Jubi TV– Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Rudolof Fatem mengabarkan , salah seorang warga pengungsi bernama Samuel Saisor (42) meninggal dunia di tempat pengungsian, Maybrat, Papua Barat
“Akibat dari penyakit maag dan kekurangan darah. Sehingga, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 01.00 siang waktu Papua Barat, di tempat pengungsian,” katanya saat menjawab panggilan telepon Reporter Jubi, Minggu malam (20/2/2022).
Fatem mengatakan, Samuel Saisor berasal kampung Tegemana, Aifat Timur Jauh, menghembuskan nafas terakhirnya karena tidak mendapatkan akses berobat ke rumah sakit.
“Dari tempat pengunsian ia dibawa ke kampung atau rumah kediamanya di Kampung Tegemana distrik Aifat Timur jauh untuk dikebumikan,” katanya.
Fatem mengatakan, Samuel Saisor sebagai seorang masyarakat kampung Tegemana, berprofesi sebagai petani.“Almarhum meninggalkan istri bersama dengan empat anak. Tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki,” katanya.
Sekitar 575 pengungsi di Maybrat adalah anak usia sekolah
Fatem menceritakan, sejak tanggal 2 September 2021 terjadi penyerangan di Pos Ramil Kisor. Bakutembak terjadi antara TPNPB dan TNI POLRI. Akibatnya ratusan masyarakat ikut mengungsi ke hutan.
“Samuel Saisor beserta keluarganya juga ikut mengungsi ke hutan. Samuel Saisor jatuh sakit pada bulan oktober 2021. Sewaktu Almarhum mau sakit, kami sempat berusaha mau bawa keluar namun tidak bisa sebab semua jalan keluar diblokade TNI/POLRI,” katanya.
Pihaknya sempat mengupayakan mengevakuasi Saisor melalui Bintu, Maybrat ,Sorong Selatan. Namun akses itu dijaga ketat oleh aparat gabungan TNI/POLRI.
“Kami bawa kembali dan bertahan di hutan. Sampai sakit, dia kekurangan darah dan maag. Selama beberapa hutan tidak makan baik. Tidak terjamin kesehatannya,” katanya.
Atas kejadian itu, dia berharap semua pihak, baik gereja, LSM, tim dari Komnas HAM dan PBB bisa meninjau Tanah Papua dan Papua Barat, melihat situasi seperti ini.
“Kami masyarkat sipil yang mengungsi di kampung halaman mereka sendiri. Sampai kapan warga ini mau tinggal di hutan. Kami harapkan agar ada desakan dari semua elemen perjuangan, agar dari PBB bisa melihat situasi pelanggaran HAM terjadi di Papua dari tahun 2018-2022, kami minta PBB turun ke Papua dan Papua barat untuk melihat kondisi masyarakat. Ini persoalan kemanusiaan yang serius,” katanya.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits B Ramandey mengatakan, pemerintah Indonesia perlu ingat, dalam situasi tertentu bisa terjadi intevensi yang besar dari dunia internasional terhadap Papua.
“Memang dalam mekanisme HAM menghormati kedaulatan. Tetapi ketika PBB sudah mengirimkan Special Procedures Mandate Holders, ini mekanisme intervensi,” katanya.
Ramandey mengatakan isu HAM ini bisa berimplikasi hukum, tapi juga politik. Itu sangat berbahaya. “Karena, dalam konteks Papua, itu bukan konteks kekerasan biasa. Untuk Papua, itu konteks yang mempunyai tujuan politik. Jadi pemerintah Indonesia harus meresponsnya,” katanya.
Ramandey mengatakan, ini peringatan serius kepada pemerintah Indonesia. “Dan ini mekanisme tahunan di PBB, ini bukan kali pertama. Ini akan berefek domino bagi kasus yang lain di Papua,” katanya. (*)