Jubi TV – Tungku kayu bakar dan kompor minyak tanah melengkapi dapur keluarga Marthen Abrauw. Lelaki 65 tahun tersebut adalah seorang “mananwir” atau kepala suku yang sekaligus pemilik tanah ulayat Marga Abrauw-Rumander.
Marga Abrauw-Rumander dikenal juga sebagai masyarakat adat Warbon yang tinggal di Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak, Provinsi Papua. Mereka memiliki Hutan Adat Warbon yang sudah lebih 40 tahun berhadapan dengan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) yang mengklaim sebagian lahan hutan adat tersebut sebagai lahannya.
Sebagai kepala suku, Marthen Abrauw sehari-hari dipanggil “Mansar” dalam bahasa Biak, yang artinya “paitua” atau “bapak”.
Istrinya, Beksina Rumbrapuk, 54 tahun, rajin berkebun, terutama keladi. Ia mengerjakan semuanya, mulai dari menanam hingga memanen hasilnya. Jika ia panen, “aram” yang dipikulnya akan penuh keladi. “Aram” dalam bahasa Biak adalah noken khusus untuk membawa keladi.
Hampir setiap hari, ibu enak anak itu juga membawa kayu bakar dengan “aram”-nya untuk bahan bakar tungku yang terletak di dapur di samping rumahnya.
Pada Kamis (4/3/2022) Mama Beksina Abrauw sedang merebus air panas dengan kayu bakar. Sesekali ia menambah kayu bakar yang tersimpan rapi di bawah tungku.
“Ada dua jenis kayu bakar yang kami selalu gunakan, karena masih ada di dalam hutan dan di kebun juga masih ada,” katanya kepada JUBI.
Salah satu kayu itu dalam bahasa Biak disebut “Aibram” yang bahasa Latinnya Linociera macrophylla. Kayunya ringan dan nyala apinya sangat bagus.
“Kayu Aibram ini sebagian besar orang di kampung mencari dan mengumpulkannya,” katanya. “Kayu Aibram juga sangat bagus untuk memasak dengan cara bakar batu, karena nyalanya sangat bagus.”
“Barapen” adalah kebiasaan orang Biak memasak dengan cara membakar batu dan menaruh bahan makanan di atas dan menutupinya dengan daun-daunan. “Mirip memasak seperti oven zaman sekarang,” katanya.
Selain kayu Aibram, ada kayu besi yang disebut orang Biak dengan “Kabui” atau “Aibui” yang bahasa Latin-nya Merbau intsia bijuga caesalpinaceae. Ini sebenarnya kayu komersial yang banyak dicari orang, bahkan sampai diekspor ke negeri Tiongkok.
“Kayu besi juga bagus untuk memasak dengan cara bakar batu,” katanya.
Aktivitas sehari-hari mencari kayu bakar di hutan seperti yang dilakukan Mama Beksina Rumbrapuk adalah potret kehidupan perempuan di Kampung Saukobye dan Kampung Warbon.
“Karena murah dan tinggal ambil di kebun saja,” kata Mama Abrauw, perempuan lainnya.
Ia juga memiliki kompor minyak tanah di rumahnya. Tapi konsekuensinya harus mengeluarkan uang Rp15 ribu untuk membeli minyak tanah satu liter atau satu botol bekas air minum kemasan. Jadi lebih irit menggunakan kayu bakar untuk memasak sehari-hari.
Kekayaan Tumbuhan Hutan Adat Warbon
JUBI bersama jurnalis majalah TEMPO, Suara.com, dan projectmultatuli.org diantar Aleks Abrauw, putra dari Marthen Abrauw ke dalam Hutan Adat Warbon. Tujuan utama adalah melihat dua patok LAPAN. LAPAN yang saat mematok adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang mandiri, sejak 5 Mei 2021 dilebur Presiden Joko Widodo menjadi salah satu organisasi riset di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).
“Sebenarnya ada empat patok, tetapi dua yang dipasang di pantai Warbon sudah hilang karena abrasi,” kata Aleks.
Selama perjalanan menuju patok LAPAN dan ke pantai Warbon, di kiri-kanan jalan masih terlihat rimbunan pepohonan, meski tak selebat hutan di Mamberamo. Ternyata Aleks Ambrauw cukup mengenal berbagai jenis pohon dan tanaman di dalam Hutan Adat Warbon.
