Jayapura, Jubi TV– Ikatan Mahasiswa Merauke atau Immer Kota Jayapura Papua menggelar mimbar bebas menolak lahan tebu 2 juta hektar di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Kegiatan ini digelar di halaman Asrama Maro Putra, Padang Bulan, Heram Kota Jayapura Papua pada pukul 16.00 WIT, Kamis (23/5/2024).
Dalam kegiatan ini, mereka membentangkan sejumlah spanduk bertuliskan, “Mimbar Bebas Kitorang menolak proyek 2 juta hektar tebu di Kabupaten Merauke,” Save Indigenous Papuans’ Forests,” “Kami dibesarkan dengan sagu dan hutan adat bukan dengan uang perusahaan,’” ” Stop jual tanah,” “Jaga hutan Papua,” ” Papua bukan tanah kosong.”
Bahkan dalam kegiatan ini ada tiga pemuda yang memakai busana adat sebagai pemberi pesan bahwa masyarakat adat di Merauke masih ada dan lahan seluas dua juta hektar bukan tanah kosong.
Mereka menyebut aksi itu untuk menyadarkan pemerintah Papua Selatan. ” Sebelum ada aturan negara, aturan adat sudah ada duluan. Kasitau bupati, di Papua Selatan bukan tanah kosong, kepentingan bapak-bapak Jawa sana kami jadi korban, kami mahasiswa dan masyarakat dengan tegas menolak investor tebu 2 juta hektar,” ujar Stenly Dambujai dalam orasinya.
Ketua Ikatan Mahasiswa Merauke atau IMMER di Kota Jayapura Kasimirus Chambu mengatakan, investasi itu tidak melibatkan masyarakat adat, tokoh-tokoh adat, serta beberapa tokoh lainnya. Investasi ini juga akan merugikan masyarakat dalam banyak hal, yakni sistem mata pencarian untuk bertahan hidup, sumber daya alam di hutan juga akan hilang.
Perusahaan tebu 2 juta hektar, kata Chambu, bukan untuk masyarakat di Kampung Seramayan tetapi akan merugikan seluruh masyarakat di Merauke. Jadi pihaknya meminta kepada Presiden Jokowi, Menteri Investasi dan Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, Pj Gubernur Papua Selatan Dr. Ir Apolo Safanpo dan Bupati Kabupaten Merauke Romanus Mbaraka, untuk serius melihat dampaknya, agar ada rasa keadilan bagi masyarakat.
” Iya, tujuan aksi mimbar bebas ini untuk menolak dengan tegas, tanah Animha dijadikan lahan tebu 2 juta hektar,” kata Chambu. Chambun juga menegaskan, bila seruan mereka tidak digubris, maka pihaknya akan membangun konsolidasi bersama masyarakat akan menggelar aksi di kabupaten Merauke Papua Selatan.
Koordinator lapangan atau Korlap umum aksi mimbar bebas Adrianus Tampiama mengatakan, Investor yang masuk di Papua Selatan banyak menyebabkan dampak buruk terhadap masyarakat adat di sana. Beberapa hari lalu terjadi banjir di kampung bupul menyebabkan aktivitas masyarakat lumpuh total.
Menurutnya, banjir parah yang terjadi di Merauke akhir-akhir ini, penyebabnya adalah kerusakan hutan dan lahan yang dilakukan aktivitas perusahaan kelapa sawit. Kondisi itu akan lebih parah, jika perusahaan tebu diijinkan beroperasi. Oleh sebab itu pihaknya sebagai generasi muda Tanah Animha menolak dengan tegas investor tebu dua juta hektare itu. ” Saya dengan tegas menolak perusahaan Tebu di Kabupaten Merauke,” ujarnya.
Tampiama mengatakan, hari ini orang bicara Merauke sebagai lumbung pangan nasional, namun dua atau tiga tahun mendatang akan jadi cerita buruk bagi generasi yang akan datang. ” Tanpa tanah kami tidak bisa hidup, kami lahir dan dibesarkan dari tanah ini, jadi kami dengan tegas menolak perusahaan tebu dua juta hektar itu,” katanya.
Immer Kota Jayapura menyatakan bahwa pembukaan lahan 2 juta hektar untuk perkebunan tebu akan berdampak pada kehilangan kawasan tutupan hutan, rawa-rawa, sumber-sumber air minum masyarakat, juga menyebabkan bencana alam akibat hilangnya kawasan penyangga sebagai daerah resapan air serta akan mengakibatkan penurunan permukaan tanah di kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan.
Pembukaan lahan tebu ini juga akan menghilangkan rumah dari satwa-satwa endemik seperti kangguru, cenderawasih, rusa, kasuari, babi, musamus dan lainnya, serta akan menghilangkan tanaman-tanaman endemik yang berfungsi sebagai hiasan dan ritual-ritual adat.
Akan terjadi konflik lahan antar sesama masyarakat adat malind, [alias Marindo] atau dengan perusahaan. Juga akan terjadi penggusuran dan pengusiran masyarakat adat suku malind atas tanah ulayatnya. Tempat-tempat sakral akan rusak dan hilang, demikian juga wilayah adat suku-suku dan sub suku malind sebagai tempat budaya akan jadi kenangan.
Pembukaan lahan besar-besaran di Merauke juga akan memperburuk kesehatan masyarakat. Akan ada banyak limbah-limbah kimia yang mencemari lingkungan dan kemudian berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat. Air bersih dan makanan juga akan sulit didapatkan. ” Contoh nyata yang sudah terjadi di kampung Zenegi, dimana terjadi kelaparan ditengah kepungan perusahaan kayu dan pengelola lahan hutan tanaman industri,” kata Tampiama.
Masyarakat adat suku Malind tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan proyek 2 juta hektar Perkebunan tebu, tiba-tiba muncul barang ini di Merauke. Jadi jelas, bahwa masyarakat dan tanah adatnya akan selalu menjadi objek pemerintah pusat.(*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id