Jayapura, Jubi TV– Pemerintah pusat telah meluncurkan program kick off pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM berat di masa lalu termasuk kasus Wamena 2003 secara daring, Selasa (27/6/2023), di salah satu Hotel di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Peluncuran program tersebut sebagai kelanjutan upaya pemerintah pusat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, setelah menerima adanya rekomendasi dari Komnas HAM RI.
Setelah adanya penolakan dari keluarga korban pelanggaran HAM tepatnya kasus pembobolan gudang senjata Kodim 1702/Jayawijaya pada April 2003, Dewan Adat Papua pun menyampaikan penolakan terhadap proses penyelesaian secara nonyudisial tersebut.
Ketua Dewan Adat Papua versi musyawarah luar biasa, Dominikus Sorabut menyebutkan upaya penyelesaian nonyudisial terhadap kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus Wamena dan Wasior, dinilai hanya sebagai kamuflase semata tanpa menyelesaikan akar persoalan yang terjadi.
Menurutnya, mekanisme nonyudisial keinginan pemerintah pusat mendorong pendekatan Papua seperti biasa, bakar batu, duduk, dan makan bersama terus kasusnya dinyatakan habis lalu sampaikan permintaan maaf. Namun kenyataan yang terjadi, hal itu tanpa melihat kasus yang terjadi dimana dua kasus baik di Wamena dan Wasior ada hubungannya dengan kasus politik.
“Syarat nonyudisial ini kan secara parsial bagaimana menutupi akar persoalan. Jakarta sedang mengarahkan bahwa kasus yang terjadi itu atas nama pembangunan, lalu mengabaikan dengan kasus politik atau pelanggaran HAM yang terjadi,” katanya, saat menghubungi Jubi, Selasa (27/6/2023).
Ia mengatakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia beberapa kali telah merilis semua kasus pelanggaran HAM dengan memberikan rekomendasi dari presiden ke presiden, tetapi semua itu tidak pernah ditindaklanjuti.
“Bukan nonyudisial tetapi seharusnya yudisial, dimana harus dibawa dalam pengadilan HAM, tetapi nyatanya tidak pernah di-follow up. Lalu Jakarta seakan-akan ingin menjadi malaikat untuk secara sepihak mendorong menjadi nonyudisial,” katanya.
Untuk itu, bagi Dewan Adat Papua hal itu sama sekali tidak menyelesaikan akar persoalan, dimana di masa akhir pemerintahan saat ini seolah-olah ingin mencuci tangan dari berbagai kasus besar di Papua.
“Tidak bisa sepihak semacam itu, karena dua kasus yang ditangani yaitu Wasior dan Wamena ini kasus besar yang skalanya skala internasional. Sehingga tidak bisa secara sepihak untuk melihat soal itu,” katanya.
Bahkan ia menilai jika ingin menyelesaikan akar persoalan, LIPI telah memberikan rujukan mengenai empat akar persoalan Papua termasuk pelanggaran HAM di masa lalu. Dimana LIPI telah merumuskan dan salah satu poinnya distorsi sejak pelanggaran HAM, diskriminasi dan marginalisasi kemudian kesenjangan pembangunan.
“Dari dua kasus ini, tidak bisa selesaikan pendekatan pembangunan, tetapi pendekatannya adalah pendekatan politik,” katanya.
Dalam peluncuran program pemerintah pusat itu, Dominikus Sorabut mengaku turut diundang oleh Pemerintah Kabupaten Jayawijaya. Namun ia menolak hadir, karena tidak ingin dianggap sebagai pemadam kebakaran lalu membawa masalah ke masyarakat adat, dan diperhadapkan pada konflik dengan masyarakat adat.
Bicara soal pelanggaran HAM dengan kasus politik masa lalu, lanjutnya, tidak bisa mereduksi persoalan, dimana orang Papua sudah belajar dan kasus-kasus ini sudah ada di berbagai macam media massa, media sosial, bahkan pendokumentasiannya sudah ada juga di PBB.
