura, Jubi TV – Sebanyak 3.000 batang kayu merbau ilegal berbagai ukuran asal Senggi, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua disita pihak Lantamal X Jayapura dan Satuan Tugas Penegakan Hukum Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup Maluku-Papua pada 14 Maret 2024.
“Awalnya anggota Lantamal mencurigai ribuan kayu yang diangkut menggunakan 30 truk saat tiba di terminal kontainer Kelapa II Entrop, Kota Jayapura untuk dipindahkan ke dalam kontainer untuk kemudian dibawa menuju Pasuruan melalui Surabaya, Jawa Timur dengan menggunakan kapal laut,” kata Umar.
Umar mengatakan saat dilakukan pemeriksaan ternyata dokumen yang digunakan palsu, sehingga kasus ini sementara dalam penyelidikan aparat bersama Satuan Tugas (Satgas) Penegakan Hukum (Gakkum).
“Ribuan kayu itu masih ada di terminal peti kemas dan sudah dipasangi tanda fisik (Police line). Saat ini kasusnya sudah ditangani Satgas Gakkum KLH,” ujarnya.
Kepala Seksi Wilayah III Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Maluku-Papua, Muhammad Anis menyatakan dari hasil penyelidikan awal terbukti dokumen yang digunakan adalah palsu.
Dari 32 dokumen yang dimiliki, ternyata 24 dokumen itu palsu, yang mana setelah dilakukan penelitian ternyata pernah dikeluarkan di Kalimantan.
“Hanya delapan dokumen yang asli, sementara 24 dokumen diduga palsu karena sudah pernah dikeluarkan di Kalimantan. Jadi intinya dokumen yang dipakai perusahaan (Crown Pasifik Abadi) sebagain besar palsu,” kata Anis.
Anis mengatakan terkait izin, nomor registrasi untuk dokumen kayu tidak bisa dikeluarkan dua kali dan terungkap bila nomor tersebut sudah pernah dikeluarkan.
“Jadi surat-surat itu diedit dan dipakai untuk melengkapi dokumen 3.000 kayu olahan yang akan dikirim ke Surabaya,” ujarnya.
Dalam kasus ini, sudah tujuh orang yang dimintai keterangan termasuk dari pihak perusahaan. Kasusnya masih dalam penyelidikan, sebab masih banyak yang harus didalami dengan jumlah kerugian negara yang belum juga diketahui.
Sementara Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan selama ini pengawasan yang dilakukan oleh penegak hukum masih kurang, kalau misalnya wilayah yang terlalu luas dijadikan alasan sehingga tidak maksimal, itu juga tidak terlalu kuat.
“Sistem pemantauan yang lemah atau memang dari aparatur yang enggan melakukan pengawasan atau penindakan atas kasus-kasus ini sehingga selalu membuka celah bagi para pelaku ilegal logging untuk melakukan perbuatan-perbuatannya secara ilegal,” kata Tigor.
Meskipun demikian, Tigor mengatakan tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk bertindak tegas. Apalagi sistem terkait dengan kayu sudah cukup kuat. “Jadi kemungkinan, pengawasan di tingkat aparatur yang masih kurang atau enggan melakukan pemantauan atau penindakan kasus ilegal,” sambungnya.
Tigor menegaskan, dalam upaya memberantas praktik-praktik ilegal logging perlu tindakan secara terus menerus. Artinya tidak bisa kejar target per tiga bulan atau per tahun untuk melakukan penangkapan maupun penindakan. Apalagi saat ini teknologi sudah tinggi, yang mana pemantauan bisa dilakukan melalui citra satelit.
“Jadi tidak ada alasan lagi untuk tidak menegakkan aturan atau pengawasan secara tegas,” tegasnya.
Tigor Hutape menilai, sejauh ini sebenarnya ada masalah dalam proses penegakan hukum. Hal itu dikarenakan Satgas Gakkum dikejar waktu yang sangat pendek dalam proses penegakan hukumnya. Tetapi terkait kasus 3.000 kayu asal Senggi ini tindak pidana sudah sangat jelas yakni pemalsuan dokumen.
“Jadi tidak ada alasan juga apabila terbatasnya waktu dijadikan alasan karena pembuktian sudah kuat,” katanya.
Disamping itu, ujar Tigor, tidak ada keterbukaan dalam proses ketika masuk tahap penyidikannya. Padahal seharusnya bisa di informasikan secara terus menerus apalagi mereka (Gakkum) punya waktu sangat terbatas.
“Jadi seringlah untuk menginformasikan perkembangan kasus itu ke publik, karena hanya dengan cara itu publik bisa memberikan pengawasan dan memberikan masukan. Tetapi kalau hanya di awal diinformasikan, kemudian tidak ada lagi ada perkembangan tentu pengawasan akan tidak ada dan kasus itu akan hilang di kemudian hari,” ujarnya.
Berdasarkan laporan pemantauan peta. Pusaka mencatat luas deforestasi yang terjadi pada 2023, seluas 25.457 hektar (ha). Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan2022, seluas 20.780 ha. Kejadian deforestasi berulang dan meluas terjadi di lokasi konsesi perusahaan yang serupa dengan tahun sebelumnya.
Jumlah kawasan hutan yang rusak dan hilang pada areal konsesi perusahaan pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit di tahun 2023, seluas 18.802 hektar. Diduga kejahatan lingkungan dan penyebab meningkatnya panas bumi ini berhubungan dengan perluasan areal usaha dan pembangunan infrastruktur jalan, pabrik dan sebagainya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id