Jubi TV– Majelis Rakyat Papua atau MRP menilai rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua yang dicanangkan pemerintah akan membunuh Orang Asli Papua. Pemekaran provinsi di Tanah Papua dinilai tidak layak dan terlalu dipaksakan oleh pemerintah pusat
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Kelompok Kerja Adat MRP, Minggus Madai dalam diskusi daring bertajuk “Media Briefing: Hak-hak Orang Asli Papua dan Polemik Pemekaran Provinsi Papua” yang dilaksanakan Public Virtue Research Institute pada Rabu (23/2/2022). Madai mengatakan jumlah Orang Asli Papua sangat sedikit, sehingga pemekaran itu tidak layak dan tidak memenuhi syarat untuk dilakukan.
Madai menjelaskan jumlah Orang Asli Papua di Provinsi Papua hanya 2 juta jiwa. Jika Provinsi Papua dimekarkan menjadi empat provinsi, jumlah Orang Asli Papua di setiap provinsi yang dimekarkan sangat sedikit.
“Luas wilayah oke, sumber daya alam memang ada, tapi sumber daya manusia sangat minim. Apa lagi [jumlah] penduduk, tidak memenuhi syarat. Jadi [rencana] pemekaran itu, kami orang Papua menganggap [itu] mesin pembunuh orang Papua,” ujarnya.
Madai mengatakan pemerintah seharusnya menyelesaikan persoalan yang bertumpuk-tumpuk di Papua, yang sudah terjadi puluhan tahun, dan terus terjadi di Papua. Menurutnya, Presiden Joko Widodo yang berulang kali mengunjungi Papua semestinya bisa menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.
“Pak Presiden turun dari bandara, langsung naik mobil ke tempat tujuan yang beliau kunjungi, setelah itu kembali [ke Jakarta]. Presiden tidak ada tanya [masyarakat] di Papua itu ada masalah apa, di daerah konflik itu di daerah mana, proses penyelesain itu seperti apa? Presiden tidak tanya hal-hal itu,” katanya.
Menurut Madai, permasalahan di Papua dapat diselesaikan melalui cara dialog dengan melibatkan semua pihak. Misalnya konflik yang terjadi Kabupaten Lanny Jaya, kata Madai, seharusnya Presiden dapat memanggail Bupati, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda. Lalu, bersama Gubernur, DPR Papua, MRP, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih dan Kepala Kepolisian Daerah mencari solusi menyelesaikan berbagai masalah tersebut.
Namun, hal seperti itu tidak dilakukan, karena pemerintah sibuk mewacanakan pemekaran di Papua. “Solusi kecil begini saja Presiden tidak lakukan. Jadi orang Papua hari ini bingung, ini negara serius [atau] tidak urus masalah di Papua? [Bicara] pemekaran [itu kan] orang di Jakarta [yang] mau,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute (PVRI), Miya Irawati mengatakan upaya pemekaran yang terus didengungkan pemerintah tidak semata-mata demi meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran hidup masyarakat Papua. Miya menyatakan rencana pemekaran lebih dipengaruhi kepentingan politik negara di Papua yang cenderung Jakarta sentris.
Menurutnya, pemekaran provinsi di Tanah Papua juga dibuat untuk melakukan pemisahan kekuatan poltik masyarakat bawah. Pedekatan negara di Papua yang selalu mengedepankan paradigma militerisme atau keamanaan telah menguatkan kebutuhan pemekaran wilayah, antara lain untuk penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) baru, dan hal itu akan berdampak kepada distribusi pasukan TNI yang semakin masif di pelosok Papua.
“Nah, ini yang sebenarnya kita tidak sadari. Bahwa dampaknya akan sejauh itu,” katanya. (*)