News  

Mutilasi Disertai Penembakan 4 Warga Sipil Nduga Disebut Kejahatan Kemanusiaan pada Era Otsus

Merupakan kerja sistematis dan terstruktur di bawah perintah komando

Mutilasi IMG-20220920-WA0148-01-768x618
Solidaritas Kemanusiaan Mahasiswa Papua di Salatiga, Semarang dan DIY saat menggelar aksi damai di Salatiga, Senin, (19/9/2022) –Mey Tebai untuk Jubi

Enarotali, Jubi TV– Tindakan kejahatan kemanusiaan yang berujung pada pembunuhan  dan mutilasi terhadap empat warga sipil asal Nduga di Timika, 22 Agustus 2022 mendapatkan respons dari solidaritas mahasiswa Papua di Jawa Tengah

Menurut mahasiswa, kejahatan kemanusiaan terhadap warga bernama Arnold Lokbere (mantan mahasiswa UNTAG Semarang ), Irian Nirigi (kepala desa di Nduga ), Atis Tini (pelajar ), dan Lemanion Nirigi (pemuda)  itu  dilakukan secara sadar, terencana, terstuktur dan sistematis.

Menurut koordinator ikatan pelajar dan mahasiswa Nduga se Jawa Tengah bersama solidaritas kemanusian mahasiswa Papua di Salatiga, Semarang dan DIY serta keluarga korban, Pinus Nirigi, kasus mutilasi tersebut merupakan pertama kali pada masa pemberlakuan status Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dengan realitas praktik hukum di Biak Berdarah yang tak diselesaikan secara hukum, maka persoalan ini pun dikhawatirkan  akan senasib dengan kasus sebelumnya.

“Keterlibatan anggota TNI dari BRIGIF IJK/20/R3 dengan melibatkan seorang berpangkat mayor, kapten, praka dan pratu serta berafiliasi dengan warga sipil,  merupakan kerja sistematis dan terstruktur di bawah perintah komando yang berakibat pada terpenuhinya unsur pertanggungjawaban komando. Sebab, peristiwa pembunuhan dengan cara mutilasi terhadap 4 warga sipil asal Nduga di Timika ini merupakan kasus sadis pertama pada masa pemberlakukan Otsus dan hal kedua setelah terdapat kasus mutilasi pada Biak Berdarah pada pada 6 Juli 1998 (24 tahun),” kata Pinus Nirigi kepada Jubi melalui keterangannya, Selasa, (20-/9/2022).

Pernyataan itu, kata Nirigi pihaknya telah sampaikan secara terbuka saat menggelar aksi damai di Salatiga, Senin, (19/9/2022). Sebab, praktek pembunuhan manusia dengan cara direncanakan, ditembak mati, dimutilasi hingga berbagai tindakan upaya penghilangan jejak korban tidak dibenarkan oleh norma hukum manapun di atas permukaan bumi, tidak dibenarkan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh setiap umat manusia di atas permukaan bumi ini.

Ia mengatakan, segala kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM di atas tanah Papua,  bukan peristiwa baru.  Tetapi dengan kasus tembak mati dan mutilasi keempat warga sipil ini menjadi momentum membuka tabir kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang selama ini dibiarkan  Negara Indonesia.

Selama Papua berada dalam lingkaran ketidakadilan hukum, HAM dan demokrasi, maka nilai kemanusiaan bagi orang asli Papua selalu saja disamakan dengan nilai hewan, sehingga upaya dan desakan apapun tidak ada ukuran bagi negara untuk menyelesaikannya.

“Kami ikatan pelajar dan mahasiswa Nduga se Jawa Tengah bersama solidaritas kemanusiaan mahasiswa Papua di Salatiga, Semarang dan DIY serta keluarga korban,  dengan ini menyampaikan desakan dan tuntutan  praktik tembak mati, mutilasi, isi dalam karung dilapisi batu sebagai pemberat dan ditenggelamkan di jembatan lopong sungai Wania kampung Pigapu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat.

Tindakan tembak mati dan mutilasi keempat warga merupakan bentuk penghinaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, merendahkan hakekat dan nilai kemanusiaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,” ungkapnya.

Proses hukum kata dia, di atas tanah Papua selalu saja ada diskriminatif dan tidak pernah ada satu kasus pun yang diselesaikan di pengadilan, maka kami membutuhkan dukungan dan intervensi masyarakat international guna mendapat pengakuan sebagai manusia.

Raimon Nirigi, salah satu mahasiswa di Salatiga mengatakan, pihaknya sangat mendesak a Dewan Ham PBB, Presiden Indonesia Joko Widodo, Kapolri, Panglima TNI, Kapolda Papua, Pangdam Cenderawasih/XVII, Kapolres Mimika, Dandim Mimika segera membentuk tim investigasi independen,  guna mengungkapkan motif dan fakta kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.

“Kami meminta  Dewan HAM PBB agar membentuk tim investigasi untuk mengusut dan megungkapkan kejahatan negara terhadap rakyat Papua sejak 1961 hingga hari sekarang dan lebih khusus terhadap 4 korban yang ditembak mati dan mutilasi,” kata Raimon.

Lanjut dia, pihaknya meminta  agar anggota TNI dari kesatuan Brigif IJK/20/3 Timika yang terlibat dalam kasus ini dipecat dengan tidak hormat, serta   diadili di pengadilan umum Timika.

“Kami keluarga korban menuntut hukuman mati kepada pelaku,  baik militer mau pun warga sipil yang terlibat dalam kasus tembak mati dan mutilasi pada 22 Agustus 2022,” ucapnya. “Harus mencopot Komandan Brigif IJK/20 Letkol Inf Arynovian Hany Sampurno. Dan seluruh proses hukum wajib dan harus dilakukan di Timika dan terbuka untuk umum,” katanya. (*)

Berita ini sudah terbit di Jubi.id dengan judul: Mutilasi 4 warga di Timika, kasus sadis pertama kali di masa Otsus

Komentar
Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130