Sorong, Jubi TV– Dalam dinamika pemilihan kepala daerah Provinsi Papua Barat Daya, Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya secara tegas menolak dua bakal calon gubernur dan wakil gubernur karena dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai Orang Asli Papua (OAP).
Penolakan ini tertuang dalam keputusan MRP Papua Barat Daya nomor 10/MRP.PBD/2024, yang telah disampaikan pada 6 September 2024.
Aktivis adat Malamoi, Ambrosius Klagilit, mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua Barat Daya untuk menghormati keputusan MRP tersebut. Menurutnya, keputusan ini adalah wujud affirmative action yang bertujuan melindungi hak politik Orang Asli Papua dalam Pilkada 2024.
“Kami meminta KPU Papua Barat Daya untuk mematuhi keputusan MRP. Ini merupakan bentuk perlindungan bagi hak-hak politik Orang Asli Papua yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua,” ujar Klagilit.
MRP Papua Barat Daya melalui rapat pleno luar biasa memutuskan bahwa dua bakal calon, yaitu Abdul Faris Umlati, S.E., M.M., M.Pd. (bakal calon gubernur) dan Dr. Ir. Petrus Kasihiw, M.T. (bakal calon wakil gubernur), tidak memenuhi syarat sebagai Orang Asli Papua. Keputusan ini berarti keduanya tidak dapat melanjutkan proses pencalonan dalam Pilkada Papua Barat Daya.
Ambrosius Klagilit menekankan bahwa keputusan ini sepenuhnya sejalan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yang memberikan kewenangan kepada MRP untuk melindungi hak-hak politik OAP. UU No. 21 Tahun 2001, yang telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2021, menggarisbawahi peran MRP dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan atas bakal calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan daerah.
“Kewenangan MRP adalah bentuk pengakuan terhadap hak-hak adat dan budaya OAP. Keputusan ini harus dilihat sebagai upaya untuk memastikan bahwa hak politik Orang Asli Papua tetap terjaga,” lanjut Klagilit.
Aktivis Malamoi lainnya, Ayub Paa, menambahkan bahwa KPU Papua Barat Daya wajib tunduk pada keputusan MRP dan tidak boleh mengambil langkah yang bertentangan. “KPU tidak bisa mengabaikan keputusan MRP karena ini menyangkut hak konstitusional OAP,” kata Paa.
Ayub Paa juga menegaskan bahwa KPU harus memperhatikan prinsip lex specialis derogat legi generali, yang berarti bahwa aturan khusus, seperti Undang-Undang Otonomi Khusus, harus diutamakan di atas aturan umum dalam penetapan bakal calon kepala daerah.
“Kami meminta KPU tidak bermain-main dengan kami, pemilik tanah adat. MRP telah menolak Abdul Faris Umlati karena jelas dia bukan Orang Asli Papua dan tidak memiliki hubungan dengan tanah adat di Papua Barat Daya. Ini keputusan yang harus dihormati,” ujar Paa dengan tegas.
Paa juga mengimbau agar dua kandidat yang ditolak, Abdul Faris Umlati dan Dr. Petrus Kasihiw, serta massa pendukungnya, tidak terlibat dalam praktik manipulasi demi memenangkan pencalonan mereka.
Selain itu, Ayub Paa meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan aliran dana yang beredar dalam proses Pilkada di Papua Barat Daya. Ia menduga ada upaya penggunaan uang secara tidak sah untuk mempengaruhi hasil pencalonan.
“Kami mendesak KPK untuk segera memeriksa sumber dana yang mengalir selama Pilkada ini. Uang itu berasal dari mana? Kami perlu keadilan dan transparansi,” pungkasnya.
Dengan latar belakang ini, masyarakat Papua Barat Daya berharap proses Pilkada berjalan sesuai dengan prinsip hukum dan keadilan, di mana hak-hak politik Orang Asli Papua dihormati sepenuhnya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id