Jayapura, Jubi TV – Pemerintah pusat dan DPR RI kembali dinilai menciderai semangat otonomi khusus untuk Papua. Keputusan Badan Legislatif DPR RI menyetujui pembuatan tiga provinsi baru di Papua baru-baru ini memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan. Pemekaran Papua dinilai sebagai kebijakan yang kurang cermat sehingga pemerintah dan DPR didesak untuk membatalkan atau setidaknya menunda pemekaran sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi UU Otsus.
“Persetujuan pembentukan tiga provinsi baru Papua itu bagaikan petir di siang bolong. Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU Daerah Otonom Baru (DOB). Ini menciderai semangat otonomi khusus. Seharusnya mereka cermat dan tidak terburu-buru dalam memutuskan pemekaran Papua. Dampak kebijakan ini telah melepaskan sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua. Dipangkas besar-besaran,” ungkap Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk Provinsi Papua Timotius Murib melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 April 2022.
Menurut Timotius, pesan Presiden untuk menyejahterakan Papua dan mengevaluasi otonomi khusus sayangnya diterjemahkan oleh segelintir Menteri dengan cara membentuk provinsi baru berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.
“UU ini mengabaikan aturan yang ditetapkan oleh Pasal 77 UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua yang mewajibkan adanya konsultasi dengan rakyat Papua. Dalam Otonomi Khusus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP. Dulu pada 2003 Papua dimekarkan menjadi dua tanpa didahului dengan pembentukan MRP. Sekarang Papua menjadi lima provinsi. Ini kebijakan model apa? Sementara jika rakyat bersikap kritis, dituduh separatis, dilabel teroris. Pemekaran wilayah harus dibatalkan,” lanjut Timotius.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait menjelaskan, pembentukan DOB tiga provinsi baru tersebut jelas tidak cermat, cacat proses, tanpa partisipasi OAP dan juga tanpa konsultasi dengan MRP yang merupakan lembaga representasi kultural OAP.
“Ini betul-betul menciderai semangat otonomi khusus. Pembuatan kebijakan sepihak sama sekali tidak mendidik publik. Justru mempertontonkan pengebirian otonomi dan hak asasi orang asli Papua terutama untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hidup mereka. Tiga RUU itu didasari pada UU 2/2021 yang materinya cacat substansial dan sedang diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pemekaran seharusnya ditunda sampai MK memutuskan,” tegas Yoel.
Lihat postingan ini di Instagram
Respon atas Keputusan Baleg DPR RI
Menanggapi persetujuan Baleg DPR RI atas tiga RUU pembentukan tiga provinsi baru di Papua, peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Cahyo Pamungkas mengatakan kebijakan pemekaran Papua yang terbaru akan mendorong ketidakpercayaan Papua yang meluas kepada pemerintah pusat dan akan semakin menyulitkan negara dalam mengakhiri konflik bersenjata Papua.
Menurutnya, pemekaran provinsi Papua yang dibuat oleh pemerintah pusat telah ditolak oleh orang asli Papua pada 1999, tetapi tetap dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2003, dan dilegalkan pada tahun 2021.
“Pemekaran ‘top down’ yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua,” kata Cahyo yang juga merupakan anggota Jaringan Damai Papua (JDP).
“Siklus kekerasan politik di Papua telah menimbulkan banyak korban sipil dan pengungsian. Revisi kedua UU Otsus Papua dan kebijakan pemekaran provinsi ini telah menimbulkan situasi yang kontraproduktif. Akibatnya, orang asli Papua semakin merasakan tidak adanya rasa aman dan memperkuat memoria passionis mereka atas pengalaman kelam masa lalu,” katanya.
Kritik atas pemekaran Papua juga muncul dari kalangan pegiat hak asasi manusia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid membenarkan bahwa pemekaran di Papua seharusnya melibatkan MRP sebagai representasi kultural OAP.
Menurutnya, pelibatan itu adalah bentuk perlindungan atas hak-hak orang asli Papua. Pemekaran sepihak akan semakin menyebabkan polarisasi di kalangan Papua dan membuat konflik menjadi semakin kompleks
“Dalam beberapa waktu terakhir ini muncul demonstrasi tolak pemekaran yang sangat besar dan melahirkan korban jiwa. Pemekaran Papua malah menyulut konflik di Papua dan mendorong situasi yang tidak kondusif bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Papua. Apalagi kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua belum ada yang selesai,” kata Usman yang juga merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
“Seharusnya DPR memperhatikan suara rakyat Papua. Seharusnya DPR berpikir bagaimana caranya menghentikan baku tembak yang terus meningkat eskalasinya. Pemerintah dan DPR harus segera mengundang MRP dan Gubernur Papua untuk membicarakan kebijakan tersebut. Warga Papua sudah memberikan yang terbaik dalam membela dan memperjuangkan hak-hak mereka. Tidak sedikit dari mereka telah menjadi korban. Sayangnya, pemerintah pusat dan DPR kurang aspiratif,” katanya.
Baik Cahyo maupun Usman mengimbau Pemerintah dan DPR untuk menghormati uji materi atas Revisi Kedua UU Otsus yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi. DPR dan juga seharusnya mempertimbangkan usul Komnas HAM untuk mendorong dialog dengan semua komponen rakyat Papua, termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Mereka mendesak Pemerintah membatalkan rencana pembentukan provinsi baru di Papua atau setidaknya menunda rencana tersebut sampai ada putusan MK pada beberapa bulan mendatang. (*)