Merauke, Jubi TV– Wakil Presiden (Wapres) Indonesia Ma’ruf Amin melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Kabupaten Merauke, Papua Selatan (Papsel), pada Senin (3/6/2024) hingga Selasa (4/6/2024). Selama berkunjung dua hari di Merauke, Ma’ruf Amin dijadwalkan melakukan serangkaian kegiatan.
Dua pekan sebelumnya, pada Jumat (17/5/2024), Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga bertandang ke Kabupaten Merauke. Setelahnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga mengunjungi Merauke yakni pada 29 Mei dan 1 Juni 2024.
Wapres Ma’ruf Amin dalam dua hari kunjungannya di Kabupaten Merauke, melakukan pertemuan dengan Forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda), tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat Papua Selatan. Tatap muka dan audiensi berlangsung di Swiss-Belhotel Merauke.
Setelah pertemuan dengan para tokoh, Ma’ruf Amin mencanangkan pembangunan infrastruktur pusat pemerintahan Provinsi Papua Selatan yang ditandai dengan peletakan batu pertama secara simbolis. Lahan pusat pemerintahan Papsel sendiri berlokasi di KTM Salor, Distrik Kurik, yang berjarak 56 kilometer dari pusat kota Merauke.
Usai melaksanakan dua agenda di Kota Merauke, Ma’ruf Amin didampingi sejumlah pejabat meninjau perkebunan tebu di kawasan Sermayam, Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring. Pilot project perkebunan tebu dilaksanakan PT Global Papua Abadi di atas lahan seluas 506 hektare. Total lahan yang akan digarap seluas 150 ribu hektare dengan nilai investasi Rp53.8 Triliun.
Kunjungan tiga pejabat negara ke wilayah ufuk timur Indonesia ini erat kaitannya dengan mega proyek Food Estate yang dikemas dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Swasembada Gula di 2027, dan bioetanol sebagai bahan bakar nabati. Sehingga dapat dipastikan pemerintah sedang memuluskan kegiatan investasi perkebunan tebu tersebut.
Rencana ini diperkuat ketika Presiden Joko Widodo pada 24 April 2024 lalu menunjuk Menteri Investasi/Kepala Badan BKPM Bahlil Lahadalia untuk mengeksekusi proyek tersebut. Bahlil menerima mandat sebagai ketua satuan tugas percepatan swasembada gula dan bioetanol di Merauke, Papua Selatan.
Penunjukan Bahlil sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Secara struktur, satuan tugas ini ada menteri lingkungan hidup dan kehutanan, dan menteri agraria dan rata ruang sebagai wakil ketua. Lalu ada sejumlah menteri yang menjadi anggota satgas, antara lain menteri dalam negeri, menteri keuangan, menteri pertanian, menteri PUPR, menteri BUMN, dan kepala badan karantina Indonesia.
Dalam skema PSN, dua juta hektare lahan di Merauke, Papua Selatan, akan digunakan untuk perkebunan tebu, pabrik gula, industri bioetanol, pembangkit listrik, infrastruktur pendukung serta termasuk program cetak sawah seluas 1 juta hektare. Proyek raksasa perkebunan dan energi ini diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan swasembada gula dan bioetanol nasional yang selama ini bergantung pada impor. Nilai investasi yang digelontorkan untuk merealisasikan proyek ini adalah sebesar Rp130 Triliun.
Wapres Ma’ruf Amin saat meninjau lahan tebu PT Global Papua Abadi (GPA) di Kampung Ngguti Bob, menyatakan pemerintah ingin menjadikan Merauke sebagai pusat perkebunan dan pertanian, sehingga nanti dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional maupun dunia. Karenanya pemerintah mendorong swasembada pangan beras, jagung, kedelai termasuk gula dari Merauke, Papua Selatan.
“Hari ini saya melihat pabrik gula terbesar yang sedang dikerjakan. Kebutuhan gula di Indonesia setiap tahunnya naik, di 2023 saja kita impor 6 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri. Diperkirakan 2045 itu penduduk kita mencapai 325 juta orang, dan itu jadi semakin banyak kita impor [kalau tidak diproduksi di Indonesia],” kata Ma’ruf Amin.
Ma’ruf Amin mengatakan bahwa Merauke dipilih untuk perkebunan tebu dan industri gula, karena ketersediaan lahan yang sangat luas. Selain itu cuacanya sangat mendukung, sehingga sangat cocok untuk tanaman tersebut. Karenanya pemerintah optimistis pengembangan perkebunan tebu di Merauke dapat berhasil, bahkan hingga memiliki kadar gula (rendemen) di atas 11 persen seperti Australia.
“Australia sudah berhasil mengembangkan pabrik gula melalui penanaman tebu di sana. Bahkan rendemennya sudah sampai pada 11 – 12 persen. Kita di Jawa Timur itu baru sampai 6 – 7 persen. Kalau kita berhasil, ini [hasilnya nanti] bukan hanya untuk meningkatkan kehidupan di Merauke, Papua Selatan, tapi juga untuk kepentingan nasional,” katanya.
