“Mereka telah dijanjikan pekerjaan di perkebunan tetapi kemudian tersingkir karena para pekerja migran dari bagian lain Indonesia telah menggantikan mereka,”
Jakarta, Jubi TV– Pemerintah Indonesia mencanangkan rencana pendirian ‘Food Estate’ di awal pandemi Covid-19 tahun 2020 dengan dalih ingin menjamin ketahanan pangan Indonesia.
Dalam laporan bersama TAPOL dan AwasMIFEE! menyebutkan, pada April 2020 saat pandemi COVID-19 dimulai, FAO mengumumkan keprihatinannya, bahwa salah satu implikasi dari pandemi tersebut yakni meningkatnya kerawanan pangan, yang akan memukul kelompok paling rentan di seluruh dunia.
Tak lama kemudian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan rencana pemerintah untuk mengubah ratusan ribu hektar lahan di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi persawahan baru.
Kemudian pada Juli 2020, Pemerintah Indonesia mengadakan rapat perencanaan rutin, dan telah memperluas perencanaan program ‘Food Estate’ ke beberapa provinsi lain di Indonesia. Proyek serupa kini telah diumumkan di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Pada 7 Juli 2020, Presiden Joko Widodo mengundang Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan untuk mengawasi pelaksanaan program Food Estate. Alasan yang diberikan terkait pelibatan Kementerian Pertahanan (Kemhan) adalah kapasitas yang dimiliki untuk bereaksi cepat dalam krisis.
Kementerian Pertahanan dengan cukup antusias mengambil mandat ini, bahkan telah memulai pencarian lahannya sendiri di seluruh Indonesia, yang tampaknya terlepas dari proses yang dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hal ini menandai kebangkitan kembali konsep ‘Food Estate’: yakni rencana pemerintah menciptakan area produksi pertanian baru yang luas.
Ancaman baru
Dalam laporan bersama TAPOL dan AwasMIFEE! menunjukkan bagaimana rencana Food Estate sangat berpeluang memicu korupsi. itu juga berpotensi menghasilkan pangan untuk pasar ekspor yang menguntungkan konglomerat agro-industri dan kepentingan oligarki.
Menilik rencana sebelumnya dan rencana saat ini yang diketahui, Food Estate telah dan akan menyebabkan kehancuran ekologis, dan lebih jauh lagi akan menyingkirkan penduduk asli atau masyarakat adat West Papua, demikian ditegaskan dalam laporan itu.
Laporan ini juga menyoroti kelemahan serius yang berpeluang timbul dari sejak awal rencana ini dirancang, terutama melemahkan peraturan yang dirancang untuk melindungi lingkungan, penebangan hutan primer dan drainase lahan basah, perampasan tanah, dan potensi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap budaya masyarakat adat di West Papua.
Perampasan Tanah dengan Dalih Pandemi berpendapat bahwa dukungan kuat pemerintah untuk korporasi pertanian perkebunan di Papua bagian selatan dan di daerah lain di Indonesia berpotensi meningkatkan korupsi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga dituding telah mundur dari komitmennya, untuk menghentikan deforestasi di Indonesia seperti yang dideklarasikan pada KTT COP26 di Glasgow pada tahun 2021.
Laporan 29 halaman ini secara umum meliputi:
• Kronologi rencana pembangunan pertanian masa lalu dengan pendekatan top-down di West Papua yang sebagian besar dibuat dengan perencanaan buruk dan berumur pendek, namun ancamannya bersifat jangka panjang bagi seluruh lanskap Provinsi Papua bagian selatan;
• Bagaimana rencana Food Estate berpotensi menyuburkan korupsi, dimana aktor perusahaan dan negara serta keluarga dan teman-teman mereka – yang bukan orang West Papua – mendapat manfaat dari alokasi lahan untuk Food Estate;
• Bagaimana potensi korupsi ini difasilitasi oleh undang-undang baru yang memberikan kekuatan tambahan kepada pemerintah pusat untuk merampas tanah demi Food Estate, serta mengelak dari upaya perlindungan lingkungan;
• Bagaimana pertumbuhan industri perkebunan di West Papua selama dekade terakhir memiliki banyak potensi dampak negatif yang cenderung akan diderita masyarakat adat – termasuk insiden konflik horizontal yang sering terjadi antar masyarakat dan meningkatnya kerawanan pangan lokal;
• Bagaimana mata pencaharian masyarakat adat sekaligus budayanya akan terancam oleh Food Estate saat sebagian besar tenaga kerja di perkebunan yang ada saat ini telah mempekerjakan tenaga kerja bukan orang asli Papua, sehingga menempatkan komunitas masyarakat adat ‘tertindih di lapisan paling bawah“ di atas tanah mereka sendiri dan memperkuat diskriminasi struktural yang masih ada.
Ketua TAPOL, Steve Alston dalam komentarnya yang dikutip Asia Pacific Report akhir April lalu mengatakan masyarakat di Provinsi Papua bagian selatan, selama lebih dari 15 tahun telah menanggung perampasan tanah dan pembukaan hutan untuk perkebunan besar-besaran.
“Mereka telah dijanjikan pekerjaan di perkebunan tetapi kemudian tersingkir karena para pekerja migran dari bagian lain Indonesia telah menggantikan mereka,” ujarnya
TAPOL berharap laporan ini bisa memberi pemahaman tentang Food Estate kepada publik, pembuat kebijakan, serta rakyat West Papua dan Indonesia, khususnya pemahaman soal tanah-tanah adat yang dirampas, potensi kerusakan ekologis yang diakibatkan, dan alasan-alasan meragukan di balik pembangunannya.(*)
Artikel ini telah terbit di Jubi.id dengan Judul: TAPOL:Rencana ‘Food Es-tate’ Era Pandemi sarat Korupsi dan kian Ancam Masyarakat adat Papua