“Ini daun obat, namanya daun samparek (Glochodion sp), biasanya orang tua gunakan untuk mengurangi demam dan sakit malaria,” katanya.
Terkait tumbuhan obat sebagai kekayaan pengobatan tradisional di Kampung Saukobye dan Warbon, dalam kesempatan lain Pdt. Gerson Abrauw kepada JUBI menginformasikan juga ada daun Parson atau Anos. Masyarakat biasa merebus daunnya, lalu diminum airnya untuk menyembuhkan penyakit malaria. Ada juga Wuiprim untuk obat anti biotik.
Selain tanaman perdu seperti daun samparek, Aleks juga menunjukkan pohon kayu besi, kayu perahu, dan kayu matoa. Juga ada pohon buah lokal yang rasanya manis, nama buahnya Afufen.
Sedangkan kayu untuk pembuatan perahu juga masih ada, hanya saja ukurannya masih di bawah diameter 50 cm.
“Biasanya masyarakat akan memberikan tanda dengan membuat silang pada kulit pohon sebagai milik klen tertentu,” kata Aleks.
Ada beberapa jenis kayu untuk material membuat perahu yang dikenal oleh warga Kampung Saukobye. Yoel Kapitarauw, warga Kampung Saukobye dikenal sebagai “sinan kamasan”, sebutan dalam bahasa Biak untuk “pembuat perahu”. Ketika ditemui JUBI di rumahnya, ia sedang membuat perahu dari kayu Aisidisen.
“Ada beberapa jenis kayu untuk perahu yang kami tahu, yaitu Aimandwan, Aimoref, Aisner, dan Arr. Tetapi kayu jenis Arr sudah sulit diperoleh sekarang,” katanya.
Di halaman rumahnya terlihat kira-kira satu kubik kayu besi atau “Aibuy” (Merbau) untuk membangun rumah. Ia mengatakan sedang membuat perahu untuk dipakai sendiri, karena perahu miliknya sudah rusak.
“Saya punya perahu sudah dua tahun dipakai dan sudah rusak,” kata kepala Dusun VI Kampung Saukobye itu.
Situs web KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Kabupaten Biak Numfor menginformasikan ada beberapa jenis pohon atau dalam bahasa Biak disebut “waypapa” yang digunakan sebagai material perahu tradisional di Biak. Pohon-pohon tersebut adalah “Marem” (Litsea tubercuala), “Moref” (Palaqium amboinicum), “Adoi” (Adenathera), “Kabui” (Intsia bijua), dan “Sner” (Manikara).
Selain itu juga beberapa pohon lainnya, yaitu “Mes” (Pometia coriceae), “Kayu Bram” (Linociera macrophylla), “America” (Timonius sp.), “Parem” (Ceriops tagal), dan “Kor/Mampiu” (Rhizophora apiculata).
Di Hutan Adat Marbon yang terdapat di Kampung Saukobye dan Kampung Warbon selain terdapat berbagai jenis pohon yang bisa digunakan untuk kayu, juga ada berbagai jenis rotan dan daun tikar. Ada empat jenis rotan, yaitu dalam bahasa Biak disebut Warar
Sedangkan rotan yang terdapat di hutan adat Warbon sesuai Bahasa Biak adalah “Warar” (Calamus Sp1), “Waneren” (Calamus Sp2), “Warsam” (Calamus Sp3), dan “Say” (Calamus Sp4).
Warga di Kampung Warbon juga mengenal jenis tali yang merambat di pohon yang dalam bahasa Biak disebut tali “Apor” yang digunakan untuk membuat keranjang. Sedangkan “Nibun” banyak tumbuh di pantai Warbon yang oleh masyarakat digunakan sebagai material penting untuk membangun lantai rumah panggung.
Mama Beksina Rumbrapuk juga masih menganyam noken dari rotan “Warpar”. Nokennya dalam bahasa Biak disebut “Inawen”, karena digunakan untuk membawa ikan saat melaut mencari ikan dan kerang.
Sedangkan noken untuk membawa keladi dibuat dari kulit kayu yang dalam bahasa Biak disebut noken “Aram”. Noken atau “inongson” sendiri adalah tas atau kantong kecil yang terbuat dari kulit pohon.
Kekayaan fauna endemik di Warbon
Hutan Adat Warbon juga memiliki kekayaan fauna yang tak ternilai. Pdt. Gerson Abrauw mengatakan ada burung lokal yang sering mengeluarkan suaranya pada pagi hari di Hutan Adat Warbon. Burung itu disebut “Mangaok” atau burung pagi.
