Jayapura, Jubi TV– PT Merauke Rayon Jaya atau PT MRJ diduga membabat hutan adat Suku Wambon Kenemopte di Kampung Subur, dan Kampung Aiwat, Distrik Subur, Boven Digoel, Papua Selatan. Hal itu disampaikan staf Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Tigor Hutapea dalam keterangan tertulis, Kamis malam (19/4/2024).
“Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menerima laporan masyarakat Wambon Kenemopte bahwa PT MRJ menggusur lahan dan hutan adat mereka. Masyarakat adat Wambon Kenemopte telah berkali-kali menolak rencana operasi perusahaan,” kata Tigor.
Warga juga telah menyampaikan penolakan itu dengan menyurati Pemerintah Kabupaten Boven Digoel, dan Dinas Kehutanan Papua. Kemudian, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Papua, dan Papua Selatan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2023. Namun, menurut Tigor penolakan resmi tersebut belum ditanggapi mereka.
“PT MRJ tidak menghormati hak asasi masyarakat adat Wambon Kenemopte. Perusahaan juga belum menyampaikan dokumen perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman dari negara dan persyaratan kelayakan lingkungan, rencana kerja usaha, dan Amdal [analisi mengenai dampak lingkungan,” kata Tigor.
Tigor khawatir aktivitas PT MRJ mengancam kelestarian lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat setempat. Mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian, dan pangan.
Berdasarkan kajian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 2022, kawasan hutan adat Wambon Kenemopte yang kini menjadi areal konsesi PT MRJ didominasi vegetasi hutan alam primer. Luasnya mencapai 131.314 hektare. Selain itu, terdapat sekitar 2.000 hektare lahan gambut.
“Lahan konsesi perusahaan ini bernilai konservasi tinggi (NKT) dengan kategori 2.2, yakni terdiri atas dua atau lebih [keragaman] ekosistem. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang memunyai ekosistem langka, dan terancam punah,” kata Tigor.
Menurutnya, pengoperasian perusahaan hutan tanaman industri (HTI) tersebut seharusnya sejalan dengan amanah Undang Undang Dasar 1945, dan Undang Undang Otonomi Khusus Papua 2021. Karena itu, dia mendesak pemerintah bersungguh-sungguh dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat adat Wambon Kenemopte.
“Kami meminta pemerintah segera menghentikan dan mengevaluasi aktivitas PT MRJ. Mereka diduga melanggar hukum dan meresahkan masyarakat,” ujar Tigor.
Izin pernah dicabut
PT MRJ merupakan anak perusahaan Texmaco Group, milik Marimutu Sanivasan. Semula perusahaan itu diketahui bernama PT Maharani Rayon Jaya. Mereka pertama kali mengantongi izin sebagai perusahaan HTI dari Kementerian Kehutanan pada 1998. Luas konsesi mereka sekitar 207 ribu hektare.
Izin konsesi itu kemudian dicabut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2014. Namun, perusahaan menggugatnya sehingga Mahkamah Agung mengabulkan pembatalan izin tesebut melalui Peninjauan Kembali pada 2017.
“Perusahaan ada buka jalan sekitar 200 meter x 100 meter. Dong [mereka] ada ada buat kamp-kamp begitu dan masyarakat ada pasang patok [plang kepemilikan hutan adat] di lokasi [area perusahaan],” kata Petrus Kinggo, warga adat Wambon Kenemopte, saat dihubungi Jubi pada Jumat malam.
Menurutnya, mereka tetap konsisten menolak kehadiran PT MRJ. Perusahaan pun tahu perihal penolakan tersebut.
“Sudah empat kali [warga menggelar] pertemuan dengan perusahaan di Kampung Subur. Masyarakat tolak [kehadiran perusahaan]. Kami tidak kasih tanah ke perusahaan,” ujar Kinggo.
Kinggo mengatakan masyarakat merasa terancam dengan kehadiran PT MRJ. Mereka khawatir aktivitas perusahaan merusak lingkungan dan menghancurkan sumber kehidupan masyarakat adat Wambon Kenemopte.
Hingga berita ini diterbitkan, Jubi belum mendapat konfirmasi langsung dari pihak PT MRJ mengenai polemik keberadaan perusahaan tersebut. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id