Masyarakat adat merespon: “Kami tidak makan satelit, kami makan keladi dan petatas”
Penerbitan laporan jurnalistik ini adalah hasil kerja kolaborasi Jubi, Tempo, suara.com dan Project Multatuli
"Tanah ini kami olah, kami hidup dari keladi, kasbi, petatas,
bukan kami makan satelit baru kami hidup"
Penulis : Dominggus Mampioper dan Theo Kelen
Editor : Syofiardi Bachyul
Jubi TV – Puluhan pemuda membentangkan pamflet memprotes kedatangan tim LAPAN/BRIN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional/Badan Riset dan Inovasi Nasional) di Kampung Saukobye, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak, Provinsi Papua pada 21 Oktober 2021.
Para pemuda tersebut berasal dari tujuh kampung di Distrik Biak Utara. Ketujuh kampung adalah Warbon, Saukobye, Korem, Andey, Rosayendi, Mnusfor, dan Mambesak.
Aleks Abrauw menceritakan aksi protes itu ketika ditemui di kediaman orang tuanya di Kampung Warbon minggu lalu.
“Kami pemuda adakan pemalangan terhadap tim LAPAN/BRIN yang datang tanpa sepengetahuan kami masyarakat pemilik hak ulayat,” katanya.
Waktu itu selama satu jam Aleks Abrauw dan teman-temannya melakuan protes. Mereka menuntut agar LAPAN/BRIN dan Pemerintah Kabupaten Biak tidak membangun peluncuran satelit di atas tanah ulayat masyarakat adat Warbon.
Aleks Abrauw merupakan anak dari Marthen Abrauw, kepala suku atau mananwir dari marga Abrauw-Rumander. Marga atau suku ini juga disebut sebagai masyarakat adat Warbon.
Dengan kawalan ketat polisi dan tentara, rombongan tim LAPAN/BRIN bersama anggota DPR Kabupaten Biak Numfor meninjau lokasi lahan yang direncanakan akan dibangun tempat peluncuran satelit. Lokasi itu berada di Kampung Saukobye, Distrik Biak Utara.
“Kami kaget tiba-tiba ada sekitar tujuh mobil datang dengan dua pick up berisi anggota polisi dan tentara. Dong datang kaya pencuri saja, kami masyarakat tidak tahu sama sekali,” ujar Aleks.
Lokasi peluncuran satelit yang akan dibangun LAPAN itu berada di atas tanah milik masyarakat adat Warbon. Tanah seluas 100 hektare yang merupakan bagian dari Hutan Adat Marbon tersebut adalah warisan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Masyarakat memprotes karena mereka akan kehilangan tanah ulayat jika di sana dibangun bandar antariksa. Kehilangan tanah ulayat berarti juga akan kehilangan sejarah dan identitas mereka.
“Tanah di sini tanah adat, bukan tanah milik LAPAN,” ujar Aleks.
Welmina Rumadas yang ikut hadir saat protes lima bulan lalu itu juga tidak sepakat dengan pembangunan bandar antariksa di Kampung Saukobye. Alasannya, lokasi itu sejak dulu hingga sekarang adalah tempat masyarakat berkebun untuk bertahan hidup.
“Tanah ini kami olah, kami hidup dari keladi, kasbi, patatas, bukan kami makan satelit baru kami hidup,” kata warga Kampung Koorem tersebut.
Welmina Rumadas, Aleks Abrauw, Apolos Mamoribo, dan sejumlah pemuda lainnya gencar melakukan advokasi penolakan rencana pembangunan bandar antariksa tersebut. Menurut mereka, jika tanah itu diserahkan maka ke depannya generasi-generasi muda masyarakat adat Warbon tidak akan bisa berkebun maupun membangun rumah lagi.
Meski proyek LAPAN/BRIN itu untuk kemajuan ilmu pengetahuan, kata Welmina Rumadas, namun para pemuda tidak setuju karena lokasinya kecil dan dekat kampung. Jika satelit akan diluncurkan akan ditaruh di mana dan masyarakat adat yang punya tanah ulayat akan tinggal di mana.
