Jayapura, Jubi TV– Perubahan istilah dari KKB atau KST (Kelompok Kriminal Bersenjata atau Kelompok Separatis Teroris) kembali menjadi OPM (Organisasi Papua Merdeka) oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) dikhawatirkan semakin memicu kekerasan dan konflik bersenjata di Tanah Papua.
Perubahan istilah itu juga dinilai turut memberi pengakuan kepada Organisasi Papua Merdeka sebagai entitas politik dan membuka jalan penyelesaian persoalan di Papua.
Pandangan itu disampaikan Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah pada Jumat (12/4/2024). “Kami berharap penggunaan istilah tidak semakin memicu situasi di Tanah Papua semakin memburuk,” kata Anis kepada Jubi via pesan WhatsApp.
Pada April 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Moh Mahfud MD mengumumkan bahwa Pemerintah RI menetapkan TPNPB-OPM sebagai organisasi teroris. Berselang tiga tahun, pada 10 April 2024, Panglima TNI Agus Subiyanto mengumumkan TNI mengembalikan istilah penyebutan KKB dan KST sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Menurut Anis, Panglima TNI harus menjelaskan perubahan istilah kepada pemerintah dan dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Anis mengatakan penting untuk dijelaskan sehingga perubahan istilah itu tidak memperburuk situasi Hak Asasi Manusia di Papua. Komnas HAM mencatat sepanjang 2023 sebanyak 81 peristiwa dari 114 peristiwa yang merupakan kasus kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.
“Panglima harus menjelaskan kembali penggunaan istilah OPM dan penting juga dikonsultasikan kepada DPR sehingga penggunaan itu tidak berdampak kepada hal-hal yang tidak kita inginkan, karena situasi HAM di Papua tidak baik-baik saja. Apalagi [Papua] mengalami eskalasi kasus-kasus kekerasan yang terjadi,” ujarnya.
Anis mengatakan Komnas HAM senantiasa mendorong seluruh pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan Papua adalah pendekatan kemanusian. Pemerintah harus membangun mekanisme dalam menyelesaikan persoalan HAM di Tanah Papua.
“Kami juga berharap perlu didialogkan kepada masyarakat Papua. Jadi menghormati setiap aspirasi pendapat masyarakat Papua terhadap nasib mereka sendiri dan bagaimana partisipasi mereka memperkuat demokrasi dan situasi HAM ke depan di Papua,” katanya.
Pemetaan kelompok pro kemerdekaan
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Latifah Anum Siregar mengatakan perubahan istilah oleh TNI itu merupakan sebuah desain. Misalnya, TNI mau memisahkan lebih fokus penanganan kelompok bersenjata tapi juga menangani kelompok-kelompok lawan politik.
“Bisa saja TNI melihatnya seperti itu, karena gerakan itu tumbuh di hutan dan di kota makin besar. Intinya, perubahan istilah ini ada skenario tertentu. Kenapa istilah itu diubah, bisa jadi untuk pendekatan ke kelompok politik bisa diterapkan terpisah, tidak hanya melihat kelompok bersenjata tapi ternyata kelompok politik ini dengan berbagai macam dinamika cukup tinggi ke masyarakat,” ujarnya.
Anum juga mempertanyakan arti perubahan istilah karena pada praktiknya ada perlakuan yang sama. Menurutnya perlu dipahami dan ditangkap oleh masyarakat bahwa perubahan istilah itu juga berkaitan dengan perubahan pendekatan.
“Mau kasih istilah KKB/KST tapi ada pola yang sama dengan penanganannya. Jangan sampai mengubah istilah tapi pendekatannya sama. Kalau perubahan istilah harus ada perubahan pendekatan, misalnya tidak dilihat lagi bahwa gerakan Organisasi Papua Merdeka itu tidak hanya dalam bentuk KKB, tapi dalam bentuk organisasi yang besar,” ujar Anum kepada Jubi pada Kamis (12/4/2024).
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan istilah yang berbeda akan menimbulkan pendekatan kebijakan yang berbeda. Usman mencontohkan istilah KKB akan menimbulkan kebijakan pendekatan hukum dan keamanan dalam negeri.
“Otoritas yang menjadi ujung tombak pendekatan kebijakan hukum dan keamanan adalah kepolisian,” kata Usman kepada Jubi via telepon pada Kamis (11/4/2024).
Menurut Usman perubahan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KBB) atau Kelompok Separatis Teroris (KST) di Papua kembali menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebenarnya perubahan yang tepat yang seharusnya dilakukan pemerintah bersama DPR
“Perubahan istilah itu tidak menjadi tepat karena perubahan istilah itu prosesnya hanya dilakukan oleh TNI saja. TNI bukan pembuat kebijakan, tetapi pelaksana kebijakan. TNI bukan pembuat kebijakan di sektor pertahanan, TNI pelaksana kebijakan di sektor pertahanan,” ujarnya.
Usman khawatir jangan sampai perubahan istilah hanya untuk memperebutkan kewenangan menangani OPM antara TNI dan Polisi. Perubahan istilah itu, menurutnya hanya menunjukkan situasi Papua menjadi lebih urusan TNI. Terkait hal itu ia menegaskan masalah Papua itu urusan negara, pemerintah, DPR, dan seluruh kementerian, karena masalahnya tidak sederhana.
“Ada pengerukan kekayaan alam yang luar biasa tanpa kontrol, ada perusakan lingkungan yang menyebabkan bencana alam, ada penyelundupan kekayaan alam Papua dari kayu sampai dengan satwa langkah, ada juga penegakan hukum yang kurang berfungsi, ada pula berbagai sengketa lahan antara masyarakat dan pemerintah dan swasta. Banyak tanah adat yang diambil untuk kepentingan bisnis tanpa persetujuan dari masyarakat adat di Papua atau OAP,” katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, perubahan istilah itu merupakan pengakuan OPM adalah entitas politik, bukan lagi KKB atau KST. Maka sudah semestinya pemerintah dan DPR, pimpinan kementerian dan Panglima TNI untuk menjajal penyelesaian politik. Penyelesaian politik itu bisa berupa penjajakan sebuah dialog kemanusiaan dan perundingan perdamaian.
“Jadi pimpinan kedua pihak yang berkonflik secara politik harus mau duduk dengan target jangka pendek dan jangka panjang yang jelas,” ujarnya.
Target jangka pendek adalah agenda mendesak untuk mencegah kekerasan bersenjata berulang dan untuk memungkinkan penanganan pengungsi internal di Tanah Papua. Sedangkan target jangka panjang adalah penghentian permusuhan, gencatan senjata, dan penyelesaian politik.
“Apakah itu jalan Timor Leste atau Aceh, itu tergantung bagaimana para pihak membicarakan segala sesuatu untuk menyelesaikan konflik bersenjata yang sudah berlangsung selama puluhan tahun,” katanya.
Usman mengakui hal itu tidak muda, tapi harus terus dicoba, karena tidak ada perundingan damai di dunia yang berhasil satu-dua kali pembicaraan.
“Tidak ada yang sekali duduk lalu berhasil, tidak ada di dunia perdamaian seperti itu. Perdamaian itu dihasilkan dari pertemuan, penjajakan berkali-kali, kegagalan berkali-kali, dan pada akhirnya berhasil,” katanya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id