Jayapura, Jubi TV– Daerah otonomi baru atau DOB hasil pemekaran Provinsi Papua dianggap belum menunjukkan dampak positif hingga kini. Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, Hak asasi manusia, dan keamanan, Laurenzus Kadepa mengatakan pembentukan tiga provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua sudah hampir setahun. Akan tetapi hingga kini belum ada perkembangan positif di daerah otonomi baru itu.
Menurutnya, justru sebaliknya berbagai polemik terjadi di provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua.
“DOB ini sudah hampir berumur 1 tahun, akan tapi dampak positifnya seperti apa? saya bingung. Menurut saya dampak positifnya belum ada. Justru banyak polemik muncul setelah DOB,” kata Laurenzus Kadepa saat menghubungi Jubi, Jumat (10/11/2023) malam.
Katanya, kini berbagai pihak menyoroti kebijakan pemerintah yang melantik Penjabat Gubernur (Pj) Papua Selatan dan Papua Tengah merangkap jabatan sebagai Sekretaris Daerah atau Sekda di wilayah itu.
“Begitu DOB ada, penjabat-penjabat gubernur itu [seakan] hanya lambang atau simbol yang gampang diatur Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jadi menurut saya, wajah sebuah provinsi tidak terlihat, karena penjabat gubernur diatur-atur oleh Kemendagri tanpa ada pengawasan DPR provinsi di DOB itu,” ucapnya.
Kadepa mengatakan, selama ini APBD mini untuk provinsi baru yang nilainya Rp 1 triliun lebih pun tidak diketahui manfaatnya untuk apa saja. Apalagi tidak ada lembaga dewan, yang mengawasi penggunaan dana itu selama setahun ini.
Ia mengatakan, yang tahu persis penggunaan anggaran itu adalah Kemendagri atau pemerintah pusat dan penjabat gubernur. Sedangkan pihak yang lain, terutama DPR Papua tidak tahu pasti.
Apalagi setelah pemekaran, DPR Papua tidak lagi memiliki kewenangan melakukan pengawasan sepenuhnya ke provinsi baru, meski sebagian besar anggota DPR Papua berasal dari daerah pemilihan kabupaten yang kini masuk wilayah Provinsi baru, hasil pemekaran Provinsi Papua.
“Jadi penggunaan anggaran di DOB ini bisa dikatakan dilaksanakan tanpa DPR tingkat provinsi. Kami tidak tahu kemana dana ini. Kemudian penempatan sekda oleh pemerintah pusat atau Kemendagri, dengan alasan mendukung untuk melengkapi administrasi dan sampai pada persiapan Pemilu. Ini kan merangkap jabatan, karena mereka masih menjabat sebagai Pj gubernur,” kata Kadepa.
Ia mengatakan, apabila benar-benar ingin melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik, mestinya yang ditempatkan sebagai sekda mesti benar-benar orang profesional.
Kadepa mempertanyakan mengapa jabatan Pj Gubernur di Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah yang diperpanjang, diberi jabatan baru sebagai Sekda lagi. Sebab kataya, mestinya dievaluasi dulu kinerja mereka selama satu tahun.
“Namun justru merangkap jabatan. Padahal banyak ASN orang asli yang mumpuni bahkan lebih di atas atau lebih mampu dari yang ada. Gampang sekali seseorang dipindahkan posisi jabatannya lalu ditarik. Semacam ada sesuatu yang dicari begitu. Kita butuh konsisten dan konsentrasi membangun negeri ini. Bukan karena unsur politik dan lainnya,” ujarnya.
Laurenzus Kadepa juga menyoroti rekrutmen anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP di Provinsi Papua dan Papua Tengah, yang hingga kini masih menyisahkan masalah dan dianggap sarat kepentingan politik.
“Misalnya di Papua Tengah, kursi MRP untuk Pokja agama bermasalah. Hingga pelantikan anggota MRP Papua Tengah dari Pokja Agama masih ditunda. Kenapa pelantikan tergesa-gesa, padahal masalahnya belum selesai. Menurut saya itu menjadi salah satu indikator untuk mengevaluasi kinerja Pj Gubernur,” ujarnya.
Politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu pun mempertanyakan, mengapa Pj Gubernur di daerah hasil pemekaran Provinsi Papua diperpanjang masa jabatannya dan diberi jabatan baru, padahal proses rekrutmen MRP sebagai lembaga kultur orang asli Papua bermasalah.
Ia berpendapat, mestinya kinerja Pj Gubernur itu dievaluasi karena dianggap gagal sebagai pembina politik di provinsi. Selain itu, masih banyak masalah lain yang ada setelah pemekaran Papua atau pembentukan DOB seperti di Kabupaten Nabire dan Mimika, Papua Tengah.
Di sana, angka pengangguran disebut masih terbilang tinggi padahal di Mimika ini ada PT Freeport.
“Sudah tahu pengangguran tinggi, lalu pada 2017 silam, moker 8.700 sampai saat ini pemerintah diam. Justru itu menambah masalah, menambah pengangguran. Makanya saya bilang DOB ini belum memperlihatkan dampak positif. Semoga ke depannya, cara pandang dan cara kerja diubah agar DOB ini benar-benar sesuai tujuannya untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat,” kata Laurenzus Kadepa. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id dengan judul DOB hasil pemekaran Provinsi Papua dianggap belum menunjukkan dampak positif