“Kami tidak butuh satelit, tapi bagaimana anak-anak ke depan ke situ (tanah) bikin rumah, kami semakin hari semakin banyak, kami tidak akan serahkan lokasi sejengkal pun yang nantinya buat anak-anak di sini untuk bikin rumah. Itu yang kami pikirkan,” ujarnya.
Menurut Rumadas seharusnya pemerintah, khususunya Pemerintah Kabupaten Biak Numfor, fokus mengurus pendidikan anak-anak, bukan sibuk mengurus pembangunan fisik. Alasannya, supaya ada pembangunan sumber daya manusia berkualitas yang akan mengurus daerahnya.
“Kasih sekolah anak-anak sehingga ada SDM yang nanti akan melakukan pembangunan, dan mereka bekerja sendiri di tanah mereka sendiri,” katanya.
Tidak mengakui lahan LAPAN
Dalam Peta Wilayat Adat Marga Abrauw Rumander yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Pemerintah Kabupaten Biak Numfor tahun 2015 terlihat hutan adat Masyarakat Adat Warbon membentang seluas 2.142, 2 hektare.
Di antaranya 26 hektare telah dibangun untuk permukiman, 41 hektare diberikan kepada masyarakat adat Marga Dimara dan Ampnir, 56 hektare menjadi lahan milik LAPAN, 1,2 hektare menjadi lahan SMA, 0,4 hektare menjadi lahan Polsek Biak Utara, 0,2 hektare untuk Kantor Distrik Biak Utara, dan 2 hektare untuk SD Nermnu Kawaidifu.
Di atas lahan milik Masyarakat Adat Warbon itulah LAPAN berencana mendirikan bandar antariksa peluncuran satelit. LAPAN menyebutkan telah memiliki tanah seluas 100 hektare di sana. LAPAN juga mengklaim telah memiliki dokumen surat pelepasan adat, kwitansi pembayaran, dan sertifikat tanah.
Ada empat patok LAPAN yang sudah dipasang di dalam area seluas 100 hektare itu, tapi kini tinggal dua patok, karena dua patok yang dipasang di pantai Warbon sudah hilang ditelan abrasi.
Namun klaim pelepasan tanah dan kepemilikan sertifikat LAPAN untuk lahan seluas 100 ha yang dilakukan pada zaman Orde Baru itu tidak diakui Masyarakat Adat Warbon. Mereka mengatakan tidak pernah membuat surat pelepasan terhadap tanah tersebut.
Terlebih lagi yang akan dibangun adalah bandar antariksa peluncuran satelit. Mereka membayangkan aktivitas di lahan 100 ha itu juga akan berdampak ke lokasi sekelilingnya, yaitu lahan hutan adat dan perkampungan mereka.
“Kalau mungkin dong mau bangun, bangun di tempat lain. Kalau saya punya tanah saya tidak mau, kalau dibangun saya punya tanah habis. Saya anak cucu bagaimana mau hidup,” kata Marthen Abrauw.
Ia mengatakan tawaran yang dijanjikan pemerintah akan kesejahteraan untuk masyarakat hanyalah bahasa gula-gula untuk menipu masyarakat adat Warbon. Menurutnya tidak ada jaminan kesejahteran yang dapat diberikan pemerintah dengan melepaskan lahan ulayat mereka.
“Saya juga bicara, saya punya kepentingan untuk kesejahteraan anak cucu saya. Belum tentu dong dapat jaminan. Kita yang ada saja hidupnya begini, apalagi dorang yang tabrak kemajuan begitu besar. Bukan hanya untuk anak cucu, tapi orang yang tinggal dengan saya di sini, hubungan kekeluarga yang ada, kekerabatan yang ada ikut mendukung jangan lepas tempat ini,” katanya
Menurut Marthen Abrauw selama ini Pemkab Biak Numfor tidak pernah langsung berbicara dengan mereka sebagi pemilik tanah ulayat. Pemkab hanya melakukan sosialiasi di kantor distrik dengan hanya mengundang masyarakat yang bukan pemilik lahan.
