Jubi TV – Pekerja Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah Meepago, Yones Douw menyatakan keluarga korban peristiwa Paniai berdarah, menyurati Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI). Katanya, surat itu ditandatangani keluarga empat siswa SMA yang tewas dan saksi korban dalam peristiwa 8 Desember 2014 silam itu.
“Surat itu memuat empat poin pernyataan sikap keluarga korban, di antaranya menyatakan menolak apabila jenazah empat siswa akan diautopsi, karena bertentangan dengan adat istiadat mereka. Selain itu bukti proyektil, selongsong peluru dan video penembakan di lapangan telah serahkan kepada Mabes Polri,” kata Yones Douw dalam pesan tertulis yang diterima Jubi, Kamis (16/12/2021).
Menurutnya, keluarga korban juga meminta Pemerintah Indonesia, segera membuka Pengadilan HAM di Jayapura, bukan Makasar. Setelah ada pengadilan HAM di Jayapura, keluarga korban akan memberikan data kepada tim penyidik yang dibentuk Kejaksaan Agung belum lama ini.
“Keluarga korban juga memohon dengan hormat kepada Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung RI dan Menkopolhukam RI, agar tim Kejaksaan Agung melibatkan perwakilan dari Dewan HAM PBB, sebab kasus Paniai adalah kasus pelanggaran HAM berat ” ujarnya.
Sebelum tim Kejagung menyelidiki kasus Paniai, keluarga korban meminta terlebih dulu mengumumkan hasil penyelidikan penembakan yang juga menewaskan Dominokus Auwe dan Alwisus Waine, 13-14 April 2011 di Moanemani, Paniai.
“Sebab, telah dilakukan penyelidikan dan jenazah kedua korban sudah diautopsi. Untuk itu terduga pelaku mesti segera diadili. Begitu pula penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya,” ucapnya.
Yones Douw mengatakan selama tujuh tahun keluarga empat siswa dan seorang pemuda yang tewas dalam tragedi berdarah itu, terus berupaya menuntut pemerintah mengungkap dan mengadili terduga pelaku. Upaya itu dilakukan bersama pimpinan gereja, aktivis HAM, dewan adat dan almarhum Hengky Kayame yang menjabat Bupati Paniai saat kejadian.
“Keluarga korban mengapresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada komnas HAM RI yang telah menetapkan kasus penembakan empat siswa di Paniai sebagai pelanggaran HAM berat,” kata Yones Douw.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau Komnas HAM RI perwakilan Papua menyatakan, tim penyidik yang dibentuk Kejagung RI mestinya tidak akan sulit merampungkan kasus Paniai. Kepala Kantor Komnas HAM RI perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan kasus ini dapat lebih cepat untuk disidangkan, sebab rentang waktu kejadian hingga kini belum terlalu lama.
“Dari segi waktu, masih cukup pendek. Dari 2014 ke 2021, baru berapa tahun dan bukti buktinya banyak. Ada makam, ada orang meninggal dunia, ada bukti visum, ada selongsong peluru ada bukti uji balistik dan lainnya,” kata Ramandey kepada Jubi pekan lalu.
Selain itu menurutnya, oknum oknum aparat keamanan yang diduga terlibat dalam peristiwa itu masih ada. Di antara mereka masih ada yang aktif bertugas, dan ada yang sudah pensiun.
“Ada juga saksi korban yang masih hidup, sehingga ini mudah untuk diselesaikan, dan mestinya bisa diselesaikan secara profesional dan akuntabel,” ujarnya.
Katanya, kasus Paniai bisa menjadi salah satu kasus yang diselesaikan secara cepat untuk menghormati HAM. Penyelesaian kasus Paniai lanjut Ramandey, juga akan menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa Pemerintah Indonesia sangat menghormati HAM sebagai negara yang menjadi bagian dari mekanisme HAM internasional. (*)