Jayapura, Jubi TV– Masyarakat mengaku trauma dan takut dengan kehadiran tentara yang menjaga lokasi Proyek Strategis Nasional atau PSN Sawah 1 juta hektare di Kampung Wanam dan Kampung Wogekel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Pemerintah diminta untuk menarik tentara dan menghentikan PSN Sawah 1 juta hektare yang dijalankan dengan dalil ketahanan pangan itu.
Hal itu disampaikan anggota Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, Pastor Pius Cornelis Manu Pr. “Bagi kami kehadiran tentara, itu tidak membawa efek positif apa-apa. Malah membawa bencana. Itu semua bikin kami trauma,” kata Manu kepada Jubi melalui panggilan telepon pada Selasa (15/10/2024).
Manu mengatakan masyarakat takut kehadiran prajurit TNI itu bukan untuk membela masyarakat adat, namun lebih berpihak kepada perusahaan pelaksana PSN. Manu mengatakan kehadiran prajurit TNI itu bersamaan dengan alat ekskavator yang dikirim kelompok usaha Jhonlin Group untuk pengerjaan proyek sejuta hektare sawah.
“[Di kampung] dalam keadaan aman, dan tiba-tiba [tentara] datang dengan kekuatan yang besar, dengan senjata lengkap, lalu mengadakan tindakan-tindakan yang tidak berpihak sama masyarakat adat. [Tanah] mereka [masyarakat adat] dirampas,” ujarnya.
Manu mengatakan kehadiran prajurit TNI di lokasi PSN itu membuat protes yang dilakukan masyarakat akan semakin berat dan sulit mendapat tanggapan. Apalagi, ada tambahan batalion yang dibentuk Panglima TNI untuk mendukung ketahanan pangan. Manu mengatakan masyarakat adat yang melakukan protes terhadap PSN Sawah saat ini khawatir mereka sedang dicari tentara.
“Untuk seluruh Tanah Papua diturunkan lima batalion. Provinsi Papua Selatan dapat dua batalion, satu di Boven Digoel [dan] Merauke dapat satu [batalion]. Jadi, mereka [tentara] semua itu yang ada di [PSN itu]. Ada anggota TNI yang terus cari tahu melalui masyarakat untuk mendekati pihak yang demo, terutama pihak yang mempunyai kemampuan untuk menghimpun masyarakat. Nah, orang-orang itu yang sedang diincar, entah mau ditanya atau mau dibawa ke pos, saya tidak tahu. Jadi, mereka diikuti, itu yang sedang terjadi. Dengan lperdfaasaangkah-langkah seperti itu, masyarakat merasa tidak nyaman,” ujarnya.
Manu mengatakan masyarakat adat telah berupaya melakukan penolakan terhadap PSN Sawah. Mereka melakukan demonstrasi, bertemu Bupati Merauke, DPR Kabupaten Merauke, Majelis Rakyat Papua Selatan, Penjabat Gubernur Papua Selatan, hingga Keuskupan Agung Merauke. Akan tetapi, tidak ada tanggapan atas penolakan masyarakat adat itu.
Manu mengatakan masyarakat adat dibiarkan sendiri berhadapan dengan perusahaan dan tentara yang ditempatkan lokasi PSN itu. Menurut Manu, masyarakat adat akan terus menyuarakan penolakan terhadap proyek ketahanan pangan tersebut.
“Dengan keterlibatan pasukan yang besar [di lokasi PSN] seperti itu, apa yang kami [protes] ini tidak akan digubris. [Tetapi] apa pun yang kami suarakan, sekurang-kurangnya tercatat dalam sejarah, bahwa masyarakat di sini tidak mudah melepaskan tanah mereka. Bahwa tanah yang dijadikan sebagai lahan ketahanan pangan ini merupakan tanah rampasan,” katanya.
Warga Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, Ariston Moyuwend menuturkan keponakannya mengalami intimidasi yang diduga dilakukan prajurit TNI di Dusun Ongabuk, Kampung Wanam. Menurut Moyuwend, intimidasi itu terjadi saat keponakannya meminta perusahaan tidak memasuki wilayah sakral masyarakat adat Malind.