Walaupun begitu, katanya, Masyarakat Adat Warbon tetap tidak akan pernah melepaskan tanah adat mereka.
“Saya tidak mau, jangan sampai saya lagi bekerja ada yang datang usir saya. Saya mau sakit, saya mau pandai, saya mau tinggal di sini. Saya tidak mau orang datang paksa-paksa saya keluar. Ini saya punya tanah, turun-temurun dari saya punya nenek moyang tinggal di tanah ini. Ini warisan terakhir untuk saya dan anak cucu saya,” katanya.
100 hektare belum cukup
Tim Pusat Kajian dan Kebijakan Penerbangan dan Antariksa LAPAN telah mengkaji rencana pembangunan bandara antariksa di Kampung Saukobye tersebut pada 2015. Anggota tim adalah Husni Nasution, Sri Rubiyanti, Bernhard Sianpar, Dini Susanti, Shinta Rahma Diana, dan Astri Rafikasari.
Dalam laporan sembilan halaman itu dijelaskan peluang dan tantangan yang dihadapi jika pembangunan bandar antariksa dilakukan di Kampung Saukobye, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor.
Peluangnya, lokasi yang akan dijadikan pembangunan bandar antariksa secara geografis sangat strategis, karena berada di pinggir laut menghadap Lautan Pasifik yang berarti memiliki akses langsung ke laut dan transportasi. Kemudian tidak ada pulau, baik kecil maupun besar, didekatnya atau disekitarnya.
Sedangkan kendalanya, luas lahan 100 hektare tersebut belum cukup untuk kawasan bandar antariksa yang lengkap, karena diperkirakan membutuhkan 7 kali lipat dari lahan yang tersedia, jarak dari permukiman kurang dari 1 kilometer, sedangkan di sekitar lahan milik LAPAN sudah banyak permukiman penduduk setempat.
“Padahal untuk suatu kawasan bandar antariksa jarak lokasi dari permukiman minimal 5 kilometer dari launch-pad, karena membahayakan, terlebih jika terjadi explosion atau ledakan yang diakibatkan dari roket yang akan diluncurkan,” demikian kutipan laporan.
Kendala lain, kondisi tanah yang tidak rata atau bergelombang juga belum sesuai dengan kriteria suatu kawasan bandar antariksa. Landasan pelabuhan untuk lokasi bongkar muat kapal yang diperkirakan lebih dari 100 meter masih belum memenuhi syarat sehingga diperlukan perluasan lokasi untuk bongkar muat roket dari kapal pengangkut ke daratan.
Jalan menuju lokasi juga cukup jauh apabila dilakukan pengangkutan menggunakan jalur darat. Kemudian kendala lain yang disebutkan adalah pembebasan lahan milik LAPAN yang dilakukan pada 1980 saat ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat.
Kepala Kampung Saukobye Yusup Ampnir tidak sepakat dengan rencana pemerintah memindahan masyarakat. Sebab, katanya, akan menimbulkan konflik dengan masyarakat adat yang lain di Biak. Selain itu, bagi masyarakat, tanah saat ini adalah tempat mereka berpijak, hidup, dan mencari makan.
“Tidak mungkin kami pindah ke lokasi orang lain. Kami takut nanti seketika di lokasi sana akan timbul konflik. Saya secara pribadi, terlepas dari jabatan sebagai kepala desa, kalau untuk relokasi saya sama sekali tidak setuju,” ujarnya.
Ia mengusulkan agar Pemerintah Kabupaten Biak duduk bersama mendengarkan suara Masyarakat Adat Warbon, dalam hal ini Marga Abrauw dan Rumander. Ini penting untuk mencari solusi permasalahan yang terjadi. Sebab menurutnya persoalan tersebut telah menimbulkan permusuhan, karena terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat kampung.
