Jayapura, Jubi TV– Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua pada 2021 lalu menghasilkan aturan pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota atau DPRK dari kalangan Orang Asli Papua. Namun, aturan itu tidak diikuti beleid yang jelas soal apa sesungguhnya tugas anggota DPRK dari “jalur Otonomi Khusus” itu.Lalu seperti apa idealnya arah kerja para anggota DPRK “jalur pengangkatan” itu?
Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Dr Yusak Elisa Reba menyebut mekanisme pengangkatan anggota DPRK yang diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Otsus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) adalah upaya pembentuk undang-undang untuk menjaga keterwakilan Orang Asli Papua dalam DPRK.
Upaya muncul setelah Pemilihan Umum 2019 memanen kritik. Gara-garanya, keterwakilan Orang Asli Papua di sejumlah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD, sebutan lama lembaga legislatif tingkat kabupaten/kota di Tanah Papua) susut. Di sejumlah DPRD kabupaten/kota, anggota DPRD berlatar belakang Orang Asli Papua bahkan menjadi minoritas, seiring perubahan komposisi penduduk sejumlah kabupaten/kota di Tanah Papua
Bagi Reba, aturan pengangkatan anggota DPRK dari kalangan Orang Asli Papua merupakan upaya untuk memberikan perlindungan Orang Asli Papua di parlemen tingkat provinsi/kabupaten/kota, agar Orang Asli Papua tidak merasa didiskriminasi. Akan tetapi, Reba mempertanyakan ketiadaan aturan yang mengatur kekhususan wewenang atau tugas anggota DPRK “jalur Otonomi Khusus” itu.
Mekanisme pengangkatan anggota legislatif dari kalangan Orang Asli Papua telah ada di parlemen tingkat provinsi sejak periode lalu. DPR Papua 2019 – 2024 memiliki 14 anggota dari jalur pengangkatan. Sejumlah 14 anggota DPR Papua yang diangkat dari kalangan Orang Asli Papua itu kemudian membentuk “Kelompok Khusus”, serupa dengan “fraksi” yang dibentuk para anggota DPR Papua hasil Pemilihan Umum.
Namun, tidak ada pembagian kerja yang khas atau khusus di antara Kelompok Khusus dengan berbagai fraksi yang ada di dalam DPR Papua. Kini, Reba menduga hal serupa akan dialami pula oleh anggota DPRK dari jalur pengangkatan.
Reba mengatakan seharusnya ada undang-undang yang mengatur tugas khusus dari anggota DPR Papua dan DPRK jalur pengangkatan. Pendapatnya itu berkaca kepada kinerja 14 anggota DPR Papua saat ini
“Tidak jelas tugas kursi DPR [jalur] otonomi khusus [itu]. Semua dorang mau kerja. Mereka kan perwakilan khusus, masa kerjanya sama dengan anggota DPR dari partai politik,” ujar Reba pada Kamis (6/6/2024).
Ruang OAP untuk menentukan arah?
Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai mengatakan mekanisme pengangkatan anggota DPRK adalah upaya afirmasi atau diskriminasi positif bagi Orang Asli Papua. Ringkasnya, menjaga komposisi anggota DPRK dengan memastikan keterwakilan Orang Asli Papua dalam lembaga parlemen tingkat kabupaten/kota.
“Sebagai bentuk afirmatif bagi Papua itu ada anggota DPR baik provinsi/kabupaten/kota yang diangkat. Dulu hanya di tingkat provinsi, sekarang ada kabupaten/kota,” ujar Gobai pada Kamis.
Menurut Gobai, mekanisme pengangkatan anggota DPRK adalah upaya politis strategis untuk memberi ruang bagi orang Papua berbicara tentang kepentingannya. Menurut Gobai, ruang itu dapat memberikan hak kepada wakil Orang Asli Papua dalam menjalankan fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua.
“Perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan bagi Orang Asli Papua dalam segala bidang,” kata Gobai, Kamis.
Berbeda dengan Yusak Elisa Reba yang menginginkan adanya tugas dan wewenang khusus anggota DPRK jalur pengangkatan, Gobai justru mengatakan soal tugas pokok dan fungsi anggota DPRK jalur pengangkatan memang sama dengan anggota DPRK hasil Pemilihan Umum.
