Oleh: Pipit Maizier*
Jauh sebelum Benny Giay menerbitkan disertasi doktoralnya pada 1995, sudah ada sejumlah karya tentang orang Papua yang sebagian besar ditulis oleh para Pengabar Injil untuk dipakai di kalangan sendiri terkait dengan misi penyebaran agama Kristen. Di samping karya-karya ini, ada sejumlah publikasi studi antropologi yang dilakukan sejumlah peneliti di tengah masyarakat Papua di Pegunungan Tengah dan selatan.
Menariknya, melalui karya-karya itu, baik para Pengabar Injil maupun antropolog secara sepihak telah menafsirkan orang Papua sebagai manusia primitif. Hanya saja, bila para misionaris menganggap orang Papua harus diselamatkan dari kekafiran, kebodohan, dan budaya malas, sebaliknya para peneliti menggambarkan orang Papua sebagai masyarakat primitif yang mulai terbuka kepada perubahan yang dibawa oleh orang luar (Giay 2022: 61).
Di tengah miskinnya literatur tentang keagamaan dan kebudayaan orang Papua yang berpihak pada wacana lokal, Benny Giay melakukan studi doktoralnya di kalangan masyarakat Mee, Paniai, Papua, yang menjadi bagian dari Wilayah Adat Meepago. Disertasi itu rampung pada 1991.
Dalam penelitiannya, Giay melakukan terobosan dalam metodologi. Alih-alih menggunakan pendekatan ‘kultus kargo’ yang sudah biasa digunakan para peneliti ketika melakukan studi tentang agama Papua/Melanesia, Giay memilih untuk menggunakan metodologi ekletik yang menggabungkan pendekatan antropologi, teologi, dan sejarah.
Giay berargumen bahwa karya-karya yang berpusat pada motif kargo seperti karya Worsley (1968), Lawrence (1989), dan Kamma (1972) telah mencegah berkembangnya penelitian yang lebih eksploratif terhadap agama dan wacana keagamaan lokal (2022:458). Melalui pendekatan lintas-disiplin ini, Giay berhasil menyajikan gambaran yang utuh tentang kepercayaan pribumi yang sangat melekat dengan kebudayaan asli mereka.
Disertasi doktoral Giay ‘Zakheus Pakage dan Komunitasnya’ pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Inggris oleh Vrije University Press, Amsterdam pada 1995. Pada 2022, disertasi itu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, dan diterbitkan Marjin Kiri bersama Penerbit Deiyai. Edisi Bahasa Indonesia itu dilengkapi pengantar dari editor Cypri Jehan Paju Dale, yang menempatkan buku itu dalam kaitan dengan karya Benny Giay yang lainnya.
Dari segi isi, tidak ada perubahan antara versi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Meskipun buku ini boleh dikatakan cukup tebal, tetapi pembaca tidak perlu gentar karena struktur buku dan gaya bertutur (storytelling) yang digunakan Giay dalam setiap bab membuat kajian ini terasa begitu ringan untuk dicerna.
Terlebih, pengantar dari Dale membantu pembaca untuk memahami kajian bab per bab dalam buku ini. Pengantar ini menuntun pembaca untuk lebih mengenal sosok Benny Giay, bagaimana perannya di kalangan tokoh intelektual dan gereja, serta relasinya dengan gerakan sosial-keagamaan dan sosial-politik di Tanah Papua.
Mengacu pada kedua hal tersebut di atas, tulisan ini tidak bermaksud untuk memandu pembaca, melainkan mengajak pembaca untuk bersama-sama menelusuri kajian ini. Dan seperti air, penelusuran ini mengalir mengikuti lekuk-liku struktur pembahasan dalam buku ini.
Pada Bab Pertama, Pendahuluan, pembaca akan menjumpai alasan yang melatarbelakangi Giay melakukan penelitian itu. Di samping bermaksud menghadirkan penelitian yang melampaui ‘kultus kargo’, penelitian itu merupakan titik berangkat seorang Benny Giay dalam menziarahi wacana keagamaan lokal dan sejarah masa lalu pribumi yang melatarbelakangi transformasi sosial-politik-keagamaan orang Mee di masa kini.
