Jayapura, Jubi – Fakta menunjukan bahwa pemekaran suatu wilayah sangat tergantung dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana pendapatan daerah itu berasal dari sumber-sumber penerimaan murni daerah lewat komponen utama pajak dan retribusi daerah.
PAD dipergunakan untuk pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, untuk itu PAD harus diupayakan selalu meningkat.
Faktanya hampir 60 persen daerah tak mampu memenuhi target pendapatan asli daerahnya (PAD) dan mestinya harus kembali ke kabupaten induk.
“Bagaimana mau mencapai target kesejahteraan kalau daerah tersebut tidak mampu meningkatkan PADnya masing-masing,” kata Dr John Boekorsjom, MM, mantan Kepala Bidang Sosial dan Budaya Bappeda Provinsi Papua kepada jubi.id pekan lalu di Jayapura.
Dia menambahkan saat ini di Provinsi Papua terdapat banyak kabupaten pemekaran tetapi faktanya tidak semua kabupaten, tidak mampu meningkatkan PADnya. “Justru mereka masih tergantung pada APBD maupun APBN.Hal ini akan mempengaruhi pembangunan daerah dan juga tidak tercapainya pemerataan kesejahteraan,” katanya.
Lebih baik belajar dari pengalaman era Orde Baru di mana pemerintah pusat tidak langsung melakukan pemekaran tetapi membagi wilayah wilayah menjadi Pembantu Gubernur dan juga wilayah Pembantu Bupati. “Harus ada evaluasi pemekaran wilayah kabupaten pemekaran layak atau dikembalikan kepada kabupaten induk,” katanya. Dia menambahkan dalam era Orde Baru provinsi Papua telah dibagi menjadi Pembantu Wilayah I di Jayapura, Pembantu Gubernur Wilayah II di Manokwari dan Pembantu Gubernur Wilayah III di Merauke.
Dr Boekorsjom MM yang juga dosen luar biasa di Instittut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kampus Provinsi Papua menambahkan bahwa Departemen Dalam Negeri setelah melakukan moratorium pemekaran provinsi dan kabupten belum memberikan evaluasi dan juga green design pemekaran provinsi maupun kabupaten di Indonesia.
Mantan Mendagri Tjahjo Kumolo justru mengatakan pentingnya dalam pemekaran adalah daerah pemekaran mampu meningkatkan PAD. “Buat apa dimekarkan kalau nggak bisa meningkatkan PADnya hanya mengandalkan anggaran pusat,” kata Tjahjo sebaimana dilansir https://nasional.republika.co.id
Ia menyebutkan, pengalaman daerah pemekaran sebelumnya kurang lebih sekitar 60 persen yang gagal meningkatkan PAD daerah tersebut. Hal ini juga yang kemudian membuat pemerintah akan lebih selektif mengabulkan pemekaran daerah.
PAD Kota Jayapura
Mengutip Luigi Laurens Derosario Berwulo dan kawan kawan dalam Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Jayapura dari Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangie menyebutkan bahwa perkembangan PAD dan untuk mengetahui tingkat kemandirian, efektifitas dan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah di Kota Jayapura dari 2009-2014 terus mengalami peningkatan.
Meskipun pendapatan asli daerah kota Jayapura terus tumbuh positif setiap tahunnya. “Namun hal ini belum menjanjikan kemandirian karena pendapatan daerah dari alokasi anggaran pemerintah pusat masih amat besar,” tulis tim peneliti dari Unsrat itu.
Tim peneliti menyimpulkan terlepas dari semakin baiknya perekonomian Kota Jayapura dengan terus tumbuh setiap tahunnya terutama dalam sektor pendapatan asli daerah. Secara agregat sendiri PAD Kota Jayapura masih amat kecil dan belum bisa menopang anggaran rumah tangganya sendiri dan masih bergantung pada alokasi anggaran dari pemerintah pusat.
Sementara itu Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano mengaku, tahun anggaran 2020 masih ditutup baik oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Jayapura dengan memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) over target sekira Rp18 miliar.
Dengan over pendapatan asli daerah ini Wali Kota mengucapkan terima kasih kepada wajib pajak, Bapenda maupun organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya yang ikut melakukan pemungutan sesuai Tupoksinya.
Wali Kota juga meminta kepada Bapenda terus melalukan optimalisasi peningkatan PAD dari berbagai sektor yang selama ini belum maksimal digali contohnya retribusi parkir, pajak air tanah, pajak reklame dan lainnya.
Berdasarkan data Bapenda Kota Jayapura dua tahun terakhir atau sejak pandemi, pada 2020 ditargetkan sebesar Rp250 miliar, namun mengalami refocusing sebesar Rp120 miliar sehingga menjadi Rp130 miliar berdasarkan perubahan APBD.
Target ini surplus Rp20,5 miliar. Sementara itu, pada 2021 PAD ibukota Provinsi Papua itu, berada di angka Rp215 miliar, yang juga mengalami surplus atau melebihi target pendapatan. Pada 2022 ini, PAD juga ditargetkan sebesar Rp243 miliar.
Kemandirian Keuangan Daerah
Sementara itu Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Gunawan Ridwan dalam penelitian berjudul Local Budget Analysis (LBA) Papua 2020 pada 25 Februari 2021 sebagaimana dilansir Infoanggaran.com menyebutkan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat dinilai belum memiliki kemandirian keuangan daerah. Kedua provinsi itu masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat melalui dana transfer daerah.
“Kemandirian keuangan daerah dilihat dari seberapa besar kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa mendanai belanja daerah,” jelas Gunardi Ridwan, peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
Kesimpulan itu didapat dari hasil penelitian LBA yang dilakukan di delapan daerah, yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat dengan menggunakan metodologi kualitatif dengan teknik desk analysis.
Selama 2016 hingga 2019, berturut-turut PAD Papua tidak pernah mencapai 10 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Rinciannya, 2016 sebesar Rp1,098 triliun atau 8,8 persen dari total APBD Rp12,438 triliun. Di 2017, persentasenya meningkat menjadi 9,4 persen dari total APDB Rp13,968 triliun sebesar Rp1,308 triliun.
Pada 2018, jumlahnya turun ke angka 7,4 persen atau senilai Rp1,009 triliun dari total APBD Rp13,548 triliun. Lalu pada 2019 turun lagi menjadi 6,7 persen sebesar Rp938 miliar dari APBD sebanyak Rp13,978.
“Sementara Papua Barat juga tidak jauh berbeda. Di 2016 persentasenya 5,1 persen, 2017 sebesar 5,9 persen, kemudian mengalami penurunan di 2018 jadi 5,8 persen dan turun lagi ke angka 5,2 persen di 2019,” jelas Gunardi.
Selain kemandirian keuangan daerah, aspek lainnya yang menjadi indikator kesehatan keuangan daerah adalah ruang fiskal. Di Papua dan Papua Barat, ruang fiskal masih berada di bawah 50 persen dari total pendapatan daerah. “Kondisi ini masuk pada kategori sedang. (*)