Jayapura, Jubi TV– Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) periode 2014-2019, Yohana Susana Yembise, mengatakan perempuan yang mengalami kekerasan harus bersuara dan berani melapor agar mendapat penanganan atau bantuan.
Menurut Yembise, kalau laporan-laporan kekerasan terhadap perempuan masuk di Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA), kasus tersebut akan menjadi atensi pusat. Akan tetapi, bila laporan yang masuk kurang, maka dianggap aman-aman saja.
“Kalau semakin banyak laporan-laporan dari Papua ini masuk kementerian dan kasusnya terbuka, pasti akan ada bantuan bagaimana kita menangani korban-korban kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga,” kata Yohana melalui sambungan telepon Senin (25/11/2024) malam.
Dia menyebutkan, Kemen PPA adalah kementerian koordinasi. Jadi, menteri di Jakarta, lanjutnya, tinggal menghubungi kepala dinas di Papua, kemudian kepala dinas langsung turun untuk melihat kasus-kasus yang terjadi di lapangan.
Hanya saja, korban kekerasan kadang merasa malu bila masalah keluarga diketahui publik, juga ada faktor ekonomi, misalnya seorang istri bergantung kepada suami yang mencari nafkah.
“Banyak kekerasan terjadi cuma orang itu kan malu untuk melaporkan. Kadang-kadang sudah melaporkan, suami misalnya dalam rumah tangga, suami ditangkap, istri bebaskan dengan sendirinya karena tidak bisa hidup tanpa suami,” ujarnya.
Ditambah lagi, budaya patriarki yang mana laki-laki merasa dominan sehingga perempuan dalam status sosial dinomorduakan. Masih ada anggapan bahwa tugas perempuan itu hanya di dapur, melayani suami dan mengurus anak-anak. Hal itu masih sering terjadi baik di kampung maupun kota.
Dalam rangka peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap perempuan, menurutnya hal itu perlu dikampanyekan besar-besaran. “Perempuan juga ingin maju, perempuan juga ingin berjalan setara dengan laki-laki. Tapi tidak dilakukan ya, kalau di negara-negara lain biasanya ada demo-demo di jalan,” katanya.
Mahasiswa Uncen, Gabriella Situmorang mengatakan Hari Anti Kekerasan terhadap perempuan penting diperingati, karena masih banyak yang menganggap perempuan sebagai objek sehingga rentan mengalami kekerasan. Gabriella bersimpati kepada korban kekerasan terkadang berat melaporkan hal tersebut karena ada trauma.
“ [Untuk perempuan korban kekerasan] kalian hebat bisa bertahan detik ini. Banyak [korban kekerasan] yang tidak mampu berpikir jernih sehingga memilih mengakhiri hidupnya,” ujarnya. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id