Jayapura, Jubi TV– ULMWP atau United Liberation Movement West Papua menggelar demonstrasi memperingati 1 Mei 1963 sebagai Hari Aneksasi Papua ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan menyampaikan bahwa peristiwa itu adalah ilegal. Demonstrasi dilakukan satu titik di depan Gapura Universitas Cenderawasih Abepura, Kota Jayapura, Papua pada Rabu (1/5/2024).
Aksi demonstrasi yang diikuti lebih seratus mahasiswa dan masyarakat Orang Asli Papua (OAP) itu dimulai pukul 9 pagi di bawah pengawalan 300 personel polisi. Para demonstran membentangkan spanduk berukuran sekitar 1 X 2 meter bertuliskan “Aksi Nasional, United Liberation Movement West Papua, 1 Mei 1963 Ilegal. Segera Berikan HAK Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua.”
Para aktvis ULMWP bergantian menyampaikan orasi terkait Hari Anekasasi Papua ke NKRI pada 1 Mei 1963. Mereka menyebutkan NKRI tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni, dan sejati. Juga menyebutkan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka dan sederajat dengan bangsa lain di muka bumi.
“Negara Indonesia sudah jelas tidak baik-baik saja. Ingat kawan-kawan, hari ini Indonesia memaksakan kita tinggal dalam bingkai NKRI, kita tinggal dengan mereka akan mendapat pemerkosaan, penindasan, penganiayaan, dan lain sebagainya akan terus menerus terjadi. Kami bukan Merah Putih, kami jelas Bintang Kejora,” kata Stenlhy
Dambujai, mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Stenlhy Dambujai saat orasi.
Mahasiswa lain, Varra Iyaba saat orasi menyampaikan pada hari itu, 1 Mei 2024, kelompok tertindas ingin menyampaikan perasaan selama 61 tahun yang terpendam. Bangsa Papua, katanya, dicaplok dua kolonial karena kepentingan, yaitu Indonesia untuk kepentingan Amerika terhadap PT Freeport Indonesia.
“Di depan kami para Polisi yang datang, mereka pekerja sistem. Kita ingin memperbaiki sistem yang buruk. Para Polisi, tenaga Anda diisap satu kali duapuluh empat jam, namun upah endah tidak menghormati harkat dan martabat. Karena itu hari ini rakyat Papua turun untuk menghormati moralitas Anda,” ujarnya.
Manase Tabuni: Kolonial jangan datang diam-diam
Presiden Eksekutif ULMWP Manase Tabuni dalam orasinya mengatakan, ULMWP hadir pada aksi demonstrasi karena rakyat Bangsa Papua sudah 61 tahun berada dalam NKRI dan sebagian besar pejuang Papua Merdeka sudah mendahului (wafat).
Enam puluh satu tahun silam, lanjutnya, terjadi invasi besar-besaran tentara Indonesia ke Tanah Papua dan mengambil alih wilayah ini berdasarkan perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962. Perjanjian melalui perundingan antara Indonesia dan Belanda yang difasilitasi Amerika Serikat itu adalah ilegal.
“Kami rakyat Bangsa Papua bermartabat, kami bangsa yang bermoral, kastau kami baik-baik, kami duduk bersama bicara baik, secara bermartabat sebagai bangsa, tanpa melibatkan orang Papua, kamu kayak maling melakukan perjanjian secara sembunyi-sembunyi, hay bagsa Indonesia di mana derjatmu, hay Belanda di mana derajatmu, hay Amerika S erikat dimana derajatmu,” ujar Manase Tabuni.
Tabuni mengatakan para kolonial jangan datang kepada Bagsa Papua secara diam-diam, seolah-olah Tanah Papua tidak ada orang alias kosong. “Katanya Pancasila, Keadilan Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa. Hey para kolonial, nilai-nilai itu di mana. Hari ini 61 tahun silam pada 1 Mei 1963 kita memperingati aneksasi secara politik, secara de facto berdasarkan perjanjian New York Agreement pada bangsa ini dicabut,” katanya.
Tabuni meneruskan, dua tahun sebelum Pepera 1969, sejak 1997 kedua negara sudah menandatangani PT Freeport Indonesia.
