Jayapura, Jubi TV– Ketua Tim Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Universitas Cenderawasih, Prof Dr Melkias Hetharia, menyatakan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM di Papua dapat diselesaikan melalui hukum adat. Untuk itu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk untuk menyelesaikan kasus HAM harus memperhatikan budaya masyarakat Papua.
Hal itu disampaikan Hetharia sebagai pembicara dalam diskusi “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Tantangannya di Papua” yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua secara berani, pada Jumat (29/7/2022).
Menurut Hetharia penyelesaian HAM di Papua melalui hukum adat yang tepat karena kehidupan masyarakat Papua sangat kental dengan adat-istiadat. Sehingga dengan jalur penyelesaian hukum yang dinilai dapat memberikan rasa keadilan terutama terhadap masyarakat adat Papua.
“Kalau Aceh itu mereka menggunakan hukum agama atau syariat Islam dalam hal [penyelesaian pelanggaran HAM] ini,” katanya.
Hetharia menyatakan walaupun hukum adat menjadi utama dalam pelanggaran HAM di Papua , tetapi tetap memperhatikan penyelesaian melalui hukum positif atau hukum internasional
“Bentuk dan sistem KKR yang kita harapkan itu memang diusulkan dalam bentuk Peraturan Presiden oleh Gubernur Papua tapi kita perlu memperhatikan budaya masyarakat Papua yaitu kearifan lokal itu,” ujarnya.
Hetharia menyatakan nanti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM harus memperhatikan budaya Papua. Sehingga tujuan atau sasaran pelaksanaan tugas dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui keadilan restoratif atau transisional tercapai.
“Sifat KKR diharapkan permanen bukan hanya bersifat Ad-hoc yang ketika penyelesaian pelanggaran HAM selesai maka bubar [juga] KKR ini. Tapi kita berharap dia [KKR] merupakan suatu lembaga yang permanen,” katanya. (*)
Berita ini sudah terbit di Jubi.id dengan judul: Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua bisa melalui Hukum Adat