Jubi TV – Pemerintah Indonesia sedang mencari pendekatan yang lebih terintegrasi untuk kebijakan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pendekatan yang dicari ini diharapkan meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua dan efektif mengatasi konflik yang berlangsung cukup lama di Tanah Papua.
“Pemerintah akan memperkenalkan pendekatan baru yang berbasis kesejahteraan,” kata Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD dalam jumpa pers, Kamis pekan lalu
Pendekatan ini menurut Mahfud akan kolaboratif dan terintegrasi, artinya kementerian tidak boleh bekerja sendiri-sendiri. Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin pendekatan baru ini di Papua dan Papua Barat, yang akan difokuskan pada masalah pertanian, keamanan dan sosial.
Mahfud menambahkan bahwa pendekatan multi-stakeholder diatur dalam amandemen Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang baru-baru ini disahkan, yang memberikan alokasi dana otonomi khusus yang lebih besar bersama dengan pengawasan pemerintah pusat yang lebih besar dalam pencairannya.
Namun rencana pemerintah ini dilihat sebagai “lips service” oleh Filep Karma, tokoh politik Papua yang selama ini aktif berkampanye Papua Merdeka.
Menurut Karma, apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia ini bukan hal baru. Sudah terjadi sejak tahun 1963. Janji-janji Pemerintah Indonesia hanya manis terdengar tapi pahit dalam kenyataan. Ia menyebutkan Pemerintah Indonesia sejak menganeksasi Papua yang saat itu bernama Netherland New Guinea, menjanjikan kesejahteraan juga. Namuh sudah lebih 50 tahun Papua menjadi bagian dari Indonesia, kesejahteraan itu tak kunjung datang.
“Yang terjadi hanyalah mengulang janji-janji itu saja. Sejak Otonomi Khusus diterapkan tahun 2021, janji itu diulang kembali. Setelah 20 tahun kemudian diulang lagi,” kata Karma.
Karma menambahkan alokasi dana yang ditingkatkan dari 2 persen menjadi 2,25 Dana Alokasi Umum (DAU) bukanlah hal yang perlu digembar-gemborkan oleh Pemerintah Indonesia. Sebab dana yang disebutkan sebagai dana Otsus tersebut adalah konsekuensi logis dari adanya Undang-Undang Otsus.
“Dana itu pun tidak sebanding dengan penderitaan Orang Asli Papua sejak dianeksasi Indonesia,” kata Karma.
Ia menambahkan pendekatan apapun yang dibuat Pemerintah Indonesia akan sulit dipercaya oleh Orang Asli Papua karena selama ini Pemerintah Indonesia tidak pernah konsisten dan terbuka pada setiap kebijakan yang diterapkan di Papua. Contohnya, pendekatan humanis yang dijanjikan oleh Panglima TNI yang baru, Jenderal Andika Perkasa sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di Papua. Droping pasukan non organik masih terus terjadi.
Sama halnya dengan migrasi dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua yang terjadi secara masif, tidak pernah mendapatkan perhatian dari Pemerintah Indonesia meskipun migrasi ini menjadi faktor yang sangat signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan Orang Asli Papua.
“Pemerintah seharusnya bisa mensortir orang-orang yang masuk ke Tanah Papua agar tidak memindahkan kemiskinan ke Tanah Papua. Orang-orang yang punya keahlian khusus silahkan datang ke Tanah Papua agar ada transfer keahlian. Kalau yang tidak punya, mohon maaf, tidak usah datang ke Tanah Papua,” ujar Karma.
Ia menyimpulkan rencana Pemerintah Indonesia ini hanya untuk konsumsi media massa saja, bukan untuk benar-benar menyelesaikan persoalan Tanah Papua.
Sejak terpilih pada tahun 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah berulang kali menekankan fokus pemerintah untuk membangun Papua dan Papua Barat melalui program pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan, dengan harapan dapat menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama di daerah. Amandemen UU Otonomi Khusus yang baru disahkan adalah bagian dari fokus pemerintah tersebut.
Namun laporan Institue for Policy Analysis of Conflict menyebutkan Undang-undang tersebut disatu sisi memuat beberapa ketentuan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas belanja pembangunan di Papua namun di sisi lain, hal itu meningkatkan gesekan antara Papua dan Jakarta dan mengabaikan tuntutan lama orang Papua untuk membatasi migrasi dan melindungi hak asasi manusia.
Laporan IPAC ini memberikan analisis mendalam tentang perubahan utama dalam UU Otsus yang baru dan proses kontroversial yang dilalui dalam penyusunannya.
“Jakarta mengarahkan proses revisi sepihak yang mengesampingkan orang-orang yang diklaim Jakarta telah dibantunya,” kata Sana Jaffrey, direktur IPAC.
Hasil amandemen ini kemudian membuat “kekhususan” Papua yang ada di dalam UU Otsus tersebut menjadi tidak ada lagi. (*)
News Desk