Jayapura, Jubi TV– Pertarungan merebut kursi Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten atau DPRK sering menimbulkan konflik antar warga pendukung caleg tertentu dalam pemilihan umum di Provinsi Papua Pegunungan.
Pertarungan itu sudah dimulai bahkan sejak distribusi logistik pemilu. Masyarakat pendukung calon legislatif atau caleg beramai-ramai mengamankan caleg dukungannya masing-masing, bahkan hingga dengan menjemput serta mengantar logistik pemilu, yang seharusnya menjadi tugas penyelenggara pemilu.
Hal itu dikemukakan oleh Koordinator Tim Pemantau Independen Pemilu dari Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Antoni Ibra kepada Jubi di kantor ALDP, Kota Jayapura, Papua pada Senin (18/3/2024). Menurut Ibra konflik lantas gampang terpicu akibat masing-masing pihak pendukung caleg tertentu merasa dirugikan oleh tindakan caleg lainnya.
Koordinator Tim Pemantau Independen Pemilu itu menjelaskan konflik antar warga pendukung caleg satu dengan caleg lain di Papua Pegunungan itu berlanjut pasca pencoblosan, pleno distrik hingga pada pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat kabupaten. Konflik tersebut terjadi karena dugaan adanya praktik money politik oleh caleg non Orang Asli Papua (OAP) serta akibat selisih suara yang berbeda tipis antar caleg DPRK.
“(Di) Kabupaten Nduga terjadi konflik yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia dalam merebutkan sejumlah suara untuk duduk di kursi DPRK antara massa pendukung caleg dari partai PSI dan Partai Golkar. Kemudian sempat terjadi aksi balasan-membalas lagi, lalu dikabarkan satu orang menjadi korban lagi,” kata Antoni Ibra.
Dari laporan pemantauan di Kabupaten Mamberamo Raya juga terjadi penyerangan atau konflik, lanjut Ibra, karena dua caleg non OAP diduga melakukan praktik money politik dengan memberikan Rp 500 ribu per warga untuk mendapatkan suara. Akhirnya timbullah konflik meski tidak ada korban, tetapi akibat money politik itu anak-anak putra daerah tidak dapat kursi DPRK karena suara yang didapat sedikit.
“Caleg putra asli Mamberamo Raya saat itu tahan kotak suara. Lalu mereka minta dua caleg non OAP itu diskualifikasi karena melakukan pelanggaran praktik money politik. Jadi sebenarnya perselisihan dan konflik itu terjadi lebih cenderung ketika memperebutkan kursi DPRK, meski ada juga terjadi perselisihan untuk merebutkan kursi DPRP tapi tidak begitu menonjol,” kata Ibra.
Dia melanjutkan, menurut pantauannya masyarakat di beberapa tempat bahkan sebelum hari pencoblosan sudah berdatangan menjemput logistik dan mengantarkannya sendiri ke beberapa kabupaten di Provinsi Papua Pegunungan.
“Tidak tahu, apakah caleg tertentu yang pasang masyarakat [agar] kawal supaya kotak suara tidak hilang? Atau partisipasi masyarakat dalam pemilu? Hal itu belum jelas seperti fenomena tersebut,” kata Ibra.
“Seperti di Kabupaten Jayawijaya itu terjadi begitu, padahal yang berwenang mengawal dan antar logistik pemilu itu pihak penyelenggara, pengawas dan aparat keamanan, tetapi ini masyarakat yang datang jemput dan antar kotak suara. Kita tidak tahu apakah waktu pendistribusian logistik ini buat berita acara ka tidak, karena massa dalam jumlah banyak yang datang jemput kotak suara,” lanjutnya.
Ia menambahkan bahwa kejadian demikian perlu menjadi catatan khusus bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk belajar dari Pemilu 2024 ini. Karena dalam tahun ini pula akan melakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) agar dipersiapkan lebih matang lagi.
”Potensi eskalasi konflik pada pilkada akan meningkat, karena pihak yang merasa dirugikan atau kalah [berpotensi] untuk membalaskan dendam pemilu. Jadi perlu persiapan yang matang dan KPU, Bawaslu lakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman pendidikan politik kepada masyarakat. Tapi kita harapkan pada pilkada mendatang tidak terjadi konflik atau perselisihan di Provinsi Papua Pegunungan,” ujarnya.
Ia berpesan kepada peserta pemilu maupun Pilkada untuk tidak mempertahankan egonya, tetapi tenggang rasa sebagai kontestasi yang beradab dan tidak membuat konflik antar masyarakat hanya oleh ambisi pribadi. “Jadilah peserta pemilu yang berani dengan lapang dada menerima dan mengakui jika mendapatkan suara yang kurang,” ujar Ibra.
“Dalam konflik seperti itu yang selalu jadi korban adalah masyarakat biasa bukan para caleg, calon bupati (Cabup), calon gubernur (Cagub). Karena itu, jadilah peserta yang kuat secara mental dan menerima kenyataan dengan lapang dada tanpa berkonflik. Jika dirasa ada kecurangan dan lain-lain ikuti sesuai prosedur yang ada, bisa lapor ke bawaslu, supaya ditindaklanjuti,” katanya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id