Jubi TV – Peran internet di Indonesia sebagai sumber informasi dan platform wacana publik telah tumbuh secara eksponensial selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2018, sebanyak 143,26 juta orang Indonesia, 55,68% dari populasi negara, diperkirakan mengakses internet, sebagian besar menggunakan platform media sosial. Hal ini telah mengganggu keseimbangan kekuatan di Indonesia.
Perusahaan Global seperti Google, Twitter dan Facebook menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah Indonesia. Meskipun pemerintah dapat meminta penangguhan akun atau konten, perusahaan media sosial memutuskan sejauh mana mereka mematuhi permintaan ini. Munculnya media sosial telah mendorong batas-batas kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi ke tingkat yang baru.
Berdasarkan taktik yang diterapkan dan mode operasinya, para peneliti menilai bahwa sumber daya yang diinvestasikan berjumlah antara 1M-50M Rupiah (antara US$71.000 dan US$3.551.000) melalui beberapa kontrak dengan perusahaan swasta.
Di satu sisi, pemerintah Indonesia menanggapi perkembangan ini dengan menyesuaikan kebijakan hukum yang bersifat restriktif seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2016. Di sisi lain, media sosial memberikan peluang baru bagi pemerintah untuk memajukan dan mengejar kepentingan negara.
Pada Oktober 2019, perusahaan media sosial terbesar dunia ‘Facebook Inc’ menghapus jaringan 69 akun Facebook, 42 halaman, dan 34 akun Instagram di Indonesia. Facebook mengidentifikasi jaringan akun otomatis dengan ratusan ribu pengikut karena “perilaku tidak autentik yang terkoordinasi”. Menurut siaran pers Facebook, akun tersebut telah memposting dan membagikan konten tentang West Papua, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Investigasi terhadap jaringan akun bot mengungkapkan tautan ke perusahaan media Indonesia InsightID.
Temuan Facebook mencerminkan hasil laporan Universitas Oxford tentang kampanye disinformasi global. Laporan tersebut menemukan bukti kampanye manipulasi media sosial yang terkoordinasi di 70 negara secara global, termasuk negara-negara dengan pemerintahan demokratis seperti Indonesia. Sebanyak 26 dari 70 pemerintah negara-negara ini menggunakan kampanye untuk secara khusus menekan hak asasi manusia, mendiskreditkan lawan politik, dan membungkam perbedaan pendapat.
Meskipun laporan tersebut tidak mencantumkan Indonesia di antara 26 negara bagian ini, temuan lain dengan kuat menunjukkan bahwa kriteria di atas juga berlaku untuk kampanye manipulasi media sosial di Indonesia. Namun, belum ada bukti keterlibatan langsung instansi pemerintah dalam kampanye tersebut.
Laporan Universitas Oxford mengungkapkan bahwa platform media sosial Facebook, Twitter, Instagram dan WhatsApp digunakan untuk kampanye manipulasi di Indonesia. Kampanye ini melibatkan aktor manusia dan bot dan diselenggarakan baik oleh kontraktor swasta atau politisi dan partai sebagai bagian dari kampanye politik. Manipulasi media di Indonesia termasuk menyebarkan propaganda pro-pemerintah, menyerang oposisi, mengkampanyekan fitnah terhadap kritik, dan mendorong perpecahan dan polarisasi. Ini dicapai dengan membuat disinformasi atau memanipulasi media, serta dengan amplifikasi konten dan media online.
Kelompok-kelompok Indonesia yang terlibat dalam manipulasi dunia maya dikategorikan sebagai kelompok-kelompok berkapasitas rendah, yang melibatkan tim-tim kecil yang aktif selama pemilu atau dalam menanggapi peristiwa-peristiwa tertentu. Berdasarkan taktik yang diterapkan dan mode operasinya, para peneliti menilai bahwa sumber daya yang diinvestasikan berjumlah antara 1M-50M Rupiah (antara US$71.000 dan US$3.551.000) melalui beberapa kontrak dengan perusahaan swasta.
Meski manipulasi media online tidak dapat dilacak pada aktor tertentu, pengendalian arus dan keragaman informasi serta kriminalisasi terhadap kritikus pemerintah merupakan taktik yang biasa digunakan oleh otoritas negara. Metode standar untuk membatasi kebebasan informasi di Indonesia adalah penyensoran dan pemblokiran internet secara sengaja, yang biasa disebut dengan istilah “throttling”.
LSM Indonesia SAFEnet menerbitkan sebuah laporan pada tahun 2019, yang menurutnya komunitas LGBTI dan aktivis Papua termasuk yang paling terpengaruh oleh pemblokiran dan penyensoran informasi. Pada tahun 2018, pemerintah Indonesia memblokir 961.456 situs web, sebagian besar berisi pornografi, perjudian, atau penipuan isi. Pada Januari 2018, Google Play Store menghapus 73 aplikasi atas permintaan pemerintah Indonesia. SAFEnet mengamati bahwa sensor di Indonesia meningkat secara signifikan dengan diperkenalkannya system Cyber Drone 9 untuk memfilter konten web yang tidak diinginkan.
SAFEnet juga melihat adanya peningkatan signifikan dalam penggunaan UU ITE, menunjukkan ruang kebebasan berekspresi yang menyusut sepanjang 2018. Data Mahkamah Agung mencatat 292 putusan pengadilan tentang pelanggaran UU ITE pada 2018, dibandingkan dengan hanya 140 dari putusan tersebut pada tahun 2017. Apalagi, Mahkamah Agung menghitung 276 kasus pidana di mana para terdakwa diduga melanggar UU ITE pada tahun 2018. Empat puluh lima persen di antaranya menggunakan Pasal 27, Ayat 3 tentang pencemaran nama baik; dan 22% kasus menggunakan Pasal 28, Ayat 2 tentang ujaran kebencian. Empat puluh empat persen gugatan diprakarsai oleh pejabat pemerintah dengan menggunakan berbagai pasal UU ITE. Korban kriminalisasi yang paling banyak ditargetkan sepanjang 2018 adalah jurnalis dan media, mencapai 32% dari kasus yang terdokumentasi. Kelompok risiko lain yang teridentifikasi adalah aktivis dan guru atau dosen. (*)
Artikel ini diterbitkan untuk kepentingan publik yang lebih luas.
Diolah kembali dari laporan International Coalition for Papua berjudul The Shaping of Public Discourse on West Papua : A study on manipulation of public opinion, cybertorture and information control in relation to the human rights situation in West Papua