“Masyarakat tidak baku senang, bahwa ada yang mau menjual tanah mendukung program pembangunan. Ini membuat keluarga dan masyarakat yang ada di Kampung Saukobye dan Kampung Warbon berkonflik,” katanya.
Lokasi lahan adat Masyarakat Adat Warbon yang berhadapan langsung dengan Laut Pasifik juga dimanfaatkan masyarakat untuk melaut. Elisa Ampnir mengatakan biasa menangkap ikan dan gurita yang hasilnya selain dikonsumsi juga dijual ke pasar.
Ia juga tak sepakat dengan rencana pembangunan bandar antariksa. Jika itu terjadi ia memastikan tidak bisa lagi melaut. Sebab lokasi mencari ikan saat ini sangat dekat dengan lokasi pembangunan peluncuran satelit dan tentu ke depannya menjadi daerah terlarang bagi masyarakat jika jadi bandar antariksa.
“Kalau bisa tidak usah bangun itu, sebab nanti kami mencari ikan di mana lagi, karena mata pencarian cuma di pantai ini,” kata warga Kampung Warbon tersebut.
Ada intimidasi dalam pelepasan tanah adat
Kepala Bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) GKI di Tanah Papua Pendeta Dora Balubun mengatakan pada 15 April 2018 KPKC berkunjung ke Biak setelah mendapat laporan dari masyarakat adat bahwa ada kunjungan beberapa jenderal untuk membicarakan pembangunan bandar antariksa di atas tanah masyarakat adat Warbon.
“Nah, tahun 2018 kami ada konferensi gereja di Sorong. Hari terakhir saya dipanggil oleh ketua sinode dan sekretaris sinode sampaikan untuk saya bergerak ke Biak Utara. Waktu itu ketua Sinode sampaikan bahwa saya harus ke sana karena ketua Klasis Biak Utara, Pendeta Gerson Abrauw mendapat ancaman. Dia mau dipukul karena tidak bersedia menyetujui penyerahan tanah,” katanya.
Pendeta Dora lalu berangkat untuk memastikan kondisi masyarakat adat dan melakukan wawancara. Dari hasil wawancara, masyarakat adat menyampaikan tidak mau melepaskan tanah mereka. Alasannya mereka tidak tahu harus kemana. Jika mereka serahkan tanah, masyarakat akan kehilangan hak ulayat dan kehilangan identitas dan akan menimbulkan konflik dengan masyarakat adat lain jika mereka pindah.
“Mereka bilang, kalau kami terima terus kami kemana? Kami kan tidak mungkin ke Waropen, Yapen, karena kalau kami ke sana pasti ditolak. Dan itu bisa perang suku. Lalu umpamanya pindah ke sana, bearti jati diri sebagai orang Warbon itu hilang karena yang disebut sebagai orang Warbon adalah batas tanahnya, bahasanya di situ, struktur adatnya di situ,” ujarnya.
Pendeta Dora mendapat cerita ada intimidasi yang terjadi pada 1980-an yang dilakukan terhadap masyarakat adat jika mereka tidak melepaskan tanah. Intimidasi dilakukan dengan cara memberikan stigma bahwa jika tidak menyerahkan tanah atau menghadiri pertemuan maka mereka akan di stigma sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka).
“Waktu tahun 1982 di sana (Biak Utara) masih daerah DOM (Daerah Operasi Militer). Orang tua mereka-mereka ini kalau tidak hadir mereka akan dintimidasi. Bahwa mereka OPM, karena itu mereka harus hadir dalam pertemuan itu. Kalau mereka bilang tidak terima, mereka pasti akan ditangkap karena mereka selalu dicapnya OPM,” katanya.
Pendeta Dora menyampaikan bahwa dari banyak kasus yang ditangani, terutama berkaitan dengan tanah adat, ditemukan ada pemaksaan dan intimidaasi yang dilakukan penguasa yang menyebabkan masyarakat adat tidak bisa berbuat apa-apa. Masyarakat adat terkadang menyerahkan penyelesaian tanah mereka kepada gereja, seperti kasus masyarakat adat di Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.
