Jakarta, Jubi TV– Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Theofransus Litaay mengatakan filosofi pembentukan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua memiliki keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua (OAP).
Hal tersebut disampaikan Theo –sapaan Theofransus Litaay–dalam acara diskusi bertema “Mengupas Landasan Filosofi Pembentukan Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) dan Mekanisme Penganggaran” yang berlangsung secara daring, Sabtu (11/2), yang digelar Departemen Gugus Tugas Papua (GTP) Pengurus Pusat Pemuda Katolik, sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu.
“Kalau kita lihat pada UU Otsus ini kita bisa memaknai filosofinya ada pada perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua (OAP),” kata Theofransus dalam paparannya di webinar dilansir Antara.
Diskusi Webinar itu mengundang tiga orang narasumber yang memiliki kompetensi dan pemahaman serta terlibat langsung selama ini dalam pengawasan dan pelaksanaan UU Otsus Papua tersebut yakni Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Theofransus Litaay, Anggota DPD RI Perwakilan Papua Barat Filep Wamafma dan Kepala Sub Bagian (Kasubid) Pemerintahan dan Otonomi Khusus Bappeda Provinsi Papua Eddy Way.
Theofransus dalam paparannya menjelaskan bahwa UU Nomor 21 Tahun 2001 yang telah direvisi menjadi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua, menjadi pedoman dalam kerangka otonomi khusus.
Pakar hukum otonomi khusus ini berharap agar UU Otsus yang telah direvisi itu menjadi efektif dalam menampung hak-hak masyarakat Papua secara lebih proporsional.
“Diharapkan menjadi instrumen atau alat untuk menjawab berbagai persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat kita di Papua. Karena kita harus menjawab masalah kemiskinan, keterbelakangan, kemudian masalah sosial dan masalah ekonomi yang kemudian memicu terjadinya persoalan-persoalan baru,” kata dia.
Theo mengajak bahwa semua pihak terkait perlu terlibat mencari solusi dalam menjawab persoalan-persoalan yang ada di Papua, khususnya para pemuda dan mahasiswa dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
“Sehingga nantinya ke depan kehadiran kita di tengah-tengah masyarakat bisa ikut menghidupkan kegiatan masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang ada di Papua,” ujar dia.
Anggota DPD RI Perwakilan Papua Barat Filep Wamafma menyebutkan, saat ini pembicaraan otonomi khusus lebih kepada konsep politik.
“Di Papua ada yang setuju dan tidak setuju Otsus. Yang setuju adalah orang yang ada di dalam pemerintah dan yang tidak setuju adalah orang yang sangat konsisten dengan idealisme dan ideologi atau orang yang tidak percaya dengan eksistensi Otsus itu sendiri. Inilah yang membuat saya coba melihat Otsus dalam konteks filsafat,’ ujar Filep.
Filep menjelaskan, dalam melihat filsafat Otsus Papua, perlu dikaji apakah UU Otsus Papua adalah kebijaksanaan yang tepat untuk Papua, dapat mewujudkan perlindungan pada orang Papua, dan apakah mampu memberikan kewenangan kepada pemerintah dan rakyat untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
“Ini merupakan pertanyaan yang bisa diteliti ke depannya. Filsafat ini hanya menemukan pertanyaan. Selanjutnya kita meneliti dan mencari kebenaran. Ini sebenarnya pertanyaan yang bisa dicari tahu oleh mahasiswa, bahkan bisa menjadi skripsi,” kata Filep Wamafma.
Menurut dia, jika dilihat dari konsep dasar otonomi maka dalam UU Otsus Papua, ada aturan yang mengatur diri sendiri, rumah tangga sendiri dan kewenangan sendiri.
“Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah UU Otsus Papua sudah mengakomodasi semua aspek yang ada di Papua? Apakah UU Otsus Papua sudah memproteksi hak-hak orang Papua? Inilah yang harus teman-teman cari dan temukan dalam UU Otsus Papua. Saya sering bilang kita bicara Otsus bukan soal isi UU, tetapi mari kita bedah undang-undangnya. Saya pikir diskusi ini merupakan salah satu bagian untuk kita melihat UU Otsus ini,” ujarnya.
“Kita bisa lihat apakah UU Otsus Papua ini sudah ada yang khusus atau tidak. Kalau sudah khusus, maka apa yang khusus? Dan kalau tidak khusus apa yang tidak khusus? Kita harus cari dalam penelitian untuk melihat UU Otsus di Papua,” ucapnya.
Mengenai otonomi manusia atau otonomi sekelompok masyarakat, kata Filep, UU Otsus Papua sejatinya mengatur manusia, di mana manusia secara individu adalah orang asli Papua (OAP), sedangkan manusia secara kelompok, suku dan bangsa adalah masyarakat komunal.
“Sekarang timbul pertanyaan apakah UU Otsus telah melindungi orang asli Papua? Apakah UU Otsus sudah mengakui hak-hak masyarakat adat di Papua? Silahkan diteliti dan tidak bisa sebatas wacana atau opini. Filsafat memberikan ruang untuk kita meneliti tentang kebenaran-kebenaran. Mencari kebenaran, mencari kebenaran dan mencari kebenaran,” kata dia.
Sementara itu Kepala Sub Bagian (Kasubid) Pemerintahan dan Otonomi Khusus Bappeda Provinsi Papua Eddy Way mengatakan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua dalam aspek kebijakan berupaya mengangkat harkat dan martabat, afirmasi dan melindungi hak dasar orang asli Papua, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya dengan kepastian hukum, percepatan kesejahteraan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kesinambungan keberlanjutan pembangunan.
Dalam konteks pemerintah, menurut Eddy, apa yang ada dalam konsideran UU Otsus Papua harus masuk dalam kerangka logika dalam menyusun semua dokumen perencanaan, sehingga hubungan perencanaan pembangunan dengan anggaran dapat berjalan selaras.
Sedangkan Ketua Departemen Gugus Tugas Papua PP Pemuda Katolik Melkior Sitokdana mengungkapkan bahwa pro dan kontra terhadap UU Otsus Papua sejatinya telah berakhir. Diskusi yang digagas pihaknya berupaya melihat peluang dari revisi UU Otsus dan pemekaran provinsi di Papua untuk dapat meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.
“Kami sampaikan terima kasih semua narasumber dan semua peserta yang hadir. Semoga melalui diskusi ini kita bisa memberikan rekomendasi untuk pelaksanaan implementasi UU Otsus di Papua,” kata Melkior Sitokdana. (*)