Wamena, Jubi TV– Kementerian Transmigrasi dalam Kabinet Merah Putih memiliki rencana untuk memperluas program transmigrasi ke Papua sebagai upaya pemerataan pembangunan di Indonesia. Namun, berbagai pihak di Papua menilai program ini bukan solusi tepat, terutama bagi Orang Asli Papua (OAP), yang berpotensi menghadapi berbagai dampak negatif.
Anggota DPD RI asal Papua Tengah, Lis Tabuni, menilai bahwa rencana transmigrasi ini tidak akan efektif, meski diklaim dapat mendorong pemerataan pembangunan. “Program ini justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial yang sudah ada,” ujar Tabuni kepada Jubi melalui sambungan telepon, Kamis (24/10/2024).
Tabuni menyoroti sektor ekonomi yang didominasi oleh non-OAP, yang akan semakin tertekan dengan bertambahnya pendatang.
“OAP tidak akan mampu mempertahankan hak atas tanah leluhur mereka. Alam Papua akan terkuras, sementara OAP dikhawatirkan semakin termarjinalkan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kualitas sumber daya manusia OAP saat ini masih sulit bersaing dengan para pendatang. “Saya harap dalam 100 hari pertama, Presiden Prabowo Subianto fokus memperbaiki pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur di Papua,” ujarnya.
Pengelola Taman Wisata Kota Isakusa, Petrus Huby, juga menyatakan keprihatinannya. Menurut Huby, Papua sudah memiliki sistem Otonomi Khusus (Otsus) yang dirancang untuk melindungi hak-hak OAP.
“Jika Presiden hendak mendorong transmigrasi, seharusnya pertimbangkan dulu lembaga-lembaga daerah seperti MRP dan DPRP sebagai representasi masyarakat,” katanya.
Huby menegaskan bahwa pengembangan sumber daya manusia adalah yang paling dibutuhkan OAP saat ini, bukan transmigrasi yang berisiko menciptakan masalah baru. “Transmigrasi hanya akan menambah konflik horizontal dan tidak ada akhirnya,” tambahnya.
Pegiat lingkungan, Petrus Huby, saat diwawancarai Jubi di Taman Wisata Hutan Kota Isakusa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. -Jubi/Ratty Auparai.
Huby juga berpesan kepada generasi muda Papua agar tidak terlena dengan kekayaan alam. “Generasi muda Papua harus mandiri, tidak bergantung pada siapa pun. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton di tengah keberhasilan orang lain,” tegasnya.
Ketua Dewan Adat Papua Wilayah III Doberai, yang juga anggota DPD RI, Paul Finsen Mayor, menentang keras rencana transmigrasi tersebut. Ia menyoroti minimnya lapangan pekerjaan dan buruknya pelayanan dasar di Papua, yang dianggap belum siap menerima tambahan pendatang.
“Transmigran datang dengan keterampilan dan mental juang tinggi, sementara OAP masih tertinggal dalam soft skill dan hard skill,” ujar Mayor. Menurutnya, transmigrasi berpotensi memperparah konflik horizontal karena ketimpangan ini.
Mayor juga menyampaikan harapan agar generasi muda Papua lebih kritis dalam menjaga tanah dan sumber daya alam. “Generasi muda Papua harus cerdas, kritis, dan mau berusaha. Jangan hanya menonton kesuksesan orang lain,” pesannya.
Di akhir pernyataannya, Mayor mengingatkan pentingnya disiplin dan kerja keras.
“Belajarlah dari bangsa China, Jepang, dan Korea, yang sukses di usia muda karena ketekunan. Generasi muda Papua harus bisa menjaga harga diri dan idealisme,” ujarnya. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id