Sentani, Jubi TV– Perayaan 100 Tahun Pekabaran Injil di wilayah Grimenawa dilakukan di Lapangan Mandala, Genyem Kota, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, Papua pada Kamis, 15 Agustus 2024.
Ketua Panitia Perayaan 100 Tahun Pekabaran Injil Delila Giyai mengatakan sebelum puncak acara, ada sejumlah rangkaian kegiatan. Kegiatan diawali dengan acara seminar, kemudian Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), napak tilas ke Bukit Mentie Yano, pawai, dan arak-arakan rohani yang berlangsung 9-15 Agustus 2024.
“Pada puncak perayaan ibadah dan doa syukur ada peletakan batu pertama dan komitmen bersama pemugaran Situs Religi Mentie Yapum dan pendirian Universitas Kristen Bijkerk Schneider,” ujar Delila di Sentani, Sabtu (17/8/2024).
Giyai mengatakan Perayaan 100 Tahun Pekabaran Injil di Lembah Grimenawa merupakan perayaan suatu peradaban baru bagi orang Papua yang diletakan oleh para utusan Zending Gereja Protestan dan Misonaris Katolik 100 tahun atau satu abad yang lalu.
Utusan Gereja Protestan Belanda, yaitu Ottow dan Geisler menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Manokwari pada 5 Februari 1855 dan sejak itu suatu peradaban baru dimulai.
Sejarah mencatat, sekolah rakyat bagi anak-anak dibuka dan pemberitaan Injil Terang Kristus diberitakan di seluruh Tanah Papua melalui Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.
“Lembah Grime Nawa Kabupaten Jayapura atau pada masa Pemerintahan Belanda disebut Onderafdeling Nimboran, tidak terlepas dari peran pelayanan Gereja Protestan pada waktu itu,” katanya.
Pada 15 Agustus 1924, Badan Zending Belanda, Utrech Zending Vereneging (UZV) mengutus tiga zendingnya, yaitu Jacobus Bijkerk, George Schneider, dan Alberth de Neef menginjakkan kaki di Kampung Berap untuk memberitakan injil.
Ketiga hamba Tuhan itu membangun pusat gereja dan pendidikan di Kawasan Bukit Mentie Yapum, Kampung Genyem Yeku, Distrik Nimboran. Dari bukit itu, kemudian dibangun 10 jemaat dan sekolah rakyat di seluruh wilayah Grime Nawa pada periode 1925-1937.
Selanjutnya dibangun satu sekolah peradaban bagi seluruh anak-anak Tabi, yaitu anak-anak dari Sarmi hingga Hollandia (Kota Jayapura sekarang).
“Dalam perkembangannya, gereja kemudian mendirikan Sekolah Gadis pertama di Tanah Tabi pada tahun 1952 dan menghadirkan mekanisasi pertanian pertama di Tanah Papua,” kata Delila Giyai.
Selepas Integrasi, pada 1970 generasi terpelajar asal Lembah Grime Nawa kemudian menjadi generasi emas yang menduduki jabatan dalam struktur organisasi Gereja Kristen Injili (GKI) dan pada pemerintahan sebagai birokrat dan legislator Provinsi Irian Jaya.
Membawa banyak perubahan
Yehuda Hamongkwarong, tokoh masyarakat di Lembah Grimenawa mengatakan semua sejarah panjang kesuksesan hingga kini bermula dari kedatangan tiga utusan zending 100 tahun lalu tersebut.
Menurutnya, dampak dari pekabaran Injil pada 100 tahun lalu itu telah membawa banyak perubahan dari waktu ke waktu di Lembah grimenawa.
“Sistem pendidikan pertama dengan lahirnya Sekolah Gadis, lalu cikal bakal masyarakat mengenal sistem jual beli dalam peningkatan ekonomi di sini melalui Koperasi Yawadatum dan masih banyak yang lainnya,” ujarnya.
Dari sisi potensi sumber daya manusia dalam 10 tahun terakhir ini, katanya, Grimenawa sudah memiliki ratusan sarjana S1, S2, hingga S3 dari berbagai latar pendidikan. Pada tingkat pemerintah daerah, perempuan Grimenawa ada yang menduduki jabatan Asisten II, kepala dinas, dan kepala bidang di sejumlah perangkat teknis daerah.
“Yang laki-laki juga demikian, sudah banyak yang menjadi pejabat dan anggota dewan. Selain itu ada 9 pusat pemerintahan distrik dan puluhan kampung di wilayah ini,” katanya.
Yehuda berharap apa yang sudah dicanangkan pada puncak acara di Lapangan Mandala dapat diteruskan dan dikerjakan, sehingga apa yang dicita-citakan masyarakat dapat terwujud.
“Pusat peradaban pendidikan di Papua berawal juga dari Grimenawa sehingga perlu direalisasikan fasilitas pendidikan setingkat universitas. Dengan demikian sumber daya manusia di daerah ini dapat bersaing dengan daerah lain,” katanya.
Alpius Toam, tokoh masyarakat lainnya menyatakan rasa syukur kepada Allah atas peristiwa 100 tahun lalu itu. Seluruh masyarakat mengadakan ibadah dan doa syukur Satu Abad Pekabaran Injil di Wilayah Grimenawa.
Menurut Toam perayaan tersebut dijadikan momentum untuk merefleksi kembali sehingga semua orang Grimenawa harus bersatu.
“Tidak boleh orang membangun ego sendiri, melainkan harus bekerja sama membangun lembah ini,” ujarnya.
Toam menceritakan, pada 1983 ketika masih SMP, ia masih main bola di lapangan tersebut dan sekarang ia sudah berumur 60 tahun namun tempat itu tidak berubah sama sekali.
“Karena itu saya bilang ada apa dengan lembah ini, makanya melalui perayaan ini dijadikan refleksi diri terhadap apa yang mereka telah kerjakan, terutama masyarakat adat. Mereka harus membangun tempat ini mengingat pendidikan dari tempat ini disebarkan ke Sentani, Sarmi, Keerom, dan daerah lainnya,” ujarnya. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id