“Seperti kasus di Kebar itu jadi percontohan. Masyarakat adat membuat pernyataan dan menyerahkan tanah hak ulayat kepada gereja. Mereka buat pernyataan, tanda tangan, menyerahkan ulayat masyarakat adat ke gereja untuk menghindari itu, karena mereka terus menerima ancaman,” katanya.
Atas temuan itu Pendeta Dora menyampaikan bahwa pemerintah pusat, Pemprov Papua, dan Pemkab Biak Numfor harus menfasilitasi masyarakat pemilik hak ulayat untuk membuat keputusan yang tepat untuk mereka supaya tidak terjadi konflik. Menurutnya jaminan pemerintah harus jelas kepada masyarakat adat, karena kehadiran pembangunan di situ berpotensi mengadu domba masyarakat adat wilayah itu.
“Pemerintah harus terbuka membicarakan apa yang negara mau, lalu sama-sama melihat apa yang terbaik bagi mereka supaya tidak ada yang dirugikan,” ujarnya.
Pembangunan bandar antariksa dikaji ulang
Koordinator Pelaksana Fungsi Balai Kendali Satelit, Pengamatan Antariksa dan Atmosfer dan Penginderaan Jauh Biak, Mochmad Luqman Ashari mengatakan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) LAPAN seharusnya pada tahun ini sudah mulai dibangun bandar antariksa. Dalam perencanaan akan ada dua kategori yang akan dibangun, yaitu kategori skala kecil dan skala besar.
Ashari mengatakan yang sudah pasti bandara skala kecil yang akan dibangun terlebih dahulu waktu itu untuk kepentingan eksperimen atau riset LAPAN. Karena hanya skala kecil untuk eksperimen sehingga itu tidak akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi di daerah tersebut.
“Jadi bandar antariksa skala kecil akan dipergunakan LAPAN sendiri. Artinya, memindahkan fasilitas peluncuran yang sudah ada di Kecamatan Pameungpeuk, Jawa Barat itu ke Biak,” katanya di Kantor LAPAN Biak, Jumat (4/3/2022).
Menurut Ashari bandara peluncuran satelit yang ada di pantai Cilauteureun Cikelet Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat harus dipindahkan karena sudah padat permukimanan penduduk dan sudah dijadikan tempat wisata. Sehingga ketika akan melakukan uji terbang roket akan membahayakan penduduk.
Akan tetapi, kata Ashari, rencana pembangunan bandar antariksa di Biak tersebut kembali dikaji ulang setelah adanya kebijakan peleburan LAPAN ke dalam BRIN. Ia mendapat informasi dari Pusat Teknologi Roket, saat ini lagi dibahas rancangan peraturan pemerintah-nya.
“Baik lokasi maupun rencana pembangunan masih di godok kembali di BRIN… akan di kaji ulang. Memang waktu masih eks LAPAN sudah mengerucut ke Biak,” ujarnya.
Ia menjelaskan dalam amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan, ketika Indonesia sudah memiliki teknologi keantariksaan yang maju seharusnya sudah memiliki bandar antariksa sendiri. Sehingga tidak harus menggunakan bandar antariksa pihak luar ketika meluncurkan satelit.
“Biasanya kami (LAPAN) pada waktu itu gunakan punyanya India,” katanya.
Menurut Ashari sebelumnya ada beberapa pilihan lokasi yang dikaji sebagai lokasi bandar antariksa, yakni pulau Enggano di Provinsi Bengkulu, Morotai di Provinsi Maluku, dan Biak di Provinsi Papua. Setelah melalui kajian, akhirnya Biak dipilih sebagai lokasi pembangunan bandar antariksa peluncuran satelit.
Dipilihnya Biak karena secara geografis wilayah tersebut sangat strategis. Infrastruktur pendukung di Biak sangat bagus dan jarak ke garis ekuator lebih dekat sehingga saat peluncuran Roket Peluncur Satelit (RPS) ke Geostationary Earth Orbit (GEO) lebih cepat mencapai orbit. Jarak yang dekat akan menghemat bahan bakar.
