Jayapura, Jubi TV– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Papua, kembali menegaskan sikap mereka yang menolak investor industri ekstraktif karena mengeksploitasi hutan. Menurut mereka, pemekaran provinsi makin mendorong maraknya investasi yang mengancam kelestarian alam di Tanah Papua.
Direktur Walhi Papua Maikel Primus Peuki menyatakan mereka tetap menolak kehadiran perusahaan yang merampas hutan dan lahan adat di Tanah Papua. Sebab, kehadiran perusahaan telah menggusur kehidupan masyarakat adat dan melenyapkan keanekaragaman hayati.
“Kami tolak perusahaan yang merampas tanah adat. Mereka [masyarakat adat] kehilangan tempat tinggal, apotek tradisional [tumbuh-tumbuhan obat], hutan, dan mata pencarian [akibat aktivitas perusahaan],” kata Peuki dalam diskusi publik memperingati Hari Bumi, Kamis (25/4/2024).
Di tengah maraknya eksploitasi hutan, dan ancaman perampasan lahan adat, Walhi Papua mendorong kesadaran publik akan hal itu melalui diskusi yang mereka gelar. Mereka ingin masyarakat luas terlibat aktif dalam menghormati dan melestarikan alam Tanah Papua.
Ketua Dewan Kehutanan Papua Weynand B Watory mengatakan kondisi hutan Papua sedang menuju kehancuran. Penghancuran itu hanya membutuhkan waktu sekitar 20 tahun.
“Penghancuran itu bisa terjadi hanya dalam dua dekade, tidak sampai setengah abad. Orang gali tambang, buka perkebunan, permukiman transmigrasi, pasti merusak hutan,” kata Watory, yang menjadi pemantik diskusi.
Dia menegaskan kelestarian hutan di Tanah Papua hanya di atas kertas atau data versi pemerintah. Faktanya, kelestarian itu dalam ancaman besar.
“Pemerintah menyebut 80 persen [wilayah daratan di] Tanah Papua tertutup hutan. Namun, sebenarnya hutan, dan tanah adat dalam bahaya besar saat ini [terancam kelestariannya],” kata ketua lembaga yang bernaung pada Dewan Adat Papua, tersebut.
Karena itu, Watory mengingatkan Orang Asli Papua wajib menjaga hutan dan lahan adat. Mereka jangan pernah menjualnya jika masih mengaku hutan sebagai ibu kehidupan.
“Orang Papua jangan ikut-ikutan jual tanah, hutan, pulau, dan mangrove. Ini tidak boleh terjadi. Kalau kita mencintai tanah sebagai mama kita [ibu kehidupan], ya kita jaga!,” kata Watory.
Menurutnya, pihak Gereja juga mesti menyadartahukan masyarakat mengenai pelestarian alam. Mereka bisa mengagungkannya melalui khotbah ataupun ceramah keagamaan lain.
“Jangan [hanya] bilang kasihi Tuhanmu, dan sesamamu, tetapi juga harus kasihi lingkungan hidup. Jaga hutan itu juga penting,” ujar Watory.
Maria Magdalena Ude Tokio, seorang peserta diskusi mengapresiasi kegiatan yang diselenggarakan Walhi Papua, tersebut. Dia bilang, itu bisa membangun kesadaran kaum muda untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan.
“Kalau hutan atau tanah [adat] hilang, [partisipasi] perempuan juga hilang. Yang tebang, dan tokok [olah] sagu itu, perempuan. Ke mana mereka akan pergi [bekerja] jika hutan sagu berganti dengan kelapa sawit?,” kata Tokio. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id