Jayapura, Jubi TV– Hutan alam Tanah Papua merupakan benteng terakhir untuk melindungi kelestarian ekosistem di Indonesia. Namun, kondisinya saat ini juga banyak yang rusak akibat pembukaan lahan untuk industri ekstraktif.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Uli Arta Siagian menyatakan beberapa kebijakan pemerintah justru mendorong laju percepatan perusakan hutan di Tanah Papua. Dia mencontohkan pembukaan hutan seluas dua juta hektare untuk perkebunan tebu di Merauke.
“Beberapa kebijakan [pemerintah] telah mengubah [mengalihfungsikan] hutan alam menjadi kawasan konsesi industri ekstraktif, seperti perkebunan tebu di Merauke. [Sebelumnya,] hutan-hutan juga telah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, dan tanaman industri sehingga terjadi pembabatan besar-besaran,” kata Uli dalam diskusi ‘Pantau Lingkungan Hidup di Tanah Papua’, Kamis (20/6/2024).
Uli melanjutkan ekspansi industri ekstraktif di Indonesia merambah ke wilayah timur dalam dua dekade terakhir. Tren itu sejalan keinginan pemerintah sehingga makin mempercepat keruntuhan ekologis di Indonesia.
“Perusakan itu berdampak terhadap seluruh masyarakat global. Jadi, perjuangan masyarakat adat [dalam mempertahankan hutan] sebenarnya mewakilkan kepentingan kita [masyarakat dunia] sehingga harus didukung,” kata Uli.
Direktur Walhi Papua Maikel Primus Peuki menyatakan luas penguasaan hutan oleh setiap investor rata-rata di atas 10 ribu hektare di Tanah Papua. Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah menghentikan pemberian izin konsesi hutan alam untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat adat.
“Masyarakat adat Papua terdiri atas marga yang kehidupannya sangat bergantung terhadap sumber daya hutan. Ketika hutan dibabat, identitas dan asal usul mereka [masyarakat adat] juga ikut hilang,” kata Maikel Peuki.
Peuki menegaskan perusakan hutan tidak hanya mengancam kehidupan warga di sekitarnya. Dampak buruk tersebut juga pasti dirasakan warga yang bermukim di pesisir dan kepulauan.
“Ketika hutan di daratan habis, akan memicu kenaikan air laut. [Pembabatan hutan] itu yang menjadi penyebab perubahan iklim,” ujarnya.
Menurutnya, praktik eksploitasi terhadap sumber daya alam tersebut telah ditentang sejumlah komunitas adat di Tanah Papua. Mereka melawan secara terang-terangan dan melalui jalur hukum.
“Masyarakat Marind melawan pembukaan perkebunan kelapa sawit pada hutan adat mereka di Merauke. Begitu pula Suku Namblong di Kabupaten Jayapura, dan sejumlah masyarakat adat di Nabire, Sorong, Kaimana, serta Fakfak, menentang alih fungsi hutan,” kata Pueki. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id