“Itu artinya sekitar 30 persen penduduk terkena malaria pada tahun lalu,” kata John Rettob.
Timika, Jubi TV – Kabupaten Mimika, Provinsi Papua menargetkan untuk masuk pada fase praeliminasi kasus penyakit malaria pada 2026 mendatang, sementara target untuk melakukan eliminasi malaria dengan temuan kasus malaria nol pada 2030.
Wakil Bupati Mimika Johannes Rettob di Timika, Rabu, dilansir Antara mengatakan kasus malaria di Mimika hingga kini masih sangat tinggi yakni pada 2021, Annual Parasit Insidence (API) malaria di Mimika masih pada angka 300 per 1.000 penduduk.
“Itu artinya sekitar 30 persen penduduk terkena malaria pada tahun lalu,” kata John Rettob.
Masih pada 2021, temuan kasus malaria di Mimika sebanyak 119.167.
Mimika menyumbang sekitar 42 persen pada kasus malaria di Provinsi Papua dan 38,35 persen kasus malaria di Indonesia. Secara keseluruhan Papua menyumbang 78,98 persen kasus malaria di Indonesia.
Dengan waktu tersisa tinggal empat tahun lagi, menurut John Rettob, sulit untuk merealisasikan kondisi Mimika benar-benar bebas dari kasus malaria pada 2026 bahkan pada 2030 jika tidak ada kerja sama lintas sektoral yang sungguh-sungguh serius.
“Sebetulnya program yang kami susun baik di Malaria Center maupun Dinas Kesehatan sudah mengarah ke sana. Tapi ini butuh kerja sama semua sektor secara terintegrasi. Selama ini penanganan malaria belum ada keterlibatan aktif dari sektor-sektor yang lain, hanya bidang kesehatan saja,” kata John Rettob yang juga Ketua Malaria Center Mimika itu.
Dia menegaskan kasus malaria di Mimika akan turun drastis jika tidak ada lagi genangan air, saluran drainase tersumbat dan dipenuhi sampah, rerumputan di sekitar pemukiman warga tidak dibersihkan.
Yang lebih ironis lagi, katanya, saat ini tidak ada alokasi anggaran sepeserpun dari Pemkab Mimika untuk mendukung kegiatan Malaria Center.
“Kami di Malaria Center tahun ini tidak ada dapat dana sama sekali. Kami hanya mendapat dukungan dan bantuan dari lembaga Unicef untuk membayar insentif kader malaria berjumlah 300 orang dengan besar honorarium Rp500 ribu per bulan,” ujarnya.
Selain bantuan dari Unicef, program malaria center di Mimika juga didukung oleh PT Freeport Indonesia dan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK).
Kasus malaria yang masih sangat tinggi di Mimika, katanya, juga ikut memicu tingginya angka kasus kekerdilan (stunting) pada bayi dan balita.
Pertumbuhan janin pada ibu hamil yang terserang malaria akan terganggu dan setelah 1,000 hari kelahiran jika tidak dirawat dengan baik maka bayi tersebut berpotensi mengalami kekerdilan pertumbuhan dan berbagai penyakit lainnya.
“Berdasarkan data yang ada 10-15 persen ibu hamil di Mimika terserang malaria. Bagaimana kita mau menurunkan kasus stunting jika kasus malaria yang menjadi pemicunya tidak ditangani serius. Ini butuh dukungan dan peran serta semua pihak,” kata mantan Kepala Dishubkominfo Mimika.
Dia berharap ke depan Pemkab Mimika sungguh-sungguh serius memprioritaskan program dan kegiatan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah prioritas bukan malah menggelontorkan dana yang besar pada hal-hal yang kurang prioritas.
Untuk tahapan praeliminasi malaria pada 2026, Mimika menargetkan angka API di bawah 5 per 1.000 penduduk dan pada masa eliminasi,angka API malaria di Mimika harus di bawah 1 per 1.000 penduduk.
Tahun ini APBD Mimika yang ditetapkan DPRD Mimika pada rapat pembahasan akhir 2021 senilai Rp4,4 triliun.(*)