Jayapura, Jubi TV– Sepanjang 2022 hingga 2023, beberapa kelompok masyarakat adat di Tanah Papua telah mengajukan usulan pengakuan hutan adat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK. Pengakuan hutan adat diperlukan untuk melindungi hak masyarakat adat terkait hutan adat.
Pengajuan pengakuan hutan adat itu antara lain diajukan sembilan marga Suku Suku Wambon Kenemopte di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Kesembilan marga itu adalah Marga Kinggo Kambenap, Marga Tenggare, Marga Aute, Marga Kanduga, Marga Ekoki di Kampung Aiwat, Marga Ekoki di Kampung Subur, Marga Kemi, Marga Eninggugop, dan Marga Wauk.
Sejumlah dua pengajuan pengakuan hutan adat lainnya datang dari masyarakat adat Gelek Malak Kalawilis Pasa di Kabupaten Sorong, serta masyarakat adat Suku Afsya di Distrik Konda Sorong Selatan. Total luas hutan yang diajukan untuk diakui sebagai hutan adat itu mencapai 245.506 hektare.
Kepala Sub Direktorat Penetapan Hutan Adat dan Hutan Hak KLHK, Yuli Prasetyo Nugroho mengatakan KLHK baru memproses usulan pengakuan hutan adat Suku Afsya di Kabupaten Sorong Selatan dan hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa di Kabupaten Sorong. Ia mengakui proses pengakuan hutan adat membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Kami sedang proses untuk yang Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan. [Kedua pengajuan itu] sedang diproses bersama pemerintah daerah. Jadi, waktu [yang dibutuhkan untuk proses itu] sangat relatif,” kata Yuli melalui layanan pesan WhatsApp pada Selasa (25/6/2024).
Terlanjur jadi HGU
Yuli membenarkan ada sejumlah pengajuan pengakuan hutan adat lain dari masyarakat adat di Tanah Papua. “Ada beberapa lagi [pengajuan yang lain], tapi masih berproses di [tingkat] kabupaten. Nama [pihak yang mengajukan penetapan hutan adat itu] belum kami dapatkan,” kata Yuli.
Yuli mengatakan KLHK belum memproses pengajuan hutan adat yang diusulkan sembilan marga masyarakat adat Kabupaten Boven Digoel di Papua Selatan. Menurut Yuli, sejumlah wilayah yang diusulkan Suku Wambon Kenemopte itu berada di luar kawasan hutan.
“Untuk Boven Digoel [belum diproses] karena kebanyakan wilayah [yang diajukan] di luar kawasan hutan dan [sengketa] status tanahnya sedang [dalam] proses di pengadilan. Jadi, tidak bisa langsung [ditetapkan] menjadi hutan adat,” ujarnya.
Yuli mengatakan kebanyakan wilayah yang diusulkan masyarakat adat Suku Wambon Kenemopte merupakan wilayah dengan status Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. “Kebanyakan wilayahnya di HGU sawit. Kami sedang pelajari jumlah tepatnya yang masih berhutan atau yang sudah berubah, dan mana yang masih dalam permasalahan di pengadilan,” katanya.
Yuli mengatakan pemerintah berkomitmen memproses usulan penetapan hutan adat di Tanah Papua. Menurutnya, pengakuan hutan adat oleh pemerintah memang bertujuan untuk melindungi hutan adat masyarakat adat di Papua.
“[Pengakuan hutan adat penting], karena itu akan menjadi tercatat oleh negara. Itu untuk melindungi [masyarakat adat], dan mencatatkan pada dokumen negara bahwa di lokasi tersebut ada keberadaan masyarakat adat. Seperti yang sering viral, ‘Papua Bukan Tanah Kosong’, maka jalan salah satunya adalah dengan pengakuan hutan adat, sehingga posisi [masyarakat] adat lebih kuat dalam administrasi negara,” ujarnya.
Tidak mudah
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan pengusulan suatu wilayah hutan untuk ditetapkan sebagai hutan adat tidaklah mudah. Ada sejumlah dokumen yang dipersyaratkan dalam pengusulan penetapan hutan adat.
Franky mencontohkan, KLHK masih meminta masyarakat Suku Afsya di Kabupaten Sorong Selatan untuk melengkapi dokumen yang dipersyaratkan. Sementara usulan hutan adat dari Gelek Malak Kalawilis Pasa di Kabupaten Sorong telah lengkap dan telah sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
“Yang mesti kami tindak lanjuti [adalah pengusulan hutan adat] di Sorong Selatan, [karena ada] beberapa catatan dari mereka [KLHK]. Misalnya Suku Afsya, [kekurangan dokumen] itu terkait dengan Surat Keputusan Bupati [Sorong Selatan] tentang penetapan pengakuan masyarakat dan wilayah adat. Nomor surat dan nama ada yang keliru. Begitu juga angka-angka berkaitan dengan luas, keberadaan wilayah, nama-nama kelompok atau marganya kurang lengkap, [sehingga] surat keputusan itu harus direvisi,” kata Franky pada Selasa (25/6/2024).