“Secara teknis jaraknya akan lebih dekat. Beda kalau kita luncurkan dari Prancis maupun dari Kenedy Space Center, Amerika Serikat, itu kan jauh dari ekuator,” katanya.
Ashari mengatakan jika bandar antariksa tersebut dibangun dalam skala kecil maka dibiayanya bisa dari DIPA LAPAN. Namun untuk skala besar akan menggandeng konsorsium dari luar negeri, karena membutuhkan pembiayaan yang lumayan besar.
“Karena juga menyangkut pengembangan untuk peningkatan ekonomi bagi Biak secara umum dan secara khusus bagi masyarakat setempat,” ujarnya.
Terkait lokasi milik LAPAN di Kampung Saukobye yang dipersoalkan masyarakat adat, menurut Ashari tanah 100 hektare itu telah bersertifikat dan memiliki surat pelepasan tanah dilengkapi dengan kwitansi pembayaran. Ia mengatakan LAPAN membeli lahan itu pada 1982 dengan biaya Rp50 juta, terbagi atas pembebasan lahan, pergantian tanaman, dan jalan.
“Mereka (masyarakat) sebenarnya mengklaim mereka juga punya dokumen dan hanya dibayarkan sekian. Mereka (terima) Rp15 juta, tapi dari dokumen yang kami punya Rp50 juta,” katanya.
Menurut Ashari hingga kini bandar antariksa belum dibangun di lokasi tersebut karena membutuhkan persiapan dari sisi kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) serta uji kelayakan dan penyelesaian masalah dengan masyarakat adat.
Ia mengaku pihaknya tiga kali dalam setahun mengedukasi soal pembangunan bandar antariksa tersebut kepada masyarakat adat. Sedangkan kajian AMDAL belum ada.
“Kepala BRIN melihat masih ada masalah… jadi Pak Kepala BRIN minta kalau bisa sampai clear. Sampai tidak ada masalah lagi ada tuntut-menuntut seperti itu,” ujarnya.
Kepala Riset dan Inovasi Nasinal (BRIN) Republik Indonesia Tri Handoko mengatakan pembangunan bandar antariksa di Biak belum ditetapkan karena masih harus didiskusikan dengan banyak pihak untuk membuat penetapan final.
“Kita belum membuat penetapan. Ada beberapa (lokasi) termasuk Biak Utara dan Morotai,” ujarnya kepada Suara.com, media kolaborasi liputan dengan JUBI.
Akan tetapi Handoko menyampaikan sudah ada lahan untuk membangun bandar antariksa di Biak seluas 100 hektare. Lahan itu milik pemerintah dan telah bersertifikat sejak 10 tahun lalu.
“Lahan yang dibutuhkan tidak perlu ada pembebasan, karena kami memilih lokasi tidak ada lahan masyarakat, hanya lahan negara,” katanya.
Menurut Handoko, adanya penolakan warga adalah hal biasa. Namun pihaknya berpegang pada struktur adat dan pemuka adat semua suku di sana. Ia mengklaim pemuka adat semua suku sudah datang bertemu dan meminta agar bandar antariksa tetap dibangun di Biak Utara.
“Lha, penetapan dan batas lahan saja belum ada, kok sudah ada yang klaim lahannya diambil. Kalau klaim lahan yang lain sudah sejak dulu, itu biasa, tetapi kami berpegang pada struktur adat dan pemuka adat semua suku mereka,” katanya.
Handoko mengatakan tanah ulayat notabene adalah tanah negera. “Dari pemuka adat semua suku sudah datang ke saya, justru mereka meminta agar bandar antariksa tetap di Biak Utara dan mereka mendukung penuh,” ujarnya. (*)
Artikel pertama dari empat artikel
Baca artikel kedua Baca artikel ketiga Baca artikel keempat