Melalui Zakheus Pakage, tokoh utama yang menjadi fokus penelitiannya, Giay secara eksplisit menggugat pandangan para misionaris dan antropolog lama yang cenderung mengecilkan kemampuan orang Papua sebagai agen perubahan untuk diri mereka sendiri. Dalam buku ini, pembaca akan menemukan alasan mengapa Giay memilih untuk tidak menggunakan metode yang biasa dipakai para peneliti lain ketika meneliti agama orang Papua/Melanesia, melainkan menggunakan pendekatan unik, bersifat lintas-disiplin.
Dengan menggabungkan beberapa disiplin ilmu sekaligus, Giay berhasil menangkap konteks sejarah dan politik dari gerakan-gerakan keagamaan yang luput dari pengamatan para peneliti terdahulu. Keberhasilan pengamatan Giay ini dapat dilihat pada bab-bab berikut.
Bab Dua merupakan catatan (auto) etnografi Giay tentang orang Mee. Dalam bab ini, Giay menyajikan kilas balik asal-usul orang Mee, kondisi sosial, ekonomi, dan politik mereka pada masa pra-kontak dengan ogai.
Bab Dua menunjukkan bahwa jauh sebelum kedatangan ogai, orang Mee/Papua sudah memiliki sejarah dan wacana keagamaannya sendiri. Hanya saja, sejarah itu tidak pernah dituliskan, akan tetapi diwariskan secara turun temurun melalui ritual penyembuhan dan mitologi. Bab Dua juga menceritakan dengan runut dan rinci tentang tatanan kehidupan orang Mee pada masa pra-kontak untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi mereka. Namun, situasi sosial-ekonomi ini berubah drastis ketika ogai datang ke wilayah ini.
Dalam Bab Tiga, Giay menggambarkan sejarah kontak orang Mee dengan Ogai. Ogai, dalam konteks Mee, adalah orang asing dan juga orang lokal yang bekerja untuk kekuatan dan kekuasaan asing tersebut.
Perjumpaan dengan ogai menciptakan suatu perubahan drastis dalam tatanan sosial, ekonomi, dan politik orang Mee yang digambarkan Giay secara detail. Dalam penggambaran itu, Giay dengan cermat menelusuri sejarah transformasi sepanjang periode awal kedatangan para misionaris dan otoritas kolonial Belanda pada akhir 1930-an, pendudukan Jepang pada masa Perang Dunia II sampai dengan masa peralihan pemerintahan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia, yang pada gilirannya mampu menganalisis secara runut penyebab pergolakan dan perlawanan orang Mee terhadap ogai.
Di Bab Empat, Giay menempatkan fokus kajiannya pada sosok Zakheus Pakage, tokoh sentral yang melatarbelakangi penelitiannya dengan menyoroti hidup dan karya serta pergulatan Zakheus dan komunitas Wege dalam misi penyiaran agama di kalangan masyarakat Mee. Giay sendiri memandang misi Kristen Zakheus sebagai bukan sekadar membangun masyarakat yang menghayati kitab suci, tapi memiliki agenda untuk membangun komunitas yang mandiri, dengan visi pembangunan ekonomi, sosial, dan politik yang kontekstual dengan kebudayaan lokal (Giay 2022: 74-75).
Kunci dari kajian Giay itu berada dalam Bab Lima, di mana Giay secara observatif dan konstruktif membahas pandangan Zakheus dan komunitas Wege terkait wacana keagamaan pribumi menyangkut lima motif teologis penting dalam pandangan Kristen, yakni Allah, Alkitab, Keselamatan, Kristologi, dan Eskatologi. Dalam Bab Lima, pembaca akan memahami mengapa visi Zakheus lebih bisa diterima orang Mee dibandingkan ajaran ogai, bagaimana ajarannya tentang Kristen akhirnya berkembang menjadi penegasan terhadap kembalinya wacana keagamaan pribumi dari masa pra-kontak yang memiliki kemiripan motif-motif teologis dengan agama Kristen.