Menurutnya, kesamaan tugas dan wewenang itulah yang nantinya akan memastikan anggota DPRK jalur pengangkatan bisa mengimbangi anggota DPRK hasil Pemilihan Umum dalam mengawal kepentingan Orang Asli Papua dalam berbagai kerja lembaga legislatif.
“[Anggota DRP jalur pengangkatan juga] berhak membentuk fraksi dan juga berhak menduduki jabatan pimpinan DPR baik di provinsi maupun di kabupaten/kota. Di Papua Barat sudah jalan ada wakil ketua 4 DPR Provinsi Papua Barat,” katanya mencontohkan.
Gobai mengatakan ukuran kinerja DPR itu menghasilkan peraturan daerah. Ia mengatakan anggota DPR Papua jalur pengangkatan periode 2019 – 2024 telah menghasilkan banyak peraturan daerah, baik itu soal perlindungan pangan lokal, perlindungan masyarakat adat, pertambangan rakyat, hingga penanganan konflik sosial.
“Ukuran kinerja DPR itu menghasilkan peraturan daerah. Kalau hanya ngomong-ngomong anak kecil juga bisa. Kalau hanya utak-atik APBD juga bisa. Tapi kualitas anggota DPR itu terukur dari peraturan daerah yang dihasilkan. Kami, Kelompok Khusus, bukan jadi tukang stempel. Kelompok Khusus menghasilkan hampir 20 peraturan daerah,” ujarnya.
Gobai membayangkan akan ada asosiasi para anggota DPR jalur pengangkatan se-Tanah Papua guna memperjuangkan kepentingan masyarakat adat.
“Saya ingin membayangkan anggota DPR provinsi/kabupaten/kota jalur pengangkatan di Tanah Papua yang terukur kinerjanya karena itu butuh asosiasi untuk meningkatkan kapasitas dan sama-sama mendorong regulasi,” ujar Gobai.
Tapi, proses seleksi macet
Sayangnya, di tengah berbagai harapan terhadap anggota DPR “jalur pengangkatan” itu justru terjadi kemacetan dalam proses seleksi para calon anggota DPRK jalur pengangkatan. Menurut Yusak Elisa Reba, seharusnya proses seleksi calon anggota DPRK jalur pengangkatan sudah dilakukan sejak 2023.
“Bagi saya sangat terlambat dan perencanaan sangat buruk dalam proses persiapan rekruitmen kursi pengangkatan DPR provinsi/kabupaten/kota. Perencanaan yang buruk. Pengangkatan itu sudah harus diproses sejak tahun lalu,” kata Reba.
Reba mengatakan proses pengangkatan DPR provinsi/kabupaten/kota itu harus segera dilakukan agar bisa dilantik bersama-sama dengan DPR terpilih hasil Pemilihan Umum 2024. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua (PP 106/2021).
“PP 106/2021 mengatur bahwa anggota DPR yang dipilih dan maupun diangkat dilantik secara bersama-sama. Pertanyaannya, apakah proses pengangkatan DPR provinsi/kabupaten/kota itu bisa selesai [tepat waktu, sehingga anggota DPR yang diangkat] bisa dilantik bersama-sama dengan DPR terpilih hasil Pemilihan 2024 atau tidak?” ujar Reba.
Reba mengkhawatirkan proses pengangkatan anggota DPRK yang tergesa. Selain itu, tidak ada sosialisasi tentang proses pengangkatan anggota DPRK. Menurut Reba, sosialisasi itu penting untuk mencegah konflik dan sengketa dalam proses seleksi dan pengangkatan anggota DPRK.
Senada, John NR Gobai juga ingin proses seleksi calon anggota DPR provinsi/kabupaten/kota jalur pengangkatan segera berjalan. Proses ini [harus] jalan. Kita harus konsisten melaksanakan PP 106/2021, bahwa pelantikan anggota DPR yang diangkat harus bersama-sama dengan pelantikan anggota DPR hasil Pemilihan Umum 2024,” kata Gobai.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Jayapura, Raimondus Mote mengatakan panitia seleksi DPRK telah terbentuk, namun harus menunggu SK Gubernur Papua agar panitia seleksi itu bisa bekerja. Menurutnya, surat keputusan pembentukan tim seleksi yang terdiri dari akademisi, anggota Majelis Rakyat Papua, dan perwakilan Kejaksaan sudah ditandatangan Penjabat Wali Kota Jayapura. Surat keputusan itu pun sudah diserahkan ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Papua. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id