Jubi TV– Dosen Program Studi Ilmu Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih, Yakobus Murafer menyatakan para pejabat yang akan ditunjuk menjadi caretaker atau penjabat kepala daerah harus mengusai masalah di dearah penugasannya. Hal itu dinyatakan Murafer saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Selasa (1/3/2022) kemarin
Masa jabatan sejumlah kepala daerah di Papua akan segera berakhir, namun Pemilihan Kepala Daerah baru akan dilakukan secara serentak pada 27 November 2024. Selama menunggu kepala daerah terpilih yang baru, pemerintah akan menunjuk carataker atau penjabat kepala daerah untuk menjalankan tugas harian kepala daerah.
Murafer menyatakan penunjukan caretaker itu diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Penunjukan carataker itu untuk mencegah kekosongan jabatan kepala daerah.
“Dalam aturan itu jelas menerangkan bahwa yang mengangkat caretaker gubernur itu Menteri Dalam Negeri. Sementara untuk carateker bupati [atau] wali kota itu ditunjuk oleh Gubernur. Jadi tidak bisa diusulkan oleh masyarakat atau siapapun,” katanya.
Murafer menyatakan di Papua terdapat 11 kepala daerah yang akan segera mengakhiri masa jabatannya sebelum 2024. “Gubernur Papua akan mengakhiri jabatan tahun 2023. Ada 11 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya. Artinya, di beberapa daerah itu akan ada kekosongan jabatan gubernur maupun bupati,” katanya.
Murafer berharap setiap pejabat yang ditunjuk menjadi caretaker kepala daerah harus mampu menyelenggarakan pemerintahan di daerah penugasannya. Selain itu, caretaker juga harus memahami aturan serta administrasi pemerintahan dengan baik, karena caretaker nantinya akan memiliki kewenangan yang terbatas.
Murafer mencontohkan caretaker tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis, misalnya kebijakan terkait pemekaran provinsi atau pemekaran kabupaten/kota. Padahal, isu pemekaran wilayah sedang menghangat di Tanah Papua.
“Penunjukan penjabat kepala daerah harus memerhatikan kompetensi mereka yang berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara atau Aparatur Sipil Negara. [Sebelumnya], beberapa daerah itu pernah ditunjuk penjabat non-ASN. Dalam penunjukan nanti, pemerintah harus menunjuk orang yang benar-benar ASN, dalam rangka peningkatan kapasitas birokrasi,” kata Murafer.
Ia mengatakan penunjukan caretaker atau penjabat kepala daerah juga harus mencegah praktik politik praktis. Hal itu penting untuk memastikan pengelolaan pemerintahan akan terus berjalan dengan baik. “Agar tidak ada masalah karena jeda waktu [sampai pelaksanaan Pilkada Serentak] sangat lama,” katanya.
Di pihak lain, Koordinator Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se- Indonesia, (AMPTPI) Wilayah Indonesia Timur, Hengky Mote justru menyoroti kekosongan jabatan Wakil Gubernur Papua. Jabatan Wakil Gubernur Papua itu kosong sejak pejabat sebelumnya, Klemen Tinal, meninggal dunia pada 21 Mei 2021.
Mote berharap DPR Papua segera menyepakati orang yang akan dicalonkan menjadi Wakil Gubernur Papua. “Kami meminta [DPR Papua] segera menetapkan dua nama yang telah disepakati Gubernur Papua untuk segera dipilih,” katanya.
Mote menyatakan jabatan Wakil Gubernur Papua harus segera diisi, karena akan ada banyak caretaker yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan bupati dan wali kota di Papua. “Kekosongan [jabatan Wakil Gubernur Papua] itu bisa berpengaruh pada penempatan [penjabat] bupati/wali kota yang semakin dekat. DPR Papua jangan tinggal diam dan bikin rakyat bingung,” kata Mote. (*)