“Kebetulan [waktu itu] dia di wilayah hak ulayat [kami]. Keponakan saya dengar bunyi alat ekskavator, keluarlah dia ke tempat gusuran. Operator melihat anak [keponakan] saya, kaget, dan berteriak. Di situlah, keluar lima [orang yang diduga] anggota TNI dengan senjata, menyatakan, ‘kenapa kau mau menghalangi pekerjaan ini. Kepalamu mo picah yah’. Mereka arahkan senjata itu ke arah ponakan saya. Ponakan saya menghalangi supaya [ekskavator] tidak menerobos wilayah sakral,” ujar Moyuwend kepada Jubi melalui panggilan telepon, pada Selasa (15/10/2024).
Moyuwend juga mengatakan tentara sedang mencari-cari masyarakat yang membentang spanduk penolakan terhadap Jhonlin Group. Menurutnya, tentara juga mencari warga yang melumuri wajahnya dengan lumpur pada pertemuan dengan Penjabat Gubernur Papua Selatan, Komjen Pol (Purn) Rudy Sufahriadi di Kampung Wanam pada 24 September 2024.
“Aparat TNI mencari tahu siapa yang menulis kalimat penolakan perusahaan PT Jhonlin Group ini. Mereka mau mencari tahu siapa pelaku yang menulis penolakan dan mencari masyarakat yang menggosok wajah dengan lumpur, siapa-siapa orangnya. Jadi, mereka [prajurit TNI] datangi Kampung Wanam dan Kampung Wogekel, mencari siapa-siapa orangnya,” katanya.
Moyuwend mengatakan hingga kini prajurit TNI masih berada di lokasi proyek sawah sejuta hektar itu. Ia mengatakan kehadiran tentara ini membuat masyarakat takut dan trauma.
“Kami masyarakat sudah trauma dengan adanya anggota TNI datang ke kampung-kampung. Kami masyarakat adat di sana mau cari makan selalu ditanya ‘dari mana?’, ‘mau pergi ke mana?’. Masyarakat tidak boleh masuk ke wilayah gusuran. Aparat masih banyak di [lokasi PSN] dan belum ditarik,” ujarnya.
Berdayakan warga
Pastor Pius Cornelis Manu Pr mengatakan masyarakat adat itu butuh program pemberdayaan. Jika mereka menolak PSN 1 juta hektare sawah, itu bukan berarti masyarakat adat di Merauke anti pembangunan atau menolak pembangunan. Masyarakat adat membutuhkan kehadiran pemerintah untuk membuat pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat.
“Pemberdayaan masyarakat, itu yang kami butuhkan. Kami tidak menolak yang namanya pembangunan. Kami amat merindukan pembangunan. Tetapi kami tidak bisa dibangun oleh perusahaan. Kami bukan warga perusahaan. Kami ini warga negara,” katanya.
Manu mengatakan pemerintah melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seharusnya menjalankan program pemberdayaan masyarakat. Manu mengatakan warga membutuhkan program pemberdayaan di bidang kehutanan, perikanan, pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Manu mengkritik OPD di Kabupaten Merauke yang selama ini dinilainya tidak bekerja maksimal. “Pemberdayaan masyarakat baru jalan kalau semua OPD terkait itu turun sampai ke masyarakat bawah. Negara yang harus bangun kami. Negara yang harus membuat orang Papua maju bukan oleh perusahaan. Perusahaan yang datang merusak kami punya wilayah. Lalu dia pungut hasil, dia pulang,” katanya.
Manu mengatakan perusahaan yang menggarap PSN Sawah sejuta hektar adalah lembaga bisnis yang akan mencari keuntungan, dan aktivitas itu dapat merusak hutan. Manu mengatakan perusahaan tidak mungkin mengadakan program pemberdayaan masyarakat. Manu mengatakan hal itu berkaca dari pengalaman perusahaan pengolahan ikan yang pernah beroperasi di wilayah Kimaam.