Wapres menambahkan pemerintah menargetkan produksi gula dari Merauke di atas dua juta ton, dan ratusan juta liter bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Untuk mendukung produktivitas gula dan bioetanol, proyek raksasa di sana akan menggunakan sistem pertanian modern, mekanisasi, teknologi dan peralatan modern.
“Untuk tenaga kerja di sini, sekarang itu melibatkan tenaga lokal. Tapi ke depan, karena sistemnya mekanisasi, jadi [ke depan] tidak banyak memerlukan tenaga itu. Mungkin cukup tenaga lokal saja yang menjadi mekanik, termasuk mengoperasikan peralatan,” katanya.
Mimpi besar penguasa dan pengusaha
Melalui skema hilirisasi perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol, pemerintah berambisi memproduksi 2,6 juta ton gula dan 244 juta liter bioetanol dari lahan seluas 2 juta hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Ambisi pemerintah ini dipastikan berjalan mulus karena diperkuat dengan regulasi, antara lain Perpres Nomor 40 Tahun 2023, Permenko Nomor 8 Tahun 2023, dan Keppres Nomor 15 Tahun 2024.
Namun oleh sebagian besar orang, “mimpi besar” pemerintah ini sangat berbahaya, karena dianggap mengabaikan kelangsungan hutan dan eksistensi masyarakat adat pemilik hak ulayat di sana. Pemerintah bahkan belum menampakkan bentuk kajian sosial ekologis perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol di Merauke.
Apakah hal itu (kajian sosio ekologi) telah dilakukan? Dan seperti apa hasilnya? Hingga kini publik belum melihat sejauh mana hasil dari kajian dimaksud. Sebab hasil kajian ini sangat penting bagi semua pihak untuk menentukan bagaimana nasib masyarakat adat dan hutan Merauke, Papua Selatan ke depannya.
Menteri Investasi/Kepala Badan BKPM Bahlil Lahadalia dalam kunjungannya di Merauke, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa sebenarnya tanpa dikaji pun, perkebunan tebu dapat berjalan. Sebab pada tahun 1920 silam, tanaman tebu pernah dibudidayakan di Merauke.
“Tanpa kita kaji pun, kan 1920 barang ini [budi daya tebu] di sini sudah ada. Kita ini terlalu banyak kajian juga, tapi yang jelas kajiannya tetap jalan. Kajian penting, tapi secara kontur tanah, saya dijelaskan oleh tim perusahaan bahwa tanah di sini sangat cocok untuk tebu, hampir sama dengan Australia,” kata Bahlil.
Bahlil mengatakan secara umum Kabupaten Merauke didominasi oleh pohon kayu putih atau ekualiptus, rawa-rawa dan savana. Sedangkan pohon-pohon pelindung utama seperti Merbau dan pohon alami tidak ada. Sehingga menurut dia pula tidak akan ada dampak negatif dari kegiatan perkebunan tebu di sana.
“Mana ada hutan di tengah-tengah Merauke ini. Yang ada semua itu kayu putih, rawa-rawa, terus savana. Mana ada yang kita mau gusur. Justru dengan kehadiran tebu ini bikin drainase supaya bagus lingkungannya, terkecuali di situ masih ada kayu merbau, kayu-kayu alami, tumbuhan-tumbuhan besar, ini kan tidak ada. Jadi saya pikir tidak ada masalah,” ujarnya.
Pimpinan Proyek PT Global Papua Abadi Totok Lestyo dalam kunjungan Wapres Ma’ruf Amin kemarin, melaporkan bahwa di kawasan perkebunan tebu Sermayam nantinya akan dibangun lima pabrik gula dan pabrik bioetanol. Perusahaan berencana mengembangkan lahan seluas 500.000 hektare dengan target area penanaman seluas 320.000 hektare. Ratusan ribu hektare area itu mencakup perkebunan tebu, pabrik gula, pabrik bioetanol dan pembangkit listrik.
“Di sini [dari perkebunan tebu di Sermayam], rencana kita akan membuat 2,6 juta ton gula dan 244 juta liter bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Papua Selatan pada perencanaan 2025-2029 diproyeksikan akan menjadi pusat pertanian, perkebunan, kelautan, dan pariwisata,” kata dia.
Totok Lestyo mengatakan pengembangan industri gula dan bioetanol nasional dari Kabupaten Merauke diterapkan dengan praktik-praktik berkelanjutan dan mendorong agenda ekonomi sirkular dalam skala yang lebih besar. Perusahaan itu menargetkan produksi gula sejumlah 2,6 juta per tahun dari empat pabrik yang bakal dibangun di sana. Sementara produksi bioetanol sejumlah 244 juta liter per tahun melalui dua fasilitas penyulingan.
“GPA bekerja sama dengan Sugar Research Australia dan P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) untuk mendapatkan bibit-bibit unggul yang cocok untuk dikembangkan di Merauke, dan mempunyai produktivitas tinggi sehingga mendukung produksi gula sesuai target secara optimal. GPA juga bekerjasama dengan lembaga pendidikan di Merauke untuk melakukan pelatihan terhadap lulusan baru maupun tenaga lokal,” ujarnya.
