Jayapura, Jubi TV– Sejumlah tokoh bangsa di Jakarta dan 16 organisasi masyarakat sipil mengeluarkan seruan bersama pada Jumat (29/12/2023) yang meminta pemerintah mengakhiri siklus kekerasan di Tanah Papua.
Seruan itu dikeluarkan pasca amuk massa yang terjadi di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura, Provinsi Papua, saat pengantaran jenazah Gubernur Papua periode 2013 – 2023 ke rumah duka di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, pada Kamis (28/12/2023).
Mereka mengingatkan amuk massa yang terjadi Kamis tidak lepas dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah pusat.
Seruan itu ditandatangani Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Prof Dr Franz Magnis Suseno SJ, Marzuki Darusman, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Alissa Wahid, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt Gomar Gultom, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKP-PMP) Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Siprianus Hormat.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang turun menandatangani seruan itu adalah Amnesty International Indonesia, SKPKC Fransiskan Papua, Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), LBH Papua, KontraS Tanah Papua, Satya Bumi, Public Virtue Research Institute, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Foker LSM Papua, PAHAM Papua, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, dan SKPKC-OSA Papua.
Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menyampaikan rasa prihatinnya atas amuk massa yang terjadi di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura saat pengantaran jenazah Lukas Enembe pada Kamis. Sinta mengatakan semua pihak harus berupaya menghentikan siklus kekerasan dan menahan diri untuk tidak membiarkan konflik di Tanah Papua terus berlanjut. “Kami turut prihatin atas situasi ini dan penderitaan yang ditanggung korban atas insiden kemarin. Jika dibiarkan, maka kekerasan akan terus berulang,” ujarnya.
Pdt Gomar Gultom mengecam segala bentuk kekerasan oleh siapapun, baik oleh aparat keamanan maupun warga, apalagi telah menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan kerusakan fasilitas umum. “Kita masih berada dalam suasana Natal yang sangat mengagungkan kedamaian,” katanya.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid mengatakan bahwa dinamika Papua saat ini tidak terlepas dari tingginya tingkat ketidakpercayaan berbagai komponen masyarakat di Papua terhadap pemerintah pusat.
Menurutnya, hal itu disebabkan langkah pemerintah pusat yang terus mengabaikan suara masyarakat Papua atas ketidakadilan yang selama ini terjadi di Tanah Papua.
“Telah banyak kritik terkait pengabaian suara masyarakat Papua dalam berbagai proses pemerintahan dan kebijakan pembangunan di sana, termasuk dalam hal pembentukan daerah otonomi baru maupun pembukaan tambang dan bisnis ekstraktif skala besar,” ujar Alissa.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti juga menilai situasi yang tengah terjadi di Papua saat ini tidak dapat dilihat sebagai insiden konflik yang hanya meletus sekali. Menurutnya, amuk massa di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura pada Kamis tidak terlepas dari berbagai peristiwa yang telah terjadi di Tanah Papua.
Abdul Mu’ti mendesak pemerintah Indonesia untuk berkomitmen menyelesaikan situasi di Papua saat ini dengan mengedepankan solusi yang bermartabat dan damai bagi masyarakat Papua. “Perdamaian di Tanah Papua perlu dihadirkan hadir bersamaan dengan keadilan,” ujarnya.
Franz Magniz-Suseno mengatakan Pemerintah Indonesia terus mengecewakan masyarakat Papua karena tidak serius menangani pelanggaran HAM berat di tingkat nasional dan juga di Papua secara benar dan adil. “Sebagaimana yang pernah ada di Intan Jaya, Wasior, hingga Wamena,” katanya.
Mantan Jaksa Agung RI, Marzuki Darusman turut menyatakan keprihatinannya atas situasi Papua. Ia meminta semua pihak harus menghentikan kekerasan segera. “Negara harus tetap menilai situasi di Papua saat ini sebagai hal ketertiban, dan bukan masalah keamanan. Negara juga harus memecahkan awal duduk perkara sebenarnya,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengingatkan langkah represif yang digunakan pemerintah pusat untuk menangani berbagai kasus amuk atau kekerasan oleh massa sebelumnya justru memperburuk situasi. Langkah hukum yang ditempuh lebih menyerupai kriminalisasi tokoh politik tertentu yang bukan pelaku amuk massa, dan justru menambah ketidakpercayaan Orang Asli Papua terhadap pemerintah pusat.
“Penggunaan pasal makar untuk memberangus kebebasan berbicara, kekerasan oleh aparat keamanan, serta eksekusi di luar hukum turut menambah daftar kekecewaan orang Papua terhadap pemerintah pusat. Negara harus berhenti melakukan aksi represif dalam menanggapi kritik yang disampaikan masyarakat Papua,” katanya. (*)