Langkah aparat keamanan menghalang-halangi penyampaikan aspirasi menolak pemekaran Papua dan Papua Barat justru rawan memicu benturan baru
Jubi TV – Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai meminta Presiden Joko Widodo segera mengundang Menteri Dalam Negeri dan DPR RI untuk mengevaluasi rencana pemekaran Papua dan Papua Barat. Hal itu diperlukan karena rencana pemekaran kedua provinsi itu menimbulkan pro-kontra yang tajam di antara berbagai kelompok masyarakat.
Hal itu dinyatakan John NR Gobai ketika dihubungi melalui panggilan telepon pada Sabtu (2/4/2022), menanggapi semakin banyaknya demonstrasi menolak rencana pemekaran dua provinsi di Tanah Papua. Gobai mengingatkan bahwa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki Otonomi Khusus (Otsus), termasuk dalam hal pemekaran wilayah.
Jika pemerintah pusat terus memaksakan pemekaran Papua dan Papua Barat, Gobai menilai pemerintah telah mengabaikan prinsip Otsus. “Pemerintah pusat jangan memaksakan pemekaran dan menggeser desentralisasi asimetris menjadi sentralisasi dalam hal pemekaran,” ujar Gobai.
Gobai juga mengkritik pelarangan aksi menolak pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) atau pemekaran provinsi di Tanah Papua. Ia menduga larangan demonstrasi menolak pemekaran itu dilatarbelakangi kepentingan kelompok yang ingin menjadi pejabat di empat provinsi baru yang akan dibentuk di Tanah Papua.
Gobai menyatakan pro dan kontra atas kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan pemekaran Papua dan Papua Barat, adalah wajar dalam kehidupan berdemokrasi. Menurutnya, aparat keamanan seharusnya menjamin hak penyampaikan pendapat dari semua kelompok, baik yang setuju ataupun tidak setuju dengan rencana pemekaran Papua dan Papua Barat.
Langkah aparat keamanan menghalang-halangi penyampaikan aspirasi menolak pemekaran Papua dan Papua Barat justru rawan memicu benturan baru dan menimbulkan korban, sebagaimana yang terlihat dari penanganan demonstrasi menolak pemekaran Papua di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, pada 15 Maret 2022 yang menyebabkan dua demonstran tewas ditembak polisi.
“Korban-korban yang berjatuhan itu siapa yang harus bertanggung jawab? Orang Papua yang terpolarisasi [akan] berujung kepada politik pecah belah, itu siapa yang harus bertanggung jawab?” tanya Gobai mengingatkan,
Gobai menegaskan keengganan Jakarta menyelesaikan persoalan distorsi sejarah dan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) justru membuat penyelesaian masalah Papua menjdi pincang. Ia mengingatkan, percepatan pembangunan di Papua—termasuk melalui pemekaran wilayah dan pembentukan Daerah Otonom Baru—harus berjalan beriringan dengan upaya sungguh-sungguh negara untuk menyelesaikan distorsi sejarah dan menangani berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.
Ia menyatakan pemerintah seharusnya tidak melulu memekarkan wilayah, namun juga menggabungkan beberapa Daerah Otonom yang telah terbukti gagal berkembang. “Daerah yang tidak mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah harus digabungkan, dari pada [menimbulkan] pemborosan dana. Ketika kapasitas fiskal daerah lemah, kewenangan pengelolaan sumber daya alam dibatasi, pengangkatan Aparatur Sipil Negara masih terpusat, kita justru disodori pemekaran wilayah,” ungkapnya.
Ia meminta pemerintah pusat memahami perspektif Orang Asli Papua yang menganggap pembentukan DOB akan memperhebat konflik bersenjata di Papua. Apalagi pemerintah pusat terus mendatangkan pasukan dari luar Papua ke Papua, yang pada akhirnya justru semakin memanaskan konflik bersenjata di Papua. “Kehadiran aparat non organik di berbagai daerah yang terus berkonflik dengan OPM dan mengakibatkan korban juga menjadi alasan mengapa DOB ditolak,” kata Gobai.
Salah satu mahasiswa asal Papua yang tengah berkuliah di Bali, Pius Tenouye mengatakan, Presiden Jokowi berjuang membentuk provinsi baru di Papua karena ingin menguasai orang Papua. Tenouye meminta elit politik lokal Papua berhenti meminta pembentukan DOB di Tanah Papua, karena hal itu bukanlah aspirasi masyarakat.
Tenouye menilai pemekaran justru akan menambah migrasi orang dari luar Papua, yang pada akhirnya justru akan mengisi lowongan aparatur sipil negara, pejabat daerah, maupun bidang lainnya. “Orang Asli Papua yang sedang meminta pemekaran, kalau mereka pintar, mengapa mereka tidak mencari nama baik dengan menyelamatkan kekayaan alam dan anak cucu kita?” tanya Tenouye. (*)