Canbera, Jubi TV– Dingin kota Canberra, Australia menusuk hingga ke tulang sum-sum, layaknya angin dari tepian Danau Paniai. Satu-persatu peserta berdatangan, baik mahasiswa dari berbagai kampus di Canberra, maupun dosen, peneliti, dan aktivis kemerdekaan Papua.
Mereka yang datang ke acara ‘West Papua Mini Film Festival I 2024‘ itu memenuhi kursi untuk menyaksikan lima Film Jubi Documentary yang disupervisi oleh Watchdoc Documentary. Film akan diputar di National Sound and Archive di National Australia University (ANU), Kamis, (11/4/2024) pukul 15.00 Waktu Canbera.
Kelima film dokumenter tentang Tanah Papua itu adalah ‘Sa Pu Nama Pengungsi’, ‘Saat Mikrofon Menyala’, ‘Mutiara Hitam Para Jenderal Lapangan’, ‘Suara dari Lembah Grime’, dan ‘Pepera 1969: Integrasi Demokratis?’. Kelima film ini sebelumnya telah diluncurkan di Yogyakarta, Jakarta, dan Jayapura pada Agustus 2023.
Kelima film karya anak Papua ini bertujuan mengenalkan West Papua (Tanah Papua) lebih luas kepada publik di Australia tentang situasi kondisi terkini orang asli Papua (OAP).
Usai pemutaran film, para penonton sangat mengapresiasi atas pembuatan kelima film documenter itu. Mereka terkejut, bahkan tidak percaya dengan situasi yang dialami orang west Papua yang menghadapi ‘slow motion genosida’, ‘pembungkaman’, ‘diskriminasi rasial’, serta ‘investasi sawit yang merampas tanah ulayat masyarakat adat yang mengancam habitat di hutan’.
Dosen Australia National Universitas yang juga Deputy Direktur Pasific Institute George Carter mengatakan bersimpati dengan situasi yang terjadi di West Papua.
“Saya hanya penasaran dampak apa yang muncul setelah film ini dibuat. Apakah ada perspektif baru setelah membuat film ini,” katanya.
Carter mengatakan sebagai simpati ia dapat menggunakan kapasitasnya mendukung penelitian terbatas dengan memberikan ruang studi media ke Pasifik yang susah karena terkait administrasi.
Sekretaris Australia Association of Pacific Studies Talei Mangioni juga mengapresiasi para pembuat film yang mengangkat isu-isu di West Papua agar diketahui publik di Australia.
“Saya mengapresiasi film ini dengan akan menjadikan sebagai bahan pembelajaran agar mahasiswa memahami masalah bangsa Papua ,” ujarnya.
Talei Mangioni dalam sambutannya berpesan agar mahasiswa Asia Pasifik di Australia National University (ANU) dapat menghubungi mahasiswa lain untuk dapat mengikuti kegiatan akademisi terkait topik ini.
“Saya harap agar mahasiswa ataupun pelajar Asia Pasifik dapat mengundang mahasiswa lain yang belajar di Australia National University di Canbera untuk belajar tentang Papua. Kami melihat hal ini melibatkan aspirasi pemuda Papua,” katanya.
Talei Mangioni mengatakan film-film yang diproduksi Jubi Documentary itu bisa dijadikan bahan ajar di program studinya. Dia berjanji kelima film akan dijadikan materi di kelasnya.
“Saya ingin agar film-film maupun buku-buku tentang West Papua dapat dijadikan materi di kelas Australia National University di Canbera dan mahasiswa dapat membahas topik-topik tentang HAM (Hak Asasi Manusia), lingkungan, konflik, dan pengungsi,” ujarnya.
Ia berencana akan membahas topik-topik yang telah dirangkum di dalam film-film Jubi Documentary tersebut sebagai bahan kuliah.
‘Slow motion genocide’
Sebelumnya, pada pemutaran film di Sydney pada 10 April 2024, salah satu pembicara, Lis Biok mengatakan genosida secara perlahan (slow motion genocide) terjadi terhadap orang Papua.
“Orang masuk banyak ke Papua tanpa terkontrol, menguasai tanah-tanah adat, termasuk pembunuhan ‘slow motion genocide’ benar-benar terjadi,” katanya.
Bercermin pada film-film yang ditayangkan Jubi Documentary, Lis Biok mengatakan bangsa West Papua harus diselamatkan dari ancaman genosida tersebut.
“Kami harap situasi Papua ini minimal bisa diketahui berbagai pihak di Pasifik-Australia, bahkan di dunia international,” katanya.
Tokoh Kemerdekaan West Papua Rex Rumakiek yang turut menyaksikan film mengapresiasi para pembuat film yang telah dengan teliti mendokumentasikan kehidupan nyata orang Papua saat ini.
“Saya menyampaikan banyak terima kasih kepada Victor Mambor dan temannya yang telah membuat film documenter ini,” katanya.
Penonton lain, pengacara Jack Jhonson mengatakan situasi West Papua benar-benar diisolasi oleh Pemerintah Indonesia. “Banyak persoalan yang tidak diketahui banyak orang di luar Papua,” ujarnya.
Menurut Jack Jhonson apa yang dilakukan dengan film ini adalah kerja-kerja jurnalis yang sangat berbahaya dan penuh risiko dan ia bisa menonton lima film yang sangat luar biasa bagus.
“Terkait dengan apa yang disampaikan di dalam film, menarik, sangat emosional, menunjukkan banyak perjuangan dan tantangan,” katanya.
Semua film, tambahnya, memiliki spirit yang makna dari perjuangan dan mempunyai makna ketahanan hidup bagi masyarakat Bangsa Papua.
Di Canberra, sebelum pemutaran film, kegiatan diawali dengan nyanyian yang dibawakan Tim Jubi Documentary bersama Komunitas Warga Papua di Canberra dan Panitia Lokal West Papua Mini Festifal Film I April 2024 berjudul ‘Joy Joy Manfun’. Selain itu juga menampilkan lagu rapper berjudul ‘Happy Independen Day’ yang dinyanyikan Ukam Maran. Lagu ini pernah dirilis di Yogyakarta pada 1 Desember 2016.
Ukam Maran juga tampil menyanyikan lagu rapnya berjudul ‘Bunuh Saya’ setelah pemutaran film pertama dan kedua, ‘Sa Pu Nama Pengungsi dan ‘Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis’. Setelah pemutaran tiga film lainnya acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu Jack Jhonson, kemudian digantikan Ronny Kareny.
Pemutaran lima film besutan Jubi Documentary berlangsung di sembilan lokasi di kota berbeda di Australia hingga berakhir di Darwin pada 21 April 2024. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id