Pada Bab Penutup, Giay membuat simpulan kritis dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di awal penelitian. Tanpa memahami konteks sosio-historis atas hidup dan perkembangan ajaran Zakheus dan komunitasnya, demikian argumen Giay, kita tidak akan dapat memahami pandangan ajaran mereka.
Terkait perkembangan ajaran Zakheus dan komunitasnya, Giay menyimpulkan tiga hal, yakni ajaran agama Zakheus dan komunitas Wege merupakan 1) perkembangan wacana teologi pribumi (Mee) akibat kontak dengan ajaran Kristen (ogai), 2) aspirasi dan perlawanan sosial, ekonomi, dan politik pribumi terhadap penindasan ogai; dan 3) ekspresi agenda orang Mee untuk memulihkan identitas diri dan mengembalikan sejarah mereka di tengah persaingan dengan ogai (Giay 2022: 456-57).
Secara keseluruhan, buku Giay tentang wacana keagamaan pribumi dengan menggunakan pendekatan ekletik itu berhasil mengetengahkan suatu kajian tentang agama dan gerakan teologi pribumi di Tanah Papua/Melanesia yang belum tersentuh oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Di sini, Giay menunjukkan bahwa pandangan agama harus diperlakukan sebagai sesuatu yang dinamis dan terus berubah seturut perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang saling memengaruhi sejarah dan budaya suatu kelompok.
Penelitian itu juga menggambarkan pandangan pribadi Giay terhadap sikap toleransi sosial-keagamaan dan penghormatan terhadap kelompok suku yang pandangan agamanya menjadi sasaran penindasan kekuasaan kelompok yang lain. Hal ini tergambar dari saran dan rekomendasi Giay pada bab terakhir kepada pihak-pihak gereja untuk mengambil langkah dialogis dan konstruktif terhadap gerakan keagamaan dan teologi lokal di Tanah Papua.
Buku ini sangat direkomendasikan kepada pembaca yang memiliki ketertarikan tentang kajian sejarah orang Papua dan antropologi kekristenan. Akan tetapi, meskipun Anda tidak memiliki ketertarikan pada bidang-bidang tersebut, buku ini tetap menarik untuk dibaca.
Bagi saya pribadi, buku ini memberi tuntunan untuk lebih memahami Papua dan menghormati agensi orang Papua melalui wacana keagamaan dan identitas ke-Papua-annya, serta menjawab keingintahuan saya terhadap sosio-historis yang melatarbelakangi gerakan-gerakan sosial-politik Papua hari ini. (*)
* Penulis adalah penerjemah paruh waktu dan pengelola program dalam sebuah organisasi media di Papua.
Identitas buku:
- Judul buku: Zakheus Pakage dan Komunitasnya: Wacana Keagamaan Pribumi, Perlawanan Sosial-Politik, dan Transformasi Sejarah Orang Mee, Papua
- Penulis: Benny Giay
- Penerjemah: Ligia Giay, Veronika Kusumaryati, Pipit Maizier
- Editor dan pengantar: Cypri Jehan Paju Dale
- ISBN 978-602-0788-28-9
- Jumlah halaman: 510 + xvi hlm; 14 x 20,3 cm
- Penerbit: Marjin Kiri dan Penerbit Deiyai
Daftar Pustaka:
Giay, Benny. 1995. Zakheus Pakage and His Community: Indigenous Religious Discourse, Sociopolitical Resistance, and the Ethnohistory of the Mee in Irian Jaya. Amstedam: VUA.
Giay, Benny. 2022. Zakheus Pakage dan Komunitasnya: Wacana Keagamaan Pribumi, Perlawanan Sosial-Politik, dan Transformasi Sejarah Orang Mee, Papua. Jakarta: Marjin Kiri dan Deiyai.
Kamma, F.Ch. 1972. Koreri, Mesianic Movements in the Biak Numfor Culture Area. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Lawrence, P. 1989. Road Belong Cargo, Prospects Heights: Waveland Press.
Worsley, Peter. 1968. The Trumpet Shall Sound: a Study of “Cargo” in Melanesia. New York: Schoken Books.
Artikel ini telah tayang di Jubi.id dengan judul Perziarahan Etnografi dan Sejarah Orang Mee dalam Disertasi Benny Giay