“Saya mau kastau, ini cara-cara pencuri bangsa yang tidak bermoral. Ini bukan Negara Pancasila melainkan negara imperialisme, kapitalisme. Rakyat bangsa Papua hari ini menggelar aksi dari Sorong hingga Merauke memperingati 1 Mei 1963, bangsa yang sadar mengerti sejarahnya, bangsa yang mengerti ancaman masa depan. Gara-gara perjanjian New York Agreement masa depan kami di atas Tanah Papua menjadi terancam dalam pangkuan NKRI,” kata Tabuni.
Markus Haluk: Papua Barat bukan bagian wilayah RI
Sekretaris ULMWP Markus Haluk juga tampil berorasi. Haluk mengatakan, pada 1 Mei 2024, bangsa Papua dari Sorong hingga Merauke memperingati peristiwa 61 tahun silam, 1 Mei 1963 ketika terjadi tragedi aneksasi hak politik Bangsa Papua oleh Pemerintah Kolonial Indonesia melalui bantuan Pemerintah Amerika Serikat dan Belanda dengan menggunakan tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Haluk menegaskan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari wilayah Republik Indonesia. Secara historis Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Sejak 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana, Pantai Selatan, Tanah Papua diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland.
Papua Barat dan Indonesia, katanya, sama-sama jajahan Belanda, namun administrasi Pemerintahan Papua Barat diurus-secara terpisah. Bangsa Papua tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia sejak 28 Oktober 1928. Dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan Penguasa Perang Jepang di Saigon pada 12 Agustus 1945, Mohammad Hatta menegaskan, “Bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah Bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri”.
Sementara Ir Soekarno mengemukakan bahwa Bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
“Tanpa pernah meminta keterlibatan dan persetujuan rakyat Papua ,sejak 1 Mei 1963 Pemerintah Indonesia mengurus administrasi hingga mulai menempatkan pasukan militer dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua. Akibatnya, hak-hak politik dan hak-hak asasi manusia Papua telah ditangani secara brutal di luar perikemanusiaan,” ujar Haluk.
Beberapa di antaranya, jelas Haluk, terjadi pembunuhan secara kilat penguburan hidup-hidup, disuruh menggali kuburnya sendiri, pembunuhan ayah yang kemudian dagingnya dibakar dan dipaksa untuk dimakan oleh istri dan anak-anaknya. Ada yang setelah diperkosa ditusuk alat kelaminnya dengan bayonet atau kayu.
“Dari banyak kasus itu hanya menjadi contoh untuk diketahui,” ujarnya.
Pernyataan sikap ULMWP dan Organisasi Mahasiswa
Sekretaris ULMWP Markus Haluk kemudian membacakan pernyataan sikap yang berbunyi:
Pertama, tidak sah semua klaim yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia mengenai status Tanah Papua sebagai bagian integral dari NKRI, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni, dan sejati, dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki Kedaulatan sebagai suatu bangsa yang Merdeka sederajat dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi sejak 1 Desember 1961.
Kedua, rakyat West Papua secara tegas menolak hasil Pepera sejak 1969, karena dilakukan atas dasar New York Agreement yang cacat moral dan cacat hukum. Dilaksanakan dalam suasana penindasan di luar batas-batas perikemanusiaan, peniadaan hak dan kebebasan berpendapat Bangsa Papua, dan dilakukan dengan cara-cara yang represif dan tidak demokratis.
Ketiga, West Papua zona Darurat Militer, segera hentikan Operasi Militer di West Papua dan tarik militer organik dan non organik dari West Papua.
Keempat, TPNPB dan TNI/Polri segera melakukan gencatan senjata demi mewujudkan perundingan politik yang dimediasi oleh phak ketiga yang netral.
Kelima, Indonesia segera buka akses terhadap jurnalis internasional masuk di West Papua.
Keenam, Indonesia segera menempatinya janjinya kepada ketua Dewan HAM PBB di Jakarta pada 2018 untuk memberikan akses kunjungan Dewan HAM PBB di West Papua.
Ketujuh, bangsa Papua mendukung penuh perjuangan kaum buruh di seluruh dunia demi memperoleh penghormatan, harkat, dan martabat dan pengakuan peran kaum buruh dalam pembangunan ekonomi dan sosial global.
Kedelapan, segera berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri melalui Referendum di Papua Barat sebagai solusi paling demokratis guna mengakhiri segala macam konflik di atas Tanah Papua.
Polisi: aksi demonstrasi berjalan baik
Kabag Ops Polresta Jayapura Kota Kompol Hanafi mengatakan aksi demonstrasi semua berjalan baik. Menurutnya hal itu karena awalnya melakukan koordinasi bersama masyarakat hingga mereka mengikuti arahan keamanan.
