Sentani, Jubi TV– Tragedi banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura, yang terjadi pada 16 Maret 2019 lalu sangat membekas bagi seluruh warga di Kabupaten Jayapura, khususnya yang terdampak langsung dari peristiwa malam tragis itu.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Jayapura Hana Hikoyabi mengatakan tahun ini tidak ada acara atau ibadah doa bersama, untuk mengenang kembali peristiwa yang telah menghancurkan Kota Sentani.
“Mungkin masyarakat secara pribadi atau keluarga atau juga kelompok yang melaksanakan ibadah atau doa bersama, pemerintah daerah tidak melaksanakannya,” ujarnya, di Kantor Bupati Jayapura, Gunung Merah Sentani, Senin (18/3/2024).
Dikatakan, peristiwa banjir bandang 2019 itu sangat membekas apalagi banyak harta benda, hingga ratusan nyawa manusia menjadi korban keganasan dari banjir bandang tersebut. Hal ini akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh umat manusia, secara khusus yang tinggal di bawah kaki bukit Pegunungan Cycloop.
“Kita harus jujur mengakuinya, bahwa akibat ulah kita sendiri sehingga alam bisa mengamuk dan marah sebegitu dasyatnya,” ujarnya.
Lima tahun berlalu, kata dia, sekali pun tidak diperingati tetapi pesan dan aksi atau perilaku terhadap alam dan lingkungan harus diwujudkan, yakni dengan menanam kembali pohon di kawasan penyangga atau cagar alam, dan setop melakukan aksi penebangan atau perambahan hutan untuk kepentingan kebun dan sebagainya di kawasan cagar alam dan penyangga.
“Dinas terkait, kelompok masyarakat serta komunitas lingkungan sudah ada koordinasi untuk secara bersama melaksanakan program penghijauan dan tanam pohon kembali, agar kawasan cagar alam kita hijau seperti dulu lagi,” katanya.
Ia juga mengingatkan kepada seluruh warga yang berada di lingkaran utara dan jalan baru yang tinggal di kawasan penyangga, agar tidak melakukan hal-hal yang nantinya merugikan banyak orang.
“Sama-sama kita semua punya pengalaman yang berharga, rumah roboh, tertimbun hingga hanyut. Keluarga hilang tertimbun tanah, hingga meninggal dunia, harta benda lenyap dengan seketika, ini semua adalah pelajaran yang berharga dan tidak mudah dilupakan,” ujar Hikoyabi.
Salah satu warga di Kemiri Sentani, Maks Suebu mengatakan bahkan dirinya tidak ingin mengingat kembali peristiwa lima tahun lalu yang dialami keluarganya. Menurutnya, semua terjadi di luar perkiraan manusia dan berlangsung begitu cepat.
“Baru 30 menit bersama istri dari rumah di Kemiri, ketika hujan dan banjir bandang itu, kami berada di depan salah satu toko di Kota Sentani,” ujarnya.
Kebetulan rumahnya, kata Suebu, berada di pinggir Kali Kemiri dan sewaktu banjir bandang turun dari arah Pegunungan Cycloop, rumahnya ikut terbawa banjir tanpa bekas. “Yang tersisa hanya pakaian di badan dan satu unit motor,” katanya.
Setelah peristiwa itu, lanjutnya, selama setahun mereka tinggal di penampungan di SKB, hidup dalam keadaan susah, baik untuk makan setiap hari dan fasilitas penunjang lainnya.
“Tuhan sangat baik, setelah setahun di penampungan, kami mendapat satu unit rumah, bantuan dari salah satu yayasan yang telah membangun 300 unit rumah di Kemiri,” ujarnya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id