Manokwari, Jubi TV– Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat Daya menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada terdakwa kasus penyerangan Posramil Kisor, Maybrat, Melkyas Ky, Jumat (3/2/2023).
Dalam sidang lanjutan perkara nomor : 244/ Pid.B/2022/PN Son dengan agenda putusan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Ketua Hatijah Averien Paduwi SH dan dua hakim anggota yakni Lutfi Tomu SH dan Rivai S Tukoboya SH
“Majelis Hakim berpendapat bahwa Melkyas Ky terbukti bersalah terlibat dalam pembunuhan empat anggota TNI Pos Koramil Kisor dimaksud dengan melanggar Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Hakim pun memutuskan menvonis Melyas Ky dengan hukuman penjara selama 20 tahun,” ucap hakim ketua.
Vonis majelis hakim terhadap Melkyas lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut Mekyas hukuman seumur hidup yang disampaikan dalam sidang sebelumnya.
“JPU akan mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim,” ucap Jaksa Eko Nuryanto SH MH.
Putusan 20 tahun penjara oleh Majelis Hakim terhadap Melkyas Ky ini, membuat Tim Penasehat Hukum terdakwa sangat kecewa, karena bagi kuasa hukum putusan 20 tahun penjara terhadap Melkyas Ky merupakan keputusan yang sangat tidak adil dan merupakan keputusan yang dibuat tidak berdasarkan prinsip keadilan hukum dan tidak mengandung rasa keadilan masyarakat.
“Kami melihat dalam pengambilan keputusan perkara ini Majelis Hakim tidak jeli, tidak kritis, dan tidak jujur. Ini terlihat dari pendapat para Majelis Hakim yang menyimpulkan bahwa fakta-fakta persidangan membuktikan bahwa Melkyas Ky bersalah. Pendapat para hakim ini merupakan kesimpulan yang sangat bertolak belakang dengan fakta-fakta persidangan sebenarnya yang terungkap dari keterangan para saksi, baik enam orang saksi anggota TNI Pos Koramil Kisor yang dihadirkan maupun empat orang saksi mahkota,” kata Ketua Tim Penasehat Hukum, Yohanes Mambrasar SH.
Menurutnya, bahwa fakta persidangan sebenarnya adalah tidak ada satu pun bukti-bukti, baik keterangan saksi, keterangan ahli, surat-surat, dan petunjuk yang membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa Melkyas Ky merupakan pelaku.
Dia menyebut dalam sidang pembuktian perkara ini, lima dari enam orang anggota TNI yakni Muhamad Iqbal Abdullah, Catur Prasetyo Utomo, Roland Jhonatan Hindom, Farhandani Abyanto, Edmon Freyuk Hukubun, dan Juliano Askuriadi dalam kesaksianya tidak secara jelas mengatakan melihat secara langsung Melkys Ky.
“Saksi Muhamad Iqbal Abdullah dan Catur Prasetyo Utomo hanya mengatakan ciri-ciri pelaku namum tidak bisa memastikan bahwa pelakunya merupakan adalah Melkyas Ky. Sedangkan saksi Roland Jhonatan Hindom, Edmon Freyuk Hukubun, dan Juliano Askuriadi mengaku tidak melihat Melkyas Ky karena saat pembacokan terjadi mereka sedang tertidur,” ucap Mambrasar
Lebih lanjut dia mengatakan hanya saksi Imanuel Wenatubun yang mengatakan melihat langsung Melkyas Ky melakukan pembacokan seorang korban dalam pos koramil dimaksud. Namun pernyataannya ini bertolak belakang dengan keterangannya pada dua sidang sebelumnya, sidang perkara Maikel Yaam Cs dan Maklon Same Cs, yang juga mengadili peristiwa yang sama.
“Keterangan Saksi Imanuel Wenatubun yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa keterangan pada sidang ini tidak bisa digunakan sebagai bukti yang kuat,” tegas Mambrasar.
Keterangan saksi mahkota yang dihadirkan oleh JPU semuanya mencabut keteranganya pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan mengatakan bahwa keterangannya yang diberikan di kepolisian tidak benar karena keterangan tersebut dibuat dibawah paksaan dan ancaman oleh penyidik.
“Para saksi mahkota pun mengatakan bahwa mereka sempat dipukul dan disetrum oleh polisi. Sedangkan saksi ahli bukan merupakan saksi fakta,” ucapnya.
Yohanes menyebutkan juga bahkan tidak ada satu pun bukti-bukti petunjuk berupa benda-benda yang digunakan dalam peristiwa ini yang dihadirkan oleh JPU untuk diperiksa, sehingga dapat membuktikan kebenaran dakwaan JPU terhadap Melkyas Ky.
“Kami menilai Majelis Hakim tidak berani dalam memutuskan perkara ini secara adil. Majelis masih takut dan berpihak kepada aparat,” ujarnya.
Dengan keputusan hakim yang tidak berpihak kepada keadilan hukum dan rasa keadilan rakyat Papua ini, Mambrasar selaku kuasa hukum menyatakan tidak menjadikan pengadilan sebagai institusi hukum sebagai benteng penegakan keadilan, namun sebaliknya institusi hukum ini juga diseret dalam politik kekuasan negara di Papua dengan menegakkan hukum secara diskriminatif, yang turut berkontribusi melegalkan praktek-praktek kekerasan dan memperpanjang konflik di Papua. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id dengan judul: Vonis 20 tahun untuk terdakwa penyerangan Posramil Kisor