“Untuk unjuk rasa dini hari memang tidak diberi izin, namun arahan dari atas memberikan kesempatan menyampaikan aspirasi mereka. Sebenarnya ujuk rasa hari ini memang tidak ada izin, kami sudah cross check jajaran Intel Polresta maupun di Polda,” ujarnya.
Pihaknya beralasan tidak memberikan izin melakukan aksi demonstrasi memperingati Hari Aneksasi Papua ke NKRI, karena kegiatan tersebut mengganggu jalan untuk kepentingan umum masyarakat luas.
“Hari ini kami siapkan sebanyak 300 personil terdiri dari Brimob dan Polda untuk mengamankan, ternyata kegiatan ujuk rasa di satu tempat [yakni depan Gapura Universitas Cenderawasih],” kata Hanafi.
LBH Papua apresiasi aksi ULMWP
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay mengatakan sejak awal hingga selesai mendampingi massa aksi ujuk rasa yang digelar ULMWP dan beberapa organisasi kampus memperingati 61 tahun peristiwa aneksasi Indonesia terhadap wilayah Papua. Gobay menilai aksi tersebut berjalan aman hingga selesai.
“Kita melihat sesuai dengan pemberitahuan kepada kami maupun Kasat Intel (Polresta Jayapura Kota) bertujuan longmarch dari Abepura hingga Kota Jayapura, namun apa menjadi pertimbangan para massa aksi, mereka menggelar aksi hanya satu titik, yakni di depan Gapura Universitas Cenderawasih, tentunya hal itu menjadi keputusan internal para massa aksi. Dari awal hingga akhir semua berjalan baik, kami berpikir ini satu contoh baik dalam konteks demokrasi,” ujarnya.
Alasan Gobay mengatakan aksi rujuk rasa ULMWP tersebut baik , karena tiga hari sebelum aksi pemberitahuan sudah disampaikan oleh yang ditugaskan dan surat pemberitahuan diterima langsung bagian Intelkam dan hingga aksi berakhir Intelkam (polisi) turut menghadiri.
“Saya melihat UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, itu tercermin pada aksi tadi, saya berharap ke depan aksi seperti tadi penting untuk dirawat sebagai penegakam hukum,” kata Gobay.
Gobay memberikan apresiasi kepada ULMWP karena dalam pernyataan sikap mereka, satu poin terkait mendukung perjuangan buruh, selain Hari Aneksasi kepada orang Papua. Gobay mengapresiasi karena banyak buruh di Papua haknya dilanggar, namun ketika ULMWP mengangkat suara terkait Hari Buruh, Gobay merasa hal itu sesuatu yang luar biasa.
Gobay berpesan agar ULMWP juga tidak hanya melihat buruh, melainkan juga isu-isu lain yang dialami masyarakat adat yang tanahnya dirampas, kemudian hak-hak mereka juga langgar. LBH Papua berharap hal itu juga disuarakan ULMWP.
Larangan aksi di lokasi lain
Ternyata aparat keamanan melarang aksi demonstrasi di beberapa titik. Larangan terjadi di Sentani, di depan jalan naik kampus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Expo hingga dari Gapura Universitas Cenderawasih dilarang menuju ke Abe Lingkaran.
Menurut Direktur LBH Papua Emanuel Gobay hal itu tidak sesuai UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Karena pemberitahuan sudah disampaikan kepada pihak keamanan (polisi), di sisi lain pihak Intelkam juga menghadiri,” katanya.
Gobay menilai larangan di beberapa tempat itu terjadi sebagai bentuk nyata dari kurang berkomunikasinya pihak keamanan. “Hal itu mencoreng nama baik institusi kepolisian,” katanya.
Karena para korlap atau massa aksi, tambah Gobay, sudah menyampaikan surat pemberitahuan sejak tiga hari sebelumnya dan diterima oleh Kasat Intelkam.
“Semestinya beberapa tempat itu bisa mencontoh seperti yang dilakukan di depan Gapura Uncen, namun titik aksi Gapura Uncen tidak memberikan izin ke Abe Lingkaran, ini menjadi cacatan tersendiri dari fakta yang terjadi,” ujarnya.
Gobay menambahkan, dari beberapa titik yang dibatasi melakukan demonstrasi telah mencoreng nama baik institusi kepolisian, karena pihak kepolisian tidak menjalankan UU No. 9/1998 dengan baik, hingga tentunya melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 Tentang Implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id