Jayapura, Jubi TV– Setiap 5 Februari selalu dirayakan umat Kristen di tanah Papua khususnya di Pulau Mansinam, Mnu Kwar (Manokwari, Kampung Tua/Lama dalam bahasa Biak Doreri). Pada 5 Februari 1855, dua penginjil dari Jerman, Ottow dan Geissler tiba di Teluk Doreri dan tinggal di Pulau Mansinam.
Bagi Ottow dan Geissler, Rum Sram adalah simbol berhala yang harus dihilangkan karena mengandung dosa magic dan mistik. Ottow, pada Mei 1859 menyebut Rum Sram sebagai rumah keagamaan orang Byak di Teluk Doreri.
“Sekalipun kami menyerang semua ketololan atau dosa mereka, namun kami secara khusus berusaha untuk tidak mendorong orang orang Mansinam untuk tidak membangun kembali, Rum Sram mereka, karena pengaruh jahat seperti itu sungguh mengerikan. Kata kata “ketololan dan pengaruh jahat itulah bukti yang jelas,”demikian catatan Ottow yang ditulis kembali dalam buku berjudul Ajaib Di Mata Kita oleh penulis Dr FC Kamma Sekretaris Pertama Synode Gereja Kristen Injili (GKI) di tanah Papua.
Orang Byak dan rumah pemuda (Rum Sram) erat kaitannya dalam kebudayaan mereka, ada rumah keluarga (Rum Som) dan rumah bujang (Rum Sram). Rum Som bagi orang Byak merupakan rumah keluarga suami dan istri serta anak anak mereka. Bentuk rumah keluarga atapnya mirip punggung penyu, dalam bentuk rumah panggung di tepi laut.
Jika anak anak sudah memasuki usia akil baliq atau remaja, wajib masuk ke dalam rumah bujang atau Rum Sram sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan para pemuda. Ibarat rumah Karawari bagi masyarakat di wilayah Budaya Tabi di Port Numbay.
Bahkan para pemuda setelah mengikuti pendidikan di dalam Rum Sram harus mengikuti upacara wajib, Wor K’Bor. Upacara ini akan melahirkan pada Mambri dalam budaya suku Byak termasuk para pengukir dan juga para Sinan Kamasan, ahli pembuat parang dalam menempa besi alias ilmu metalurgi tradisional.
Wor K’bor merupakan upacara dalam tradisi upacara akil balik Suku Biak Papua. Menurut antropolog lulusan Universitas Leiden Belanda, J.R. Mansoben dalam Wor K’bor, para pemuda dalam rentang usia antara 15-17 tahun setelah tinggal selama enam bulan di dalam Rum Sram atau rumah bujang Suku Biak akan menjalani upacara memasuki dunia orang dewasa (Wor K’bor). Upacara ini ditandai dengan mengiris atau memotong bagian atas dari ujung penis mereka dengan memakai sebilah bambu tipis.
Wor K’bor atau tradisi sunat menandakan akil balik anak lelaki, menjadi tradisi sudah berlangsung sejak lama. “Ritus ini pernah berlangsung beberapa tahun silam sekitar 1940-an di Pulau Biak dan Numfor,” kata Dr JR Mansoben,MA kepada Jubi belum lama ini.
Rum Sram sangat haram bagi kaum perempuan, karena dibangun khusus untuk anak anak muda sampai Wor k’Bor baru mereka keluar dari rumah bujang tersebut. Rumah bujang setinggi 6-8 meter dan memanjang di atas laut atau rumah berlabuh ( rumah di atas air) terletak di depan rumah keluarga.
Rum Sram juga berfungsi sebagai pengamanan bagi kampung, jika ada serangan para pemuda dengan sigap menyerang.
Meski fungsinya sebagai rumah pendidikan bagi generasi muda suku Byak kala itu, tetapi waktu itu dianggap sebagai pusat budaya, yang oleh para penginjil dianggap ajaran sesat sehingga harus dilarang dan ditentang.
Kolonel Polisi Amandus Mansnembra, saat menjadi Komandan Resort Kepolisian (Danres) Manokwari berinisiatif kembali membangun monumen Rum Sram di atas makam para penginjil di Kwawi Manokwari, beberapa waktu lalu.
Meski ada yang menentang pembangunan Rum Sram itu, namun mendiang Amandus Mansnembra meyakini bahwa kebudayaan suatu suku bangsa termasuk suku Byak juga merupakan anugerah dan ciptaan yang diberikan Tuhan kepada umat manusia. Oleh karena itu tak heran kalau Monumen Para Penginjil di Kwawi Manokwari dibangun dalam bentuk Rum Sram, Rumah Bujang Suku Byak.(*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id