Menurut Franky, pengusulan penetapan hutan adat juga membutuhkan dokumen yang merinci pengetahuan masyarakat adat atas batas-batas bidang peruntukan tanah ulayat mereka. “Mereka [KLHK] minta kami harus melengkapi data seperti pengetahuan masyarakat dengan kategori hutan adat, juga melengkapi tandatangan dari pengusul pengakuan hutan adat,” ujarnya.
Franky mengatakan pihaknya diberi tenggat waktu untuk melengkapi berbagai kekurangan itu hingga 31 Juli 2024. Franky mengatakan KLHK menargetkan pengakuan hutan adat masyarakat adat di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan ditetapkan tahun ini. “Setelah verifikasi, direkomendasikan untuk penetapan pengakuan hutan adat,” katanya.
Franky memperkirakan total luasan kawasan hutan di Tanah Papua yang telah dialihkan kepada 59 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) mencapai 2.061.538 hektare.
“Hutan yang hilang dan telah dibuka untuk untuk bisnis perkebunan dan HTI seluas 120.255 hektare. Kawasan hutan pada areal konsesi yang masih tersisa seluas 1.948.283 hektare. Kawasan hutan dimaksud berada dalam wilayah adat, dan masih dalam penguasaan masyarakat adat,” ujarnya.
Penghidupan masyarakat adat
Perempuan adat dari Kabupaten Sorong Selatan, Irene Thesia mengatakan apabila hutan habis, masyarakat adat di Tanah Papua juga akan punah. Ia berharap pengakuan hutan adat dari KLHK dapat melindungi hak masyarakat adat untuk mempertahankan hutan adat mereka dari penguasaan pihak ketiga, khususnya perusahaan perkebunan.
“Ada empat perusahaan yang akan beroperasi di wilayah adat [Suku Afsya], yaitu PT Internusa Jaya Sejahtera, PT Varia Mitra Andalan, PT Anugerah Sakti Internusa, dan PT Persada Utama Agromulia. Sejumlah dua diantaranya—PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia—mengajukan gugatan [sebagai] buntut dari pencabutan izin mereka oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. Dalam persidangan mereka menang, jadi masyarakat adat merasa terancam. Status kami masyarakat adat di Afsya dan sekitarnya masih terancam,” kata Thesia.
Ia mengatakan kehadiran perusahaan perkebunan sangat merugikan masyarakat adat. Thesia mengatakan penghidupan masyarakat adat sangat bergantung kepada keberadaan hutan adat.
“Kami belajar dari saudara-saudara kami di Moi saja, itu menjadi pelajaran bagi kami, masyarakat adat di Sorong Selatan untuk berjuang mengamankan hutan adat kami. Sebagian besar kehidupan masyarakat adat adalah berkebun dan berburu untuk makan-minum. Jika dusun habis dibabat dan ditanami sawit, memangnya anak-cucu [kami mau] dikasih makan minyak? [Hutan kami] punya tempat bersejarah yang menjadi bukti keberadaan suku. [Hutan juga] kehilangan hewan endemik seperti kasuari dan lain-lain,” ujarnya.
Ia berharap KLHK tidak serta merta mengeluarkan izin perkebunan atas hutan di Tanah Papua, karena Tanah Papua bukanlah tanah kosong tak berpenghuni. Thesia menyatakan pemerintah seharusnya memahami bahwa hutan merupakan bagian tak terpisahkan dari Orang Asli Papua.
“Istana perempuan adat adalah hutan. Guru perempuan adat adalah hutan tempat kami belajar berkebun, belajar menganyam noken, tikar, [membuat] atap. Dokter perempuan adat adalah hutan tempat kami menemukan [bahan] ramuan tradisional. Itulah sebabnya kami menyebut tanah dan hutan adalah ibu yang memberi kehidupan bagi kami dan anak-anak kami,” katanya.
Thesia mengajak seluruh perempuan di Tanah Papua untuk menjaga hutan adat. Ia menegaskan bahwa upaya melindungi tanah dan hutan Papua merupakan upaya melindungi orang Papua, bahkan juga bumi yang menghadapi krisis iklim.
“Jika tanah dan hutan kami diambil, bagaimana nanti kami dan anak-anak dapat bertahan hidup? Mari torang jaga torang pu tanah dan hutan. Trada tempat ternyaman di dunia ini selain rumah kami sendiri, dan [rumah kami yang] sesungguhnya [adalah] tanah serta hutan Papua,” katanya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id