Jayapura, Jubi – Pemerintah Pusat di Jakarta, baik eksekutif, maupun legislatif diminta untuk menghentikan pembahasan pemekaran daerah otonomi baru (DOB), tetapi segera membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua, sesuai perintah Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan, pada prinsipnya pemberlakuan kebijakan khusus didasarkan pada nilai-nilai dasar, yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, HAM, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.
“Selain itu masyarakat Papua punya kesadaran baru untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar, serta tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan HAM penduduk asli Papua, sebagaimana disebutkan pada bagian dasar menimbang huruf I dan huruf j, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001,” kata Gobay melalui siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Sabtu (30/4/2022).
Dia melanjutkan, sebagai tindak lanjut dari dasar menimbang pembentukan UU Otsus tersebut dalam ketentuan turunannya ditegaskan kepada pemerintah, pemerintah provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Papua. Untuk melaksanakannya Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Provinsi Papua, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua.
“Dalam rangka mewujudkan perintah ketentuan di atas sepanjang UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua diberlakukan pada tahun 2001 – 2021 pemerintah baru mewujudkan pembentukan perwakilan Komnas HAM, sedangkan pengadilan HAM dan KKR sampai saat ini belum dibangun di Provinsi Papua dan Papua Barat,” kata Gobay.
Melalui pembentukan Komnas HAM di Provinsi Papua selama ini merekomendasikan fakta pelanggaran HAM berat Wamena Berdarah (2003), Wasior Berdarah (2001), dan Paniai Berdarah (2014), meski proses hukum pada pengadilan HAM di Papua belum dapat dirasakan oleh para korban dan masyarakat Papua.
Menurut Gobay, tiap tahun masyarakat Papua merayakan kemerdekaan pada 1 Desember. Mereka rentan dikriminalisasi dengan menggunakan pasal makar, karena Papua belum ada KKR sebagaimana rekomendasi UU Otsus.
Meskipun tahun 2021 pemerintah mengubah UU Otsus Papua ke dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Papua, harus ada ada komitmen pemenuhan HAM bagi orang Papua.
Dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua (OAP), baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum, sebagaimana disebutkan pada bagian dasar menimbang huruf (a), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua.
“Atas dasar itu, di tahun pertama pemberlakuan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua, Pemerintah seharusnya lebih fokus melaksanakan pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Papua, sebab yang menjadi persoalan pokok di Tanah Papua adalah pelanggaran HAM dan persoalan status politik Papua (laporan LIPI), sesuai dengan perintah dasar menimbang huruf (a) dan perintah Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua,” katanya.
Dengan melihat fakta pembahasan kebijakan RUU DOB Papua—yang adalah ketentuan baru dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang sedang digencarkan oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat—secara langsung mempertanyakan komitmen pemerintah pusat yang berfungsi sebagai pengawas dan pelaksana UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua, dalam mengamalkan prinsip dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar OAP, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum, sebagaimana disebutkan pada bagian dasar menimbang huruf (a), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, serta pembentukan pengadilan HAM dan pembentukan KKR di Papua sebagaimana diatur pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua.
Dia mengatakan, pemerintah pusat yang membahas kebijakan RUU DOB Papua secara sepihak, dengan menghilangkan frasa “aspirasi masyarakat Papua” dalam Pasal 76 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua, telah membangkitkan gelombang demonstrasi penolakan DOB di Tanah Papua.
Menurutnya, fakta-fakta di atas menunjukan bahwa kebijakan pemekaran dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua antidemokrasi, dan melaluinya telah melanggar hak hidup warga negara yang dijamin pada Pasal 9 ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Maka dari itu, pihaknya meminta Presiden Jokowi menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Provinsi Papua sesuai perintah Pasal 45 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001;
Menkopolhukam dan DPR RI juga diminta segera mengabaikan kebijakan RUU DOB Papua dan segera bentuk pengadilan HAM dan KKR, sesuai perintah Pasal 45 ayat (2), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001;
Kapolri juga diminta segera memerintahkan Kapolda Papua untuk menangkap dan memproses hukum pelaku pembunuhan di Yahukimo dan Nabire.
Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi mengatakan, apatisme Indonesia terhadap persoalan HAM ekosob, lingkungan, pendidikan dan kesehatan di Papua, membuat masyarakat internasional makin curiga terhadap pemerintah Indonesia atas keterpurukan situasi HAM di Tanah Papua.
Syufi melanjutkan, badan PBB yang diwakili Komisi HAM meminta pemerintah Indonesia untuk menegakkan HAM bagi rakyat Papua. Namun hal itu tidak pernah direspons baik oleh pemerintah Indonesia.
Dia juga meminta Pemerintah Indonesia menyeriusi desakan Dewan HAM PBB melalui Special Procedures Mandate Holders (SPMH).
Syufi mengatakan, Indonesia juga harus belajar dari sejarah Timor Timur (Timor Leste). Menurutnya, Timor Leste merdeka karena Jakarta banyak menyederhanakan masalah HAM di dalam negeri. (*)