Jayapura, Jubi TV– Perusahaan di Papua sering menggunakan tangan polisi untuk melakukan kriminalisasi buruh yang berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK. Ini sesuai dengan temuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dalam mengadvokasi para buruh di Papua dalam dua tahun terakhir.
Hal itu disampaikan Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, saat ditemui Jubi di kantor LBH Papua, di Jalan Gerilyawan, Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Rabu (20/12/2023) sore.
“Ini menjadi fenomena tersendiri dalam persoalan di sektor buruh di Papua,” katanya.
Lebih lanjut Gobay mengatakan dalam dua tahun terakhir, LBH Papua menemukan 150 buruh PT. Freeport Indonesia yang di-PHK karena melakukan protes terhadap kebijakan terkait pandemi Covid-19 di wilayah PT. Freeport, yang kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian karena mereka dituduh melakukan pengrusakan. Meski demikian polisi tidak menemukan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh 150 buruh tersebut sehingga dikembalikan.
Sementara itu, manajemen perusahaan menggunakan alasan itu sebagai dasar untuk menggunakan aturan perusahaan untuk mem-PHK 150 buruh yang melakukan mogok kerja sebagai bentuk protes atas kebijakan perusahaan di masa pandemi Covid-19 pada 2022 lalu.
Selain itu, pada 2023, sembilan buruh dari PT. Tandan Sawita Papua, salah satu perusahaan sawit di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, anak perusahaan dari Rajawali Group, dilaporkan kepada Polres Kabupaten Keerom dengan tuduhan melakukan pengrusakan kantor PT. Tandan Sawita Papua pada saat melakukan protes kepada perusahaan lantaran ada salah satu buruh yang meninggal dunia karena dipatok ular saat bekerja di kebun sawit.
Akhirnya polisi melakukan mediasi untuk mempertemukan pihak perusahaan dan para buruh yang selanjutnya dalam kesepakatannya perusahaan meminta para buruh untuk menandatangani surat PHK dan akan dicabut laporannya.
“Anehnya, PHK itu bukan hanya sembilan orang itu, tapi ada tiga orang yang sudah beristri, jadi dorang [perusahaan] minta, dorang punya istri-istri juga harus di-PHK dengan istilah PHK paket,” katanya.
Gobay juga mengatakan kasus buruh juga terjadi pada perusahaan PT. Rimba Matoa Lestari yang sebenarnya diperintahkan oleh atasan mereka untuk melakukan pemalsuan data dengan tujuan penggelapan uang. Akan tetapi perusahaan tidak melaporkan atasan yang memerintahkan pemalsuan data, namun para buruh yang melakukan perintah itu yang dilaporkan ke pihak kepolisian di Polres Kabupaten Jayapura.
Gobay mengatakan dalam kasus itu sampai saat ini belum diberikan sanksi PHK.
“Tapi dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan itu bagi buruh yang melakukan tindak pidana dan sudah ada hukuman di atas lima tahun itu akan di-PHK. Jadi, ini bagian dari cara perusahaan untuk mem-PHK-kan tetapi terlebih dahulu mempidanakan mereka,” katanya.
Gobay mengatakan ada salah satu karyawan di perusahaan HP Oppo di Jayapura yang dituduh melakukan penggelapan uang perusahaan yang akhirnya diminta untuk mengundurkan diri.
Selain itu, dilakukan juga oleh PT. Pos Indonesia terhadap salah satu buruhnya.
“Ini menunjukkan adanya modus baru mem-PHK buruh dengan cara mempidanakan buruh tersebut terlebih dahulu,” katanya.
Sepanjang tahun 2023, LBH Papua telah menangani 19 kasus buruh di Tanah Papua. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id