“Kami punya pengalaman bahwa perusahaan datang bikin rusak wilayah Kimaam. Ada dua perusahaan ikan yang membuat masalah besar di sana, terjadi penembakan manusia di lapangan terbuka Maspura Berdarah 2002 itu. [Waktu itu warga protes] karena perusahaan ikan itu berkali-kali tidak menepati kesepakatan perjanjian menyangkut wilayah nelayan tradisional dan nelayan. [Perusahaan] menggunakan kapal [dengan] alat-alat canggih. Nelayan tradisional ini kan nelayan jaring, pancing. Berkali-kali lapor sampai ke DPR, pemerintah, tidak ada tindakan. Dan [akhirnya] masyarakat serbu itu kapal. [Setelah itu warga yang serbu itu kapal] mereka pergi serahkan diri, dengan tarian perang, mereka masuk mau kasih patah dong punya busur, anak panah, dan tombak segala macam itu, dan serahkan pada pemerintah [sebagai tanda aksi kekerasan itu berakhir]. Tahu-tahu [mereka] dibantai di tengah lapangan. Maspura Berdarah menggemparkan, tapi sampai sekarang proses hukum [terhadap pelaku] belum jelas. Manusia ditembak begitu saja. Berdasarkan pengalaman itu, kami menolak kehadiran perusahaan. Kami trauma dengan perusahaan,” ujarnya.
Audiensi tanpa hasil
Ariston Moyuwend mengatakan masyarakat adat sudah berkali-kali melakukan protes menolak PSN. Mereka juga telah beberapa kali beraudiensi dengan pemerintah maupun pihak perusahaan. Menurut Moyuwend, masyarakat adat pernah menyampaikan protes secara terbuka kepada Penjabat Gubernur Papua Selatan, Komjen Pol (Purn) Rudy Sufahriadi di Kampung Wanam pada 24 September 2024.
“Masyarakat melakukan penolakan, tetapi mereka tidak mau hiraukan. Mereka hanya [mau] tujuan tercapai tanpa ada gangguan dari masyarakat. Dengan adanya aparat TNI, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Masyarakat mau bergerak protes juga mereka takut. Kampung-kampung seperti jadi [pos TNI] dan kampung mati. Semua aparat di provinsi/kabupaten dukung program pemerintah pusat. Masyarakat mau mengeluh ke siapa? Pemerintah provinsi/kabupaten hingga tingkat distrik tidak mau mendengarkan keluhan masyarakat. Kenapa kami ditindas terus begini?” ujarnya.
Moyuwend mengatakan masyarakat adat tidak butuh PSN Sawah sejuta hektare sawah tersebut. Ia mengatakan masyarakat adat tidak percaya dengan janji kesejahteraan yang ditawarkan perusahaan maupun pemerintah pusat.
“Kami trauma dengan berbagai macam perusahaan yang masuk di wilayah kami. Terutama kami di Distrik Ilwayab, itu ada perusahaan ikan [yang pernah beroperasi dulu]. Perusahaan itu pernah berjanji akan membangun sekolah, gereja, [katanya] kami [bisa] kirim anak-anak untuk sekolah, kuliah. Namun [mereka] tidak memenuhi janji itu. Jadi kami trauma. PSN ini, mereka mau janji lagi, buat segala macam perjanjian,” katanya.
Moyuwend mengatakan masyarakat adat akan terus bergerak melakukan penolakan terhadap kehadiran proyek tersebut. Masyarakat adat telah melakukan pemalangan dan memasang Sasi (penanda suatu wilayah ditutup secara adat) pada 12 Agustus 2024.
“Kami tidak butuh perusahaan yang [membabat hutan kami]. Kami masyarakat adat sepakat menolak PSN masuk di daerah kami, karena hutan sumber mata pencaharian kami. [Apa lagi mereka] kayak orang pencuri, tidak ketuk pintu, tidak berkoordinasi dengan kami, pemilik hak ulayat. Kenapa kami ditindas terus begini?”
