Jubi TV– Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar mengatakan pemerintah harus membicarakan rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua dengan pemangku kepentingan di Tanah Papua. Hal itu dinyatakan Latifah Anum Siregar selaku pembicara dalam diskusi daring Papua Strategic Policy Forum #11 bertema “Pemekaran Papua Untuk Siapa?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada pada Kamis (24/2/2022).
Siregar menjelaskan batas-batas wilayah adat yang dijadikan acuan dalam rencana pembentukan provinsi baru di Tanah Papua masih menjadi perdebatan. Menurutnya, sejumlah bupati di Tanah Papua juga masih mempersoalkan tentang pengelompokan wilayahnya dalam wilayah adat di Tanah Papua. Apabila pemerintah pusat dan DPR RI membahas rancangan undang-undang pembentukan provinsi baru di Tanah Papua tanpa mempertimbangkan batas wilayah adat, undang-undang yang dihasilkan akan menimbulkan masalah baru pada masa mendatang. “Sebab apabila provinsi didatangkan tetapi kemudian menyisakan konflik, kita mau salahkan siapa nantinya? Pemerintah pusat dan DPR RI harus berkoordinasi ke daerah,” kata Siregar.
Siregar berharap pemerintah pusat, pemerintah provinsi di Tanah Papua, maupun pemerintah kabupaten/kota bicara sebaik-baiknya tentang batas wilayah adat, tapal batas kabupaten/kota, maupun penentuan ibu kota provinsi yang akan dibentuk. Pembahasan itu sebaiknya juga melibatkan Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua sebagai perwakilan masyarakat Papua.
“Selain polemik wilayah budaya di antara bupati, juga [terjadi]saling tarik-ulur mengenai, penempatan ibu kota [provinsi baru]. Misalnya, Bupati Mimika mengatakan bahwa Mimika layak sebagai ibu kota. Sementara Asosiasi Bupati Wilayah Meepago, termasuk Bupati Nabire, mengatakan Nabire [paling sesuai menjadi ibu kota provinsi baru],” kata Siregar.
Di sisi lain, apa yang dinyatakan bupati juga tidak selalu sejalan dengan aspirasi masyarakat. “[Usulan] penempatan ibu kota provinsi di Nabire juga mendapatkan protes dari masyarakat Nabire asal pesisir. Mereka mengatakan bahwa Nabire adalah bagian dari wilayah pesisir. [Selain itu], juga ada persoalan tapal batas antara Nabire dan Kabupaten Waropen,” kata Siregar.
Siregar mengatakan jika berbagai perbedaan pendapat itu tidak diselesaikan, pembentukan provinsi baru berbasis wilayah adat justru akan menimbulkan konflik. “Insiatif pemerintah indonesia baik, untuk kesejahteraan. Tapi cara merumuskan Naskah Akademik untuk pemekaran tanpa mempertimbangkan aspirasi [daerah], itu bisa jadi persolan serius di kemudian hari,” katanya.
Menurutnya, rencana pemekaran Provinsi Papua seharusnya dibahas dulu oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua, karena kedua lembaga itu bisa membahas berbagai aspirasi yang muncul. Setelah dibahas kedua lembaga itu, barulah rencana pemekaran bisa dibahas di tingkat pusat. “Jika dilakukan tanpa persetujuan rakyat, [yaitu] representasi DPR Papua dan MRP , Itu menjadi sangat politis. Aturan [yang akan] dibuat di luar akal sehat, sebab bertentangan dengan aspirasi orang Papua saat ini,” ujar Siregar.
Siregar mengingatkan pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua Barat, berikut pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun gagal memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Tanah Papua. “IPM Provinsi Papua dan Papua Barat masih rendah. Nanti siapa yang akan bekerja, mau bawa sumber daya manusia dari mana, sementara jumlah orang Papua masih sedikit,” kata Siregar.
Ia mengingatkan pemekaran provinsi Papua tanpa proteksi bagi Orang Asli Papua justru akan semakin memarjinalkan Orang Asli Papua. “Kalau terjadi migrasi besar-besaran, orang dari luar masuk [ke Papua namun] tidak masuk interaksi, bisa menjadi konflik [di antara] orang [yang] tidak tahu apa-apa,”kata Siregar.
Siregar menegaskan pemekaran provinsi bukanlah solusi bagi pesoalan konflik di Tanah Papua. Menurutnya, konflik di Tanah Papua harus diselesaikan dengan dialog yang bermartabat. Ia mengingatkan pemekaran provinsi di Tanah Papua bisa menimbulkan persoalan baru, termasuk konflik tenurial.
“Perampasan tanah adat, persoalan tapal batas, semua menjadi persoalan yang mesti dibicaran terlebih dahulu, [baru] kemudian persoalan lain dibicarakan,” kata Siregar.
Selaku pembicara dalam diskusi yang sama, Ketua Komisi II DPR RI Dr H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan DPR RI telah menyiapkan Naskah Akademik pemekaran provinsi di Tanah Papua. Ahmad menyatakan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Menurutnya, perubahan itu menjadi dasar bagi DPR RI untuk menyiapkan Naskah Akademik pembentukan provinsi baru yang didasarkan kepada wilayah adat di Tanah Papua. “Komisi II DPR-RI sudah mempunyai naskah akademik terkait dengan rencana pemekaran [provinsi] berdasarkan pendekatan wilayah adat.Di Provinsi Papua, itu termasuk di wilayah [adat] Mamta dan Saireri, wilayah Lapago [untuk membentuk] Provinsi Pegunungan Papua Tengah. [Juga ada wilayah adat] Meepago. [Lalu Wilayah adat] Anim Ha [untuk membentuk] Provinsi Papua Selatan. Kemudian di Provinsi Papua Barat, [wilayah adat Bomberai untuk membentuk] Provinsi Papua Barat Daya,” kata Ahmad.