Sentani, Jubi TV– Peneliti Human Rights Watch atau HRW, Andreas Harsono, meminta Kepolisian Republik Indonesia, termasuk Kepolisian Daerah atau Polda Papua dengan serius mencari dan mengusut secara tuntas dan mengungkap para pelaku kekerasan yang meneror dan mengintimidasi pers dan jurnalis di Tanah Papua. Dalam hal kasus serangan bom molotov ke Kantor Redaksi Jubi kepolisian harus berani dan bekerja dengan hati nurani untuk mengungkapnya.
“Wartawan yang mendapatkan intimidasi dan teror seperti Victor Mambor dan Jubi, maupun terhadap Lucky Ireeuw dari Cenderawasih Pos, beberapa wartawan dari Manokwari sampai Nabire mengalami situasi ini. Kasus molotov cocktail pada kantor Jubi adalah kesempatan polisi buat menunjukkan bahwa mereka juga bisa bekerja serius buat melindungi kebebasan pers di Papua,” kata Harsono kepada Jubi di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (19/10/2024).
Andreas Harsono mengatakan bahwa peristiwa ini mendesak karena rendahnya kepercayaan publik di Tanah Papua terhadap polisi Indonesia dalam menuntaskan kasus bom Molotov. Menurutnya sudah jadi rahasia umum bahwa penanganan yang serius dari pihak kepolisian rendah sekali, apalagi menyangkut kasus intimidasi terhadap wartawan. Human Rights Watch telah menerbitkan laporan 75 halaman pada tahun 2015. Judulnya, ‘Sesuatu yang Disembunyikan?: Pembatasan Indonesia terhadap Kebebasan Media dan Pemantauan Hak Asasi Manusia di Papua’.
“Dari semua kasus pelanggaran terhadap wartawan, tak ada satupun yang dibawa ke pengadilan, banyak kasus bahkan terkesan didiamkan oleh polisi Indonesia. Laporan tersebut masih relevan sampai sekarang,” ujar salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen pada 1994 itu.
Peneliti HRW Andreas Harsono mengatakan bahkan sejak tahun 1960-an, pemerintah Indonesia membatasi jurnalisme yang independen bergerak di Tanah Papua, termasuk mempersulit dan melarang jurnalis asing berkunjung ke Papua. Bahkan intimidasi terhadap jurnalis Orang Asli Papua serta beberapa jurnalis non Papua bila mereka menunjukkan keberanian dan kritis dalam kerja mereka, terus dipersulit oleh negara.
Harsono menjelaskan di Jakarta, ada clearing house di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri. Isinya wakil dari 18 kementerian dan lembaga, rapat setiap minggu untuk membatasi akses media internasional ke Papua Barat. Pembatasan ini berjalan sejak zaman Menteri Luar Negeri Soebandrio dari pemerintahan Presiden Soekarno sampai Adam Malik dari Pemerintahan Soeharto, sampai Hassan Wirajuda (kabinet Susilo Bambang Yudhoyono) dan Retno Marsudi (kabinet Joko Widodo).
“Pada tahun 1963 itu dalam pidatonya yang mendukung pengambilalihan Papua Barat di Yogyakarta oleh Presiden Sukarno pernah mengecam para wartawan asing yang menulis orang Irian Barat tak menyukai Indonesia, bahwa mereka lebih menyukai Belanda. Sukarno bilang, para wartawan itu sewenang-wenang dalam menulis. Jadi sebenarnya ini awal dari pembatasan jurnalisme yang independen di Papua Barat,” kata peneliti senior HRW itu.
Ia mengatakan sampai hari ini Papua Barat lebih sering dibatasi bagi para wartawan dibandingkan hampir semua wilayah lain di Indonesia. Sebagaimana pada tahun 2015, Presiden Jokowi berjanji bahwa wartawan asing bebas masuk ke Papua Barat. Salah satu wartawan yang mendengar langsung dari Presiden Jokowi, tak lain tak bukan, adalah Victor Mambor.
“Buktinya tentu tak terjadi. Bahwa Mambor sendiri sering jadi sasaran teror dan intimidasi menunjukkan bahwa kebijakan Jokowi tak terjadi. Sampai tahun 2024, ketika Jokowi mengakhiri jabatannya, wartawan asing masih dibatasi masuk. Wartawan asli Papua sering alami intimidasi,” katanya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey pekan lalu mengatakan peristiwa ini ada bukti petunjuk yang sangat menolong polisi untuk segera mungkin mengungkap siapa pelakunya. Menurutnya bukti petunjuk karena di sekitar kejadian ditemukan sejumlah CCTV yang bisa dipakai oleh polisi untuk mengungkap pelakunya.
“Jadi polisi tidak punya cukup alasan untuk tidak bisa mengungkap. Lalu kejadiannya selain ada CCTV lampu sedang menyala dalam terang yang cukup untuk mengidentifikasi berapa orang pelakunya dan menggunakan apa? Itu sudah cukup bukti petunjuknya,” ujarnya.
Menurut Ramandey jika dilihat kontur dari peristiwa itu maka orangnya sudah merencanakan secara baik. Karena kalau dia sekedar melintas lalu lempar bom molotov maka mestinya terjadi di belakang dua kendaraan ini, tapi ini sudah direncanakan secara baik yang sasaran utamanya kantor redaksi sehingga kalau dilihat bahwa dua mobil yang terbakar ada di bagian depan.
“Ini sudah direncanakan secara baik jadi ini bukan spontanitas,” ujar ketua Komnas HAM Papua.(*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id