“Burung ini endemik Biak,” katanya.
Biak memang kaya dengan burung endemik. Taman Burung di Biak mencatat ada sembilan jenis burung endemik Biak, yaitu “Bayan merah” (Ecletus roratus), “Bayan hijau” (Ecletus sp), “Mambruk victoria” (Goura viktoria), “Nuri kepala hitam” (Lourius lorry), “Nuri merah sayap hitam biak” (Eos cyainogenia), dan “Nuri pelangi” (Tricholossus haematodus).
Kuskus, hewan khas yang hidup di Papua (termasuk Biak), Sulawesi, dan Maluku memiliki 57 pakan yang tumbuh di pepohonan di Biak. Pada tumbuhan santapan Kuskus yang hidup pada ketinggian 5,5 meter hingga 39 meter juga bersarang 11 jenis spesies.
“Kekayaan alam ini sudah diwarisi sejak nenek moyang kami, mereka hidup di hutan adat Warbon,” kata Mansar Mananwir Keret Marthen Abrauw.
Ia mengisahkan dulu nenek moyangnya datang dan tinggal di pohon Apiyao.
”Dari goa atau Abyab Sungkiri mereka bisa tembus ke tanjung dekat pohon Apiyao,” ujarnya.
Bagi Marthen Abrauw dan anggota sukunya memang sangat sulit meninggalkan hutan adat dan kampung warisan luluhur. Sebab di sana semuanya tersimpan terkait sejarah nenek moyang dan tanah adat.
“Bayangkan kalau hutan hilang dan tanah adat kami diambil, otomatis kami kehilangan jati diri, kehidupan, dan identitas,” kata ketua Klasis Biak Utara dan juga klen pemilik tanah di Hutan Adat Warbon tersebut.
Peta Wilayah Adat Marga Abrauw-Rumander yang dibuat BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Pemkab Biak Numfor tahun 2015 mencatat lahan yang dimiliki Marga Abrauw-Rumander di pesisir yang berhadapan dengan Laut Pasifik itu seluas 2.142,2 hektare. Di luar lahan itu terdapat 26 ha permukiman, 41 ha lahan milik marga Ampnir-Dimara, 56 ha milik LAPAN, 1,2 ha lahan SMA, 0,4 ha Polsek Biak Utara, 0,2 ha Kantor Distrik, dan 2 ha SD Nermnu.
Mantan pegawai KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi) Biak Numfor, Aristoles Aap menyebutkan pemerintah telah menetapkan sebagian wilayah Hutan Adat Warbon masuk ke dalam hutan lindung yang artinya dijadikan sebagai kawasan hutan negara. Sedangkan sebagian lainnya ditetapkan sebagai APL (Areal Penggunaan Lain). APL adalah areal di luar kawasan hutan negara yang bisa difungsikan untuk pembangunan di luar bidang kehutanan.
Kehadiran lahan LAPAN milik pemerintah pusat di areal itu selama ini membuat masyarakat adat gelisah. Lahan tersebut memang belum difungsikan, namun ketika ada kabar LAPAN berencana akan memfungsikan lahan tersebut untuk proyek pembangunan Bandara Antariksa Satelit, mereka menjadi cemas.
Mereka khawatir hutan adat akan rusak dan aktivitas fasilitas Bandara Antariksa Satelit tersebut akan mengganggu kenyamanan kampung mereka.
Memang tak semua warga di Kampung Saukobye menolak. Ada juga yang pro.
“Saya sebagai wakil pemerintah terkecil di kampung harus tidak memihak, termasuk melihat bagaimana proyek nasional ini,” kata Yusuf Ampnir, kepala Kampung Saukobye.
Dr. JR Mansoben, MA, antropolog dan doktor lulusan Universitas Leiden, Belanda membagi hak kepemilikan dan penguasaan wilayah adat pada masyarakat Papua dalam tiga kelompok, yaitu hak komunal berdasarkan klen, hak komunal menurut klen, dan hak individual.
Menurut pensiunan dosen Jurusan Antropologi, FISIP Universitas Cenderawasih tersebut hak kepemilikan lahan yang dimaksud adalah hak kepemilikan untuk semua sumber daya, baik tanah maupun tumbuhan yang berada di atasnya yang dimiliki pemilik lahan. (*)
Artikel kedua dari empat artikel
Baca artikel pertama Baca artikel ketiga Baca artikel keempat