Jayapura, Jubi TV– Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua mengakui pihaknya sangat lambat menyelesaikan kasus penyiksaan warga sipil Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, oleh sejumlah terduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya. Penyelidikan telah dilakukan tim Komnas HAM di Jakarta dan Komnas Perwakilan Papua sejak April 2024, dan belum juga tuntas.
Pada 22 Maret 2024, beredar video di media sosial yang merekam penyiksaan terhadap seorang warga sipil. Korban ditaruh dalam drum berisi air, dengan kedua tangannya terikat. Korban itu dipukuli dan ditendang berulang kali oleh sejumlah orang yang diduga prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya yang sedang diperbantukan di Tanah Papua. Punggung korban juga disayat menggunakan pisau. Wajah sejumlah pelaku terlihat dalam video itu.
Pada 25 Maret 2024, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Inf Candra Kurniawan menyatakan delapan prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya telah ditahan dalam kasus itu.
Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan tim Komnas HAM di Jakarta dan Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua telah menyelidiki kasus sejak April 2024. Ramandey mengatakan hingga kini penyelidikan itu belum tuntas dilakukan Komnas HAM.
Menurut Ramandey, kelambanan penyelidikan itu disebabkan masalah internal Komnas HAM. Namun, Ramandey tidak menjelaskan masalah internal apa yang menyebabkan penyelidikan kasus penyiksaan itu belum tuntas.
“Terkait kasus penyiksaan, kasus di Puncak Komnas HAM belum tuntas menyelesaikan penyelidikan ini. Di internal kami yang lambat tuntaskan. Kasus sebesar ini Komnas HAM terkesan lambat,” ujarnya.
Belum ketemu korban
Ramandey mengatakan Komnas HAM belum meminta keterangan semua pihak berkaitan dengan kasus penyiksaan tersebut. Tim Komnas HAM baru meminta keterangan Bupati Puncak, Sekretaris Daerah Kabupaten Puncak, dokter Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ilaga, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Puncak, dan Kepala Satuan Reserse Kriminal Puncak.
“Secara informal [kami] juga sudah mendapatkan [keterangan] dari Polres Puncak [soal] bagaimana kronologi singkat [saat korban] diamankan satuan TNI [dan] di bawah ke rumah sakit,” katanya.
Ramandey mengatakan hingga kini tim Komnas HAM belum bisa meminta keterangan dari korban yang mengalami penyiksaan. Korban yang mengalami penyiksaan itu adalah Alianus Murib, Delfius Kogoya, dan Warinus Murib (telah meninggal dunia).
“Kita kesulitan [meminta keterangan] korban yang masih hidup. Kami belum bertemu secara langsung. Ada komunikasi untuk bertemu, dua kali kami datang ke Timika untuk bertemu. Saya sudah dua kali memimpin tim untuk bertemu [korban], hanya belum sempat ketemu korban [karena] berbagai alasan, [diantaranya] korban trauma. Upaya untuk bertemu korban secara langsung sudah kami upayakan. Kami sudah minta bantu keluarga korban, dan mitra,” ujarnya.
Ramandey mengatakan Komnas HAM juga belum meminta keterangan prajurit TNI terduga pelaku penyiksaan warga sipil di Kabupaten Puncak. Ramandey mengatakan keterangan dari para terduga itu penting untuk mengetahui alasan mereka menyiksa warga sipil itu.
“Soal pemeriksaan anggota [TNI] yang dilakukan tim di Jakarta. Saya juga meminta maaf Komnas HAM di Jakarta terkesan lambat dan mengabaikan kasus sebesar ini,’ katanya.
Ramandey memohon maaf kepada keluarga korban dan masyarakat Papua karena belum menyelesaikan kasus penyiksaan tersebut. Menurut Ramandey kasus ini telah menyita perhatian publik secara nasional dan internasional.
“Kasus itu berdampak luas secara nasional maupun internasional. Kasus penyiksaan [itu] disaksikan jutaan orang, karena disebarkan. Lalu Komnas HAM tidak bisa menuntaskan. Kita ingat, salah satu unsur pelanggaran HAM [adalah] penyiksaan. Saya harus minta maaf kepada korban, kepada masyarakat Papua, karena kasus [itu] sudah diungkap jelas, sudah ada pengakuan, tapi kami terkesan terlambat merespon,” ujarnya.
Ramandey juga mengaku belum mengetahui perkembangan proses hukum terhadap para terduga pelaku. “Pantau [sidang] itu [seharusnya dilakukan] di Komnas HAM di Jakarta. Tanya ke Ketua Komnas HAM,” katanya.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Pusat, Uli Parulian Sihombing hanya menjawab singkat saat ditanya perkembangan penyelidikan kasus penyiksaan tersebut. “Komnas HAM sedang menyelesaikan pemantauan dan penyelidikan kasus Defius Kogoya dan kawan-kawan. Mohon sabar saja,” ujarnya melalui layanan pesan WhatsApp.
Uli tidak menjawab saat ditanya pengawasan Komnas HAM terhadap proses hukum para terduga prajurit TNI tersebut.
Percepat penyelidikan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay meminta Komnas HAM serius menyelesaikan penyelidikan kasus penyiksaan tersebut. Gobay menilai penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM dalam kasus itu lambat.
“Kami [dengar] Komnas HAM juga melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Tapi dari April hingga Juli 2024, [sudah] kurang lebih 3 bulan ini belum mendapatkan hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM berkaitan dengan kasus penyiksaan itu,” kata Gobay pada Sabtu (20/7/2024).
Gobay mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM akan sangat bermanfaat bagi proses hukum terhadap prajurit Batalion Infanteri Raider 300/Braja Wijaya yang menjadi terduga pelaku dalam kasus penyiksaan itu. Gobay meminta Komnas HAM menyelesaikan dan mengumumkan hasil penyelidikan mereka.
“Agar kami [masyarakat Papua] tahu kerja-kerja penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM dalam kasus penyiksaan. [Hasil penyelidikan itu] sangat penting, karena itu penyiksaan, pelanggaran HAM. Tugas dari Komnas HAM untuk memastikan itu,” ujarnya.
Gobay juga meminta agar Komnas HAM mengawasi proses hukum terhadap para prajurit TNI yang menjadi terduga pelaku dalam kasus itu. “Karena, sampai sejauh ini kami juga tidak tahu proses hukum [perkara penyiksaan itu] sampai di mana. Apakah masih penyelidikan, penyidikan, atau sudah [dilimpahkan] ke Oditur Militer. Ini kan kami tidak tahu,” kata Gobay. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id