Moyuwend mengeluh karena perusahaan maupun pemerintah tidak menanggapi penolakan yang dilakukan masyarakat adat. Ia berharap ada jalan keluar atas persoalan yang sedang dihadapi masyarakat adat yang terdampak PSN itu, di antaranya marga Kahol, Ndiken, Gebze, Balagaize, Moyuwend dan Basik-Basik
“Kalau pemerintah menganggap kami sebagai bagian dari NKRI, harus duduk dan bicara. Pemalangan itu pun tidak dihiraukan oleh pihak perusahaan. Mereka tetap lanjut dengan penggusuran lahan itu. Masyarakat bersuara [lakukan] penolakan-penolakan, mereka tidak hiraukan itu,” katanya.
Teddy Wakum dari LBH Papua Pos Merauke mengatakan kehadiran prajurit TNI di lokasi proyek menciptakan rasa tidak aman bagi masyarakat adat. Wakum mengatakan keterlibatan TNI di PSN Sawah di Merauke berpotensi menambah kekerasan terhadap orang asli Papua. Ia mendesak agar pemerintah menarik prajurit TNI dari lokasi proyek ketahanan pangan tersebut.
“Keterlibatan militer dalam proyek food estate PSN Merauke berpotensi mengancam terjadinya kekerasan [terhadap masyarakat adat]. Serta melanggar undang-undang [TNI] dan kebijakan internasional berhubungan dengan prinsip dan tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Wakum kepada Jubi, pada Selasa.
TNI bantah dugaan intimidasi
Kepala Penerangan Kodam atau Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Candra Kurniawan meminta Jubi menghubungi Dandim 1707/Merauke, Letkol Inf Jhony Nofriady SE M Han terkait dugaan intimidasi tersebut. “Coba konfirmasi ke Komandan Kodim (Dandim) Merauke,” kata Candra kepada Jubi, melalui layanan pesan WhatsApp pada Selasa.
Komandan Kodim (Dandim) 1707/Merauke, Letkol Inf Jhony Nofriady SE M Han membantah bawah ada anggota prajurit mencari warga yang melakukan protes atas PSN Sawah. Ia juga mengatakan prajurit TNI tidak melakukan intimidasi kepada warga, apalagi menodongkan senjata api.
“Wah ditodong senjata? Enggak mungkin lah. Kami tidak pernah mencari orang yang protes. Saya malah tanya, emang ada yang protes? Kita bedakan antara protes dan menyampaikan keluhan masyarakat. Yang terjadi, saudara-saudara itu menyampaikan keluhannya,” kata Jhony kepada Jubi melalui layanan pesan WhatsApp, pada Selasa.
Jhony mengatakan kehadiran prajurit TNI itu untuk mendukung ketahanan pangan demi kesejahteraan masyarakat. Ia mengatakan prajurit TNI tidak akan melakukan kekerasan terhadap masyarakat.
“TNI ada di sana untuk mendukung program nasional dan untuk menyejahterakan masyarakat di sana. Semakin ramai suatu daerah, semakin berputar perekonomian di sana. Kami [TNI juga] kasih bibit sayuran [buat masyarakat], dan hasilnya nanti di beli oleh kami,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayjen Haryanto menyatakan jika benar ada prajurit TNI yang melakukan kekerasan terhadap warga, prajurit TNI itu akan diproses secara hukum. Ia menyatakan komandan lapangan prajurit TNI juga akan bertanggung jawab jika anak buah mereka terbukti melakukan kekerasan terhadap warga.
“Apabila memang benar ada kekerasan yang dilakukan personel TNI di lapangan maka komandan lapangan secara berjenjang akan bertanggung jawab. Tapi kita jangan sampai diprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan berita hoaks untuk keuntungan pribadi, sengaja merusak kemajuan dan kedamaian di Tanah Papua. Kita harus lebih jeli melihatnya, dan bertanya langsung kepada sumber yang lebih menguasai,” kata Haryanto kepada Jubi melalui layanan pesan WhasApp pada Rabu. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id