“Atas nama masyarakat adat Papua, saya menolak apa yang didorong pemerintah, karena itu tidak akan menyelesaikan akar persoalan di Papua,” ucapnya.
Masyarakat Papua akan mendorong untuk menyelesaikan pelanggaran HAM itu melalui mekanisme hukum internasional, supaya orang Papua dihargai martabatnya, hak-hak, serta otoritasnya dan sebagai orang Papua.
Sementara dalam kick off pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat itu, dilakukan secara daring bersama Presiden Republik Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD di Pidi, Provinsi Aceh.
Dalam sambutannya, Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan rekomendasi yang dikeluarkan ini merupakan perlindungan bagi hak-hak korban, agar tidak kembali terjadi pelanggaran HAM di masa akan datang.
Untuk itu Presiden mengambil kebijakan untuk melakukan langkah-langkah bagi korban pelanggaran HAM masa lalu, melalui Kepres Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan pembentukan tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Ada kepres tentang PPHAM ini sama sekali tidak meniadakan upaya penyelesaian yudisial melainkan semata-mata menyelesaikan [atau] memenuhi hak para korban,” kata Mahfud MD.
Sekda Jayawijaya, Thonny M. Mayor mewakili pemerintah daerah menjelaskan jika memang sebelumnya tim PPHAM juga telah beberapa kali berkunjung ke Wamena, untuk bertemu keluarga korban pelanggaran HAM di Wamena.
Namun karena komunikasi yang tidak intens, dimana secara budaya harus datangi dari rumah ke rumah, sehingga tidak ada kecurigaan dan harus secara terbuka, sehingga keluarga korban juga dapat menerima program yang dilakukan.
“Program ini juga atas desakan dan rekomendasi pihak Komnas HAM, sehingga ditindaklanjuti oleh pemerintah dan pemerintah dalam hal ini presiden sudah menyatakan bahwa ada kesalahan negara sehingga yang dulu [yang melakukan] pelanggaran HAM diajukan ke pengadilan tetapi bisa bebas, tetapi para korban ini pasti ada luka,” katanya.
Untuk itulah program-program pendekatan dari pemerintah untuk bagaimana dapat memberi program yang bermanfaat seperti menerima kartu sehat, pendidikan atau beasiswa atau permintaan lainnya disampaikan seperti saat launching di Pidi Aceh.
“Pemerintah daerah juga undang koordinator keluarga korban di Wamena, sehingga mendengar langsung bahwa selama ini pemerintah membuka diri untuk kita komunikasi, sehingga program-program pemerintah pusat menjawab rekomendasi Komnas HAM ini dan pemerintah daerah hanya memfasilitasi. Tetapi keluarga korban di sini karena ada miskomunikasi, sehingga apabila ingin menerima manfaat dari program pemerintah pusat, dikomunikasikan sehingga dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah,” katanya.
Margaretha Wetipo dari Yayasan Humi Inane sebagai perwakilan perempuan yang hadir dalam peluncuran program tersebut mengakui, jika dilihat dari perspektif perempuan ia melihat bahwa hal ini sangat baik dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pasalnya, sebagai perempuan mereka tidak bisa menunggu begitu lama karena itu akan ada dampaknya, dimana ketika perempuan mengalami korban kekerasan pelanggaran HAM, maka dia akan terus mengalami rasa trauma dan akan berdampak pada keturunannya kelak.
“Sehingga bagi saya, perempuan yang juga mengalami pelanggaran HAM mendukung program pemerintah pusat, karena kita tidak bisa menyatakan tidak setuju, harus dengar juga dari korban. Karena saya lihat memang di Wamena khususnya ada pro dan kontra, tetapi kita kembali lihat dulu apakah korban langsung itu maunya seperti apa, dan kita selama ini menuntut negara harus bertanggung jawab, dengan cara inilah saya lihat negara bertanggung jawab terhadap keluarga korban,” kata Wetipo. (*)
Artikel ini sudah diterbitkan di jubi.id dengan judul: Upaya penyelesaian pelanggaran HAM nonyudisial dinilai hanya kamuflase