Jayapura, Jubi TV – “Kami masyarakat adat tidak tahu siapa yang memberikan izin atau pelepasan hak ulayat. Jadi, kami masyarakat Grime Nawa menolak karena yang membuat pernyataan dan pelepasan tanah dilakukan secara sepihak oleh suku tertentu.”
Suara Hana Wasanggai meninggi ketika menunjukkan peta kepada Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw di aula Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita (P3W) dalam seminar bertajuk “Mendorong Pemerintah Daerah Untuk Melakukan Review Izin Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Papua” yang digelar Jubi dan Auriga, Jumat, 8 April 2022.
Perempuan dari Lembah Grime Nawa itu memprotes peta yang dikeluarkan PT Permata Nusa Mandiri. Dalam peta tersebut daerah konsesi perusahaan mencakup lebih dari 30 ribu hektare. Luas ini mencakup sekitar empat wilayah hak ulayat milik masyarakat adat, yakni suku Kemtuk, Namblong, Klesi, dan suku Nawa.
“Kenapa ada peta ini (milik perusahaan)? Wilayah kami (hak ulayat) sudah diambil semua (oleh) perusahaan,” ujarnya.
Wasanggai adalah bagian dari masyarakat adat yang hak ulayatnya dicaplok perusahaan. Ia pun meminta kepada bupati Jayapura agar segera mencabut izin operasi PT Permata Nusa Mandiri. Pasalnya masyarakat adat Lembah Grime Nawa tidak pernah melepaskan wilayahnya untuk perusahaan sawit.
“Kami masyarakat adat tidak tahu siapa yang memberikan izin atau pelepasan (hak ulayat). Jadi, kami masyarakat Grime Nawa menolak karena yang membuat pernyataan dan pelepasan tanah itu sepihak suku tertentu,” katanya.
Wasanggai lalu menyerahkan dokumen berupa kajian atas perusahaan yang beroperasi di Lembah Grime Nawa kepada Bupati Awoitauw. Kajian itu diharapkan agar segera ditindaklanjuti oleh bupati Jayapura, sebelum hutan masyarakat Lembah Grime Nawa semakin hancur.
“Jadi, mama serahkan dokumen ke bupati itu, 30 ribuan hektare (lahan) yang diambil oleh perusahaan itu (PT Permata Nusa Mandiri), terlepas dari PT Sinar Mas dengan PT Matoa Lestari. Ini yang baru. Jadi, kami masyarakat Grime Nawa menolak, kami masyarakat Grime Nawa minta (bupati) untuk cabut izin (operasi perusahan) dari wilayah adat kami,” katanya.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Jayapura, Edi Ohoiwutun mengatakan, lembaga adat menaruh perhatian serius atas persoalan yang dihadapi komunitas adat. Hutan adalah kehidupan, ada sumber daya alam yang dikelola masyarakat adat secara turun-temurun.
“Sekarang ada investasi yang masuk, dari kajian teman-teman di lapangan, itu ada prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang tidak diindahkan,” ujarnya.
Ohoiwutun mengatakan sebenarnya secara yuridis banyak pelanggaran yang dilakukan para investor. Di mencontohkan kawasan di Nimbokrang milik suku Namblong, yang banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan.
Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan sudah melakukan evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar peraturan hukum. Ada beberapa perusahaan yang terpaksa izinnya dicabut karena ditemukan banyak pelanggaran.
“Nah, kalau memang ditemukan hal yang sama (adanya pelanggaran) dan kebijakan presiden untuk mencabut izinnya seperti itu, sekarang tinggal kita cocokkan data kita di kabupaten dan provinsi, dan pastikan bahwa rekomendasi pencabutan izin perusahaan sawit di Kabupaten Jayapura atau kabupaten lain harus konsisten dilakukan,” ujarnya.
Menurut Ohoiwutun, masyarakat adat dan LSM harus menyiapkan penasihat hukum untuk mendampingi bupati dan wali kota, yang mengambil langkah hukum untuk mencabut izin perusahaan-perusahaan sawit yang melanggar hukum di daerahnya.
Bupati Jayapura Mathius Awoitauw mengharapkan agar ada kajian lagi untuk memastikan bahwa ada perusahaan-perusahaan sawit yang sudah melanggar hukum. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus secepatnya bekerja sama dengan Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk melakukan kajian ilmiah.
“Kalau bisa (kajian) dalam waktu dekat, karena ini merugikan daerah/masyarakat, tapi kita perlu dapat kajian-kajian,” kata Awoitauw.
Awoitauw berpandangan bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua sudah memberi ruang kepada masyarakat adat untuk mendapat kepastian ruang dalam mengelola sumber daya alamnya. Karena itu, perlu dibuat kajian, pemetaan wilayah adat dan peta profil wilayah adat. Setelah dilakukan pemetaan wilayah adat, potensi masyarakat, seperti, kopi, kakao, atau perikanan darat dan laut, serta dusun sagu perlu dikembangkan.
Jika di kemudian hari investor masuk dan berinvestasi di wilayah adat masyarakat, maka kepemilikan lahan juga harus jelas, sebab, tidak semua orang bebas membicarakan tanah, yang bukan ulayatnya. Tanah itu dimiliki oleh klan, marga, dan setiap kampung ada empat atau lima klan/marga. Masyarakat tersebut melekat dengan tanah. Pemetaan tanah ulayat dianggap perlu untuk menghindari konflik horizontal.
“Mereka tidak bisa terlepas dengan tanah. Mereka hidup di situ. Nah ini (pemetaan) harus dipastikan. Kalau bekerja sama dengan investor, itu bisa dilihat siapa pemilik tanah, dia dapat apa? Yang ini dapat berapa? Sesuai dengan pemetaan yang sudah ditetapkan. Tidak semua orang bicara mengenai tanah. Ini kan di mana-mana ini semua orang demo mengenai tanah,” katanya.
Awoitauw mengaku belum memastikan perusahaan-perusahaan sawit di daerahnya yang izinnya dicabut, sebab belum ada data yang pasti, sehingga kajian ilmiah bersama Uncen dianggap mendesak dan penting.
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Distan) Provinsi bersama Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua merekomendasikan 35 perusahaan sawit untuk ditindaklanjuti kepala daerah (bupati), setelah melakukan review pada 2019 – 2020. Rekomendasi 35 perusahaan kepada para kepala daerah tersebut dikeluarkan setelah Distan Papua mengevaluasi 54 perusahaan sawit di Provinsi Papua. Dalam evaluasi ditemukan sejumlah perusahaan yang beroperasi tanpa memiliki Surat Keputusan Izin Lokasi (ILOK) atau tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), atau tidak memiliki Hak Guna Usaha atau HGU. (*)