Pusaka sebut masa lalu MIFEE meninggalkan kehancuran hutan
Direktur Pelaksana Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan dampak negatif dari proyek Merauke Integrated Food And Energy Estate (MIFEE) pada 2010 di Kabupaten Merauke dan sekitarnya meninggalkan masalah ekologis di masa kini. Sebab penghancuran kawasan hutan dalam skala luas di sana berimplikasi pada kerusakan ekosistem, seperti banjir dan masalah lingkungan dan sosial lainnya.
“Dampak proyek MIFEE di masa lalu bisa kita lihat hasilnya pada masa kini, misalnya di isu ekologi dengan adanya penghancuran kawasan hutan dalam skala luas utamanya di daerah hulu di Kabupaten Merauke berimplikasi pada kerusakan ekosistem yang kemudian berdampak seperti yang kita lihat terjadi banjir di sejumlah wilayah Merauke,” kata Franky Samperante.
“Dan itu tidak hanya berdampak pada lingkungan sekitar kawasan hutan yang dirusak, tapi juga berdampak pada kehidupan manusia dan ekosistem yang ada di Kota Merauke. Kita melihat ada masalah banjir di Merauke, dan pemerintah ikut menanggung beban persoalan ini dengan mengeluarkan biaya sosial yang besar sekali untuk menanganinya dan menangani pemulihan kehidupan masyarakat,” katanya.
Sementara dari dampak sosial, kata Franky Samperante, dapat terlihat dari janji-janji pemerintah dan perusahaan bahwa proyek MIFEE dalam skala besar itu akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat, pemilik tanah maupun masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan serta para pekerja lokal maupun yang didatangkan untuk proyek MIFEE.
“Realitasnya bisa kita lihat ternyata ada eksploitasi terhadap buruh baik orang asli Papua maupun buruh yang didatangkan oleh perusahaan. Ada banyak informasi yang disampaikan oleh buruh terkait eksploitasi keberadaan mereka sebagai buruh dan juga kepada masyarakat adat setempat yang menjadi pemilik tanah maupun masyarakat setempat yang berada di sekitar lingkungan perusahaan,” ujarnya.
“Tidak ada relevansi terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Bisa kita lihat kehidupan orang Marind [suku besar Merauke] yang di Zenegi atau orang Marind yang ada di Muting, Ulilin dan sekitarnya. Mereka cenderung sebagai penonton dibandingkan sebagai pekerja dan memberikan kesejahteraan bagi mereka,” katanya.
Dengan pengalaman MIFEE itu, dia berpendapat proyek strategis nasional swasembada gula dan bioetanol tidak akan memberikan dampak positif kepada masyarakat. Justru proyek itu akan menimbulkan berbagai macam permasalahan sosial lingkungan bagi kehidupan masyarakat dan dunia.
Terkait kebijakan PSN, Pusaka meminta pemerintah untuk segera menghentikan rencana tersebut, dan segera melakukan kajian sosio-ekologi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi terhadap proyek-proyek yang sedang berlangsung saat ini, baik perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun perusahaan tanam industri yang ada di Kabupaten Merauke. Evaluasi ini perlu untuk meninjau janji-janji pemerintah maupun perusahaan.
“Dan jika ada masalah atau memang hak-hak masyarakat yang diabaikan, maka pemerintah harus segera melakukan pemulihan terhadap hak-hak masyarakat, termasuk juga keberadaan lingkungan hidup yang rusak karena aktivitas perusahaan yang mereka harus bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi,” kata Franky Samperante.
Menurut dia, pemerintah juga perlu melakukan kajian apakah proyek swasembada gula dan bioetanol sesuai dengan aspirasi masyarakat adat di sana. Perlu juga dilakukan kajian lingkungan hidup dan terkait apakah masyarakat dapat mempunyai daya dukung terhadap proyek itu.
“Sebab menurut kami, berdasarkan dari sejumlah kajian, terkait dengan daya dukung lingkungan hidup yang ada di Merauke, Papua Selatan ini tidak akan menjamin, utamanya terkait dengan proyek-proyek besar, akan berisiko bagi implementasi maupun hasil proyek itu di masa depan,” ujarnya.
Franky Samperante menambahkan kebijakan dan keberadaan PSN itu hanya memberikan keuntungan yang besar bagi investor, bukan bagi masyarakat. Pemerintah memberikan kemudahan perizinan dan bahkan ada beberapa perusahaan yang tidak mengikuti mekanisme perizinan sebagaimana mestinya, misalnya harus memperoleh persetujuan dari masyarakat dan harus berdasarkan kajian terkait dengan dampak sosial maupun dampak lingkungan.
“Nah, ini sampai sekarang kita masih mencari dokumennya [dokumen kajian PSN swasembada gula dan bioetanol], itu tidak ada. Dan itu [dengan tidak adanya kajian] mungkin bagian dari pada kemudahan yang diberikan untuk